Untuk Indonesia

Jaminan Perlakuan Adil Bagi Difabel Terdampak Covid-19

Empat anak penyandang difabel dari salah satu yayasan ditolak masuk ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.
Petugas kesehatan memeriksa alat kesehatan di ruang IGD Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin, 23 Maret 2020. Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran itu siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)

Oleh: Benardo Sinambela

Beberapa minggu lalu, teman saya mengirim keluhan empat anak penyandang difabel dari salah satu yayasan yang ditolak masuk ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Sebelumnya ada orang tua anak sudah meninggal akibat terpapar Covid-19. 

Alasan penolakan yang diterima dari pihak rumah sakit adalah karena rumah sakit tersebut hanya menerima pasien yang bisa mandiri. Itu artinya rumah sakit tersebut tidak melayani penyandang disabilitas yang tidak bisa mandiri dan harus memiliki pendamping, apalagi penyandang disabilitas ganda yang harus didampingi pendamping selama 24 jam. 

Tidak hanya di Wisma Atlit, keempat disabilitas pengidap Covid-19 ini juga ditolak di rumah sakit lain. Mereka diusir dengan alasan karena tidak tersedianya fasilitas dan pelayanan khusus bagi pengidap penyakit Covid-19 tidak normal.

Diakibatkan penolakan dari berbagai rumah sakit khusus pasien Covid-19, pihak yayasan kemudian memutuskan merawat dan mengisolasi 3 orang dari mereka yang tidak memiliki keluarga di asrama bersama pengasuh atau pendamping seadanya. Satu orang lainnya diisolasi di rumah keluarganya. Alhasil, saat itu, juga diduga ada tiga orang pendamping terinfeksi Covid-19 dan ketiga orang tersebut dirawat di Wisma Atlit.

Selanjutnya pengurus yayasan berkisah lagi melalui teman saya bahwa mereka di asrama yayasan mengalami diskriminasi dari lingkungan sekitar. Mereka juga mendapat kesulitan yang parah soal ketersediaan logistik makanan dan obat-obatan. Para donatur atau pemerhati yang biasanya menjadi sumber sumbangan logistik makanan dan kebutuhan mereka semakin jarang berkunjung ke asrama akibat situasi penyebaran pandemi Covid-19.

Kenyataan ini hanya salah satu yang terlihat dari keseluruhan yang memiliki pengalaman yang sama, kenyataan penolakan dan penelantaran mereka yang punya kebutuhan khusus (difabel) pasti juga terdapat di daerah lain namun tidak terekspos ke permukaan.

Lebih luas lagi, dalam situasi pandemi Covid-19 ini banyak hak-hak penyandang disabilitas yang tidak terpenuhi, salah satunya adalah soal akses ke rumah sakit bagi yang pengidap positif seperti kejadian yang saya paparkan di atas. 

Selain itu, hak mendapatkan informasi dan himbauan pemerintah akan bahaya Covid-19, hak mendapatkan bantuan, hak mendapatkan asupan vitamin dan hak-hak lainnya yang bisa membantu mereka untuk tetap bertahan hidup, khususnya soal jaminan pekerjaan yang ternyata banyak dari mereka pada akhirnya tidak bisa melanjutkan pekerjaan.

Hak untuk akses kesehatan atau akses perawatan di rumah sakit bagi mereka yang terpapar, akses bantuan sosial dari pemerintah dan hak mendapatkan informasi adalah hal yang sangat dibutuhkan di masa-masa sekarang ini.

Kejadian seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi, terlebih di masa bencana wabah nasional ini. Merujuk pada UU No.18/2016 yang mengatur tentang hak-hak para penyandang disabilitas, pemerintah jauh sebelumnya harusnya menyediakan fasilitas khusus bagi mereka agar tetap bisa menjaga diri dan selamat dari bencana wabah Covid-19. 

Terjadinya kasus seperti ini memperlihatkan kebobrokan pemerintah dalam memperlakukan kaum difabel. Terlebih soal hak akses dan pelayanan kesehatan bagi yang sudah terpapar. Menyediakan pelayanan prioritas dan khusus bagi difabel adalah kewajiban pemerintah dan dijamin oleh undang-undang. Jika tidak dilaksanakan itu artinya pemerintah melanggar undang-undang itu sendiri.

Peran masyarakat yang sangat buhtuhkan

Kasus Covid-19 di dunia per tanggal 4 Mei 2020 telah mencapai angka 3.508.566 positif, 247.531 meninggal dan 1.128,181 yang sembuh. Di Indonesia sendiri kasus Covid-19 telah mencapai angka 11.587 positif, 864 meninggal dan 1.954 sembuh. Ini adalah angka yang sangat fantastis, terlebih kecenderungan grafik penurunan kasus belum juga kunjung kelihatan. Artinya kemungkinan angka di atas akan semakin bertambaht.

Dari angka ini, kita tidak tahu berapa persen kasus yang menimpa penyandang difabel yang pasti sangat rentan, baik dari segi kemungkinan terpapar dan juga dari segi ketersediaan kebutuhan hidup.

Kaum difabel memiliki ketergantungan yang sangat tinggi dari lingkungan sosialnya. Apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, hindari perlakuan diskriminatif terhadap mereka. Pendampingan bagi difabel yang positif mengidap Covid-19 memang sangat berisiko tinggi. Maka jikapun kita mengambil bagian di sini harus benar-benar siap secara mental. Tapi, bagi mereka yang memiliki bekal pengetahuan ilmu kesehatan dan memiliki peralatan pelindung diri yang cukup masih bisa memberikan bantuan terhadap mereka.

Kedua, bagi difabel yang belum terpapar Covid-19 di lingkungan sekitar kita, sebaiknya kita membantu mereka memberikan informasi dan pemahaman terkait bahaya wabah penyakit Covid-19, himbauan pemerintah dan juga terkait informasi perkembangan kasus sehari-hari dari sumber terpercaya.

Ketiga, bantuan logistik berupa makanan, sayur-sayuran dan asupan vitamin, masker, hand sanitizer, penyemprotan tempat tinggal dan lain-lain yang berhubungan dengan upaya meminimalisir penyebaran Covid-19 bisa kita ambil peran. Akses bantuan sembako dari pemerintah bagi mereka juga bisa ambil peran untuk memberi informasi dan mendaftarkan mereka. Kaum difabel saat ini sangat rentan, terlebih difabel yang tinggal sendirian tanpa keluarga, dan juga yang tinggal di asrama-asrama SLB dan panti asuhan.

Penyandang disabilitas juga adalah bagian dari kita, mari sama-sama kita dorong dan awasi agar pemerintah memberikan jaminan akses kesehatan dan bantuan kepada penyandang disabilitas yang terdampak Covid-19. Hak prioritas bagi yang terinfeksi harus tetap berlaku dan jangan sampai mereka diabaikan karena pemerintah tidak menyediakan fasilitas khusus.

Kejadian diskriminatif seperti kasus di atas mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi dikemudian hari.

*Benardo Sinambela, Kabid Medkominfo PP GMKI 2018-2020

Berita terkait
Webinar GMKI Minta Cluster Tenaga Kerja Ditarik dari Omnibus Law
GMKI menggelar diskusi virtual dengan tema “Ciptakerja Ditunda, PHK Melanda, Prakerja Waspada”. Hasilnya, minta cluster tenaga kerja ditarik.
Protokol Pasien Cuci Darah Saat Pandemi Covid-19
Pasien gagal ginjal harus rutin ke rumah sakit untuk cuci darah, 2-3 kali seminggu. Tantangan semakin berat di tengah situasi pandemi Covid-19.
Kisah Suhartono, Dituding PDP, Terlambat Cuci Darah dan Meninggal
Nasib Pilu Suhartono,tidak bisa cuci darah karena dianggap PDP hanya karena demam. Ia diisolasi dan seminggu lebih tak cuci darah. Ia meninggal.
0
Malaysia Juga Terkejut Oleh Putusan Bebas Majikan Adelina Lisao
Keputusan pengadilan Malaysia bebaskan terduga pelaku penganiayaan maut terhadap TKI, Adelina Lisao, memicu gelombang kecaman