Jalan Panjang dan Risiko Kematian yang Dihadapi Migran Amerika Selatan

Pakar meyakini, persoalan harus diatasi di negara-negara sumber migran, bukan hanya di AS
FILE - Migran Venezuela, Luis Parra (ketiga dari kanan), bergabung dengan migran lainnya menyeberangi sungai Rio Grande, terlihat dari Matamoros, Meksiko, 10 Mei 2023. (Foto: voaindonesia.com/AP/Fernando Llano)

TAGAR.id - Jutaan migran masuk ke Amerika Serikat (AS) dalam beberapa tahun terakhir. Mereka menghadapi risiko besar sepanjang perjalanan, bahkan kematian. Pakar meyakini, persoalan harus diatasi di negara-negara sumber migran, bukan hanya di AS.

Kehidupan ratusan ribu warga Venezuela yang masuk ke AS mungkin akan berubah saat ini, ketika pemerintahan Presiden AS, Joe Biden, menawarkan kepada mereka status legal sementara.

Departemen Keamanan Dalam Negeri mengumumkan bulan lalu, bahwa mereka akan memberikan Status Terlindungi Sementara (Temporary Protected Status/TPS) kepada sekitar 472 ribu warga Venezuela. Status itu memberikan kemudahan kepada mereka untuk memperoleh ijin kerja.

Mereka adalah pengungsi yang lari dari Venezuela, karena gejolak politik di negara itu.

migran pencari suaka dari VenezuelaPara migran pencari suaka dari Venezuela menyeberangi sungai Rio Bravo untuk menyerahkan diri ke agen Patroli Perbatasan AS untuk meminta suaka di El Paso, Texas, AS, dekat kamp migran Venezuela, terlihat dari Ciudad Juarez, Meksiko 17 November 2022. (Foto: voaindonesia.com/REUTERS/Jose Luis Gonzalez)

Salah satunya adalah Deisy Mori, yang bersama keluarganya menyeberang perbatasan secara illegal, menyerahkan diri kepada otoritas Amerika Serikat, dan memohon suaka.

“Kami meninggalkan Venezuela dengan alasan yang sama seperti mayoritas orang, karena rejim Maduro, karena ketidakamanan, karena semua peristiwa itu yang menyebabkan eksodus besar para imigran,” ujarnya kepada reporter Kantor Berita AP.

Banyak imigran Venezuela telah mengajukan suaka, namun prosesnya lambat dan bisa memakan waktu hingga empat tahun.

Risiko Kematian Migran

Bagi migran, perjalanan ke Amerika Serikat adalah perjuangan dengan taruhan besar, bahkan kematian. Kantor berita Reuters melaporkan, dalam 12 bulan terakhir hingga September, petugas Imigrasi dan Penjaga Perbatasan Amerika Serikat mencatat kematian 60 migran karena suhu panas di sekitar wilayah El Paso saja, angka itu naik tiga kali lipat dari periode sebelumnya setahun lalu.

Suhu siang hari bulan Agustus bisa mencapai 100 derajat Fahrenheit atau 37,7 derajat Celsius, yang umum terjadi sepanjang musim panas di sekitar El Paso, dan berlangsung selama 44 hari.

Petugas menceritakan bagaimana ketika menemukan mayat-mayat itu, yang menurutnya adalah contoh yang bisa ditemukan setiap hari. Mayat yang dia temukan sepertinya telah ada di lokasi tersebut setidaknya lebih dari satu pekan. Tubuh itu ada di semak-semak, yang kata Medrano, mungkin karena para migran itu mencoba mencari tempat yang teduh. Mayat-mayat itu ditemukan dalam jarak sekitar 3-5 mil dari kota terdekat.

“Ketika para migran ini datang dari negara-negara dengan iklim lembab, seperti Honduras, Venezuela, atau Kolombia, dan mereka masuk ke gurun, mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan iklim yang kering. Dan tentu, ketika mereka ada di tengah gurun, mereka mulai kehilangan arah dan tidak bisa menemukan jalan keluar dari gurun itu. Mereka banyak berkeringat, kelelahan hebat dan mengalami heatstroke, atau suhu tubuh yang meningkat drastis,” papar Ramiro Riso, petugas pemadam kebakaran di El Paso, Texas.

Orlando migran dari EkuadorOrlando, migran dari Ekuador, menggendong rekan senegaranya yang berusia empat tahun, Peter, saat mereka mengarungi sungai Rio Grande dari Meksiko menuju Eagle Pass, Texas, AS 6 Oktober 2023. (Foto: voaindonesia.com/REUTERS/Adrees Latif)

Butuh Kerja Sama Regional

Negara-negara di Amerika terguncang ketika arus imigran mencapai jumlah tertinggi dalam sejarah. Tetapi, dana internasional memang tidak tersedia untuk kebutuhan kemanusiaan, kata seorang pejabat PBB.

Ugochi Daniels, deputi direktur operasional dari Organisasi Migrasi Internasional (IOM) mengatakan bahwa upaya regional yang lebih besar dan terkoordinasi dibutuhkan untuk solusi jangka panjang bagi perpindahan yang terus terjadi dari masyarakat rentan ke Amerika Serikat.

Tetapi krisis global lainnya telah menyedot dana global, kata Daniels dalam wawancara dengan AP.

“Jelas, ini bukan masalah yang bisa diselesaikan oleh satu negara. Ini membutuhkan dialog regional, dan semua negara dalam apa yang kita sebut sebuah rute, sebuah rute menuju Amerika Serikat. Ini mengharuskan semua negara untuk duduk di satu meja dan berdiskusi tentang bagaimana mereka akan mengelola migrasi,” kata Daniels.

PBB memperkirakan, hingga Agustus tahun ini, diperlukan dana $55,2 miliar AS untuk mengatasi krisis global yang semakin parah, tetapi lembaga ini hanya menerima 71 persen dari jumlah yang dibutuhkan itu.

Semakin banyak negara, seperti Panama dan Kosta Rika yang meminta bantuan internasional untuk menangani membanjirnya imigran, meskipun Daniels tidak mengatakan siapa yang harus memenuhi kebutuhan itu.

Membanjirnya migran ke perbatasan Meksiko-Amerika Serikat telah semakin besar dalam beberapa tahun terakhir. Dalam beberapa hari terakhir, terlihat ribuan orang menyeberang dan masuk hanya di Texas saja.

Di tahun fiskal 2017, otoritas Amerika Serikat telah melakukan pencegatan migran 310.531 kali di perbatasan, sementara di pada 11 bulan pertama pada tahun fiskal 2023, mereka tercatat melakukan lebih dari 1,8 juga pencegatan.

“Saya mendengar sejumlah orang berbicara tentang mengontrol migrasi, menutup perbatasan, dan kita tahu itu tidak berjalan. Kita tahu bahwa orang akan selalu bisa menemukan jalan untuk masuk, tetapi itu akan membawa lebih banyak resiko, dan mereka akan semakin rentan. Jadi, ini adalah tentang bagaimana kita mengelola migrasi,” tambah Daniels.

Kurangnya bantuan dana bukanlah persoalan baru, dan telah sangat menonjol dalam migrasi massal dari Venezuela.

Ketika lebih dari 7,2 juta orang melarikan diri dari gejolak politik dan ekonomi di negara-negara Amerika Selatan, migrasi massal ini hanya menerima bantuan dana dalam jumlah sangat kecil, jika dibandingkan dengan krisis migrasi global lainnya, seperti yang terjadi di Suriah.

Juan Papier, Wakil Direktur Amerika untuk Human Right Watch mengatakan, “Bahkan tanggapan masyarakat internasional terhadal arus migrasi warga Venezuela ke Kolombia sama sekali tidak memadai,” ujarnya.

Dia juga mengatakan, yang dibutuhkan adalah respon lebih berani dan terkoordinasi untuk mendistribusikan beban ekonomi, dan mendistribusikan tempat bagi para migran.

“Dan memastikan bahwa ada distribusi yang adil, yang memperhitungkan kebutuhan mereka, sekaligus memperhitungkan kapasitas masing-masing negara dalam merespon arus migrasi ini,” tambah Papier.

Selama bertahun-tahun, sejumlah negara yang menerima kedatangan migran asal Venezuela, seperti Kolombia, Peru, dan Ekuador telah meminta tambahan bantuan.

Tekanan dari Amerika Serikat kepada negara-negara yang membiarkan arus migrasi dan menciptakan hambatan baru, telah menghadirkan jeda sementara gelombang kedatangan migran di perbatasan.

Namun, kondisi ini diikuti oleh munculnya gelombang migran baru, kata Adam Isacson, analis di Kantor Washington untuk Amerika Latin. Kebijakan semacam itu telah mendorong migran asal Venezuela, untuk melakukan perjalanan ke utara melalui rute seperti Celah Darien, yang memicu banjir baru migrasi ke Amerika Serikat, kata Isacson.

“Kenyataannya adalah, Anda mungkin tidak dapat memblokirnya. Negara seperti Kosta Rika atau Panama benar-benar tidak dapat memblokirnya, dan tidak ada jalur selatan di Celah Darien bagi orang-orang yang telah putus asa dan ingin kembali ke Venezuela.” (ns/lt/jm)/Reuters/Associated Press/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Sejumlah Pekerja Migran Jadi Korban Eksploitasi Kekebalan Diplomatik
Lebih dari 200 pekerja migran yang jadi pembantu rumah tangga di 18 negara diduga menjadi korban perdagangan orang dan eksploitasi tenaga kerja