Investigasi: Bisnis Prostitusi di Apartemen Kalibata City

PANDEMI Corona tak menyurutkan bisnis prostitusi di Apartemen Kalibata City, Jakarta. Muncikari menggunakan kaki tangan untuk menjemput pelanggan.
Inveetigasi: Bisnis Prostitusi di Apartemen Kalibata City

DARI sebuah tempat entah di lantai berapa ia menuntun. Petang itu, Sabtu, pertengahan Oktober lalu, suasana lobi apartemen yang letaknya hanya “selompatan” dari sebuah lapangan tenis itu meriah. Para penghuni apartemen --yang nama apartemen itu berupa bunga putih yang bertangkai panjang-- masuk ke luar melalui pintu kaca yang hanya bisa terbuka dengan menempelkan sepotong kartu.

Dua satpam berseragam biru-biru terlihat tergopoh-gopoh ke sana-kemari, mengantar dan menjemput tamu yang pergi dan turun dari mobil yang berhenti tepat di depan pintu masuk lobi. Seorang petugas kebersihan perempuan, dengan sigap, mengepel lantai lobi yang setiap saat kotor terinjak alas kaki para penghuni. Hujan deras baru reda sepuluh menit lalu.

“Ikuti tamu yang masuk lewat pintu kaca, nanti saya jemput di bawah,” ujarnya melalui telepon genggam. Tagar mengikuti perintah itu: menyusup masuk saat pintu kaca terbuka dan menunggu sekitar tiga meter, agak menepi, dari pintu lift. Satu, dua, tiga, empat, lima, sembilan menit dan... satu dari dua pintu lift terbuka.

Dua gadis muda keluar. Seorang bertubuh kurus, seorang bertubuh sintal. Dua-duanya bercelana panjang dan tubuh bagian atas berbalut blazer. Menoleh kiri-kanan, matanya bersirobok dengan Tagar. “Ayo ke atas,” ujar yang bertubuh sintal setelah menyebutkan namanya: Clara. Wajahnya sama seperti yang berada dalam telepon genggam Tagar. 

Di dalam lift, Clara menempelkan kartu aksesnya dan lift bergerak naik sebelum kemudian, setelah sekitar 20 detik berhenti. Keluar, ke kiri, dan belok kanan berjalan sekitar sepuluh meter, sampailah di sebuah kamar yang nomornya terdiri dari kombinasi letak lantai dan dua huruf.

Inilah kamar Clara. Kamar berukuran sekitar 30 meter persegi yang terdiri dari dua kamar. Di dalamnya ada satu perempuan lain: berambut pendek, bertubuh ramping. Clara –bukan nama sebenarnya- tersenyum, menunjukkan sebuah kamar yang terisi spring bed bersprei merah muda dengan motif kembang-kembang. Clara membuka baju luarnya dan memperlihatkan bagian dalam tubuhnya yang dibalut baju putih tipis. Temannya, yang duduk di sofa asyik memencet-mencet telepon genggamnya.

***

Apartemen Kalibata CityApartemen Kalibata City. (Foto: Tagar/L.R. Baskoro)

TAK ada kata "padam” untuk bisnis seks di Apartemen Kalibata City. Kendati berbagai kasus silih berganti menimpa apartemen itu dan juga pandemi Corona --yang membuat Pemerintah DKI memerintahkan rumah-rumah hiburan tutup. Bisnis seks Kalibata City berjalan dengan bisik-bisik, tertutup, dan super hati-hati –kecuali kemudian menemukan “kunci pembukanya” –antara lain para muncikari.

Terhampar di atas lahan sekitar 12 hektare dan berjarak tak lebih 200 meter dari Stasiun Kereta Api Kalibata, apartemen milik Grup Agung Podomoro ini terdiri dari dua komplek tower: Kalibata City Green Palace dan Kalibata City Residence dengan total seluruhnya 18 tower yang semuanya diberi nama-nama bunga atawa jenis kayu.

Apartemen Kalibata CityApartemen Kalibata City. (Foto: Tagar/L.R. Baskoro)

Yang pertama, Kalibata City Green Palace, lebih elite. Ada fasilitas kolam renang dan memiliki lobi tertutup kaca dengan kursi sofa empuk nan resik. Yang kedua, kelompok tower Kalibata City Residence, tak ada lobi. Penghuni langsung masuk dua lorong menuju lift yang terletak di kiri-kanan tempat petugas security piket. Persamaan kedua jenis apartemen ini, semua yang masuk mesti memiliki akses –sebuah “kartu khusus” yang menyatu dengan kunci apartemen.

Letak strategis ini pula yang membuat apartemen ini sejak dibangun pada tahun 2000-an laris manis. Semua unit –demikian istilahnya- yang berjumlah sekitar 13.000 ludes terbeli. 

Tak semua pemilik apartemen mendiami unit mereka. Banyak yang justru menyewakan dengan mengiklankan sendiri atau menitipkan ke agen-agen pemasaran, baik yang resmi maupun tak resmi. Yang terakhir ini biasa menamakan diri, “agen independen,” yang bekerja perorangan. “Musim pandemi ini yang menyewa kamar sepi,” ujar Edi kepada Tagar.

Menjadi “agen independen” lebih dari lima tahun, Edi “memegang” tak kurang 15 kamar apartemen. Unit yang dipegangnya hanya boleh disewa minimal sepekan dengan harga Rp 1,7 juta, berisi satu kamar dan Rp 2 juta untuk dua kamar. 

Apartemen Kalibata CityApartemen Kalibata City. (Foto: Tagar/L.R. Baskoro)

Menurut Edi, faktor kepercayaan semata yang membuat para pemilik apartemen menitipkan kunci unit mereka kepada dirinya untuk ia pasarkan. Dari satu unit dia mendapat komisi 15 sampai 35 persen. “Di sini tidak ada lagi sewa harian, juga tidak ada lagi prostitusi sejak ramai-ramai kasus penggerebekan itu. Kalau ada yang begituan, kunci kamar akan diambil security, ” ujarnya menunjuk peristiwa pada awal Januari silam, saat polisi membongkar sindikat prostitusi anak di bawah umur di Tower Jasmine.

Edi bisa berkata perihal tak ada sewa harian itu, namun fakta menunjukkan lain. Dari sejumlah agen penyewaan apartemen yang berada pada sejumlah tower, Tagar mendapatkan seorang agen yang menyewakan kamar secara harian. Ia menawarkan unit di Apartemen Palem. “Rp 350 ribu semua lengkap, silakan kalau mau lihat,” ujar wanita bernama Tia itu.

Apartemen Kalibata CityApartemen Kalibata City. (Foto: Tagar/L.R. Baskoro)

Seperti Edi, Tia menerima penitipan unit dari para pemilik apartemen yang ingin “menguangkan” apartemennya. Bedanya, Tia memiliki kantor –sebuah ruang di lantai dasar apartemen, sedang Edi tidak. Dan seperti Edi, Tia juga meyakinkan tak ada bisnis seks lagi di Kalibata City

Berbeda dengan sebelum Covid-19 menyergap, pemandangan di Kalibata City kini bisa dibilang tak lagi “riuh rendah.” Sebelum pandemi, siang-malam, cafe-cafe, restoran, tempat belanja di apartemen itu diriuhi pengunjung. Kini keriuhan itu jauh berkurang. Gerombolan cewek-cewek yang kadang kerap lalulalang dan acap berpakaian seksi –celana superpendek, misalnya, kini tak terlihat. “Tak ada pelacuran di sini,” kata Bagus, petugas keamanan yang berjaga di Apartemen Damar.

Menyusuri sejumlah sumber sejak sebulan silam, Tagar menemukan petunjuk pada masa pandemi bisnis seks di apartemen ini toh tetap ada, bahkan makin marak. “Kalau tidak kenal memang sulit, karena baik muncikari maupun ceweknya semua hati-hati,” ujar Hendra.

Memiliki sebuah unit di Apartemen Cendana yang kini ia sewakan, Hendra –bukan nama sebenarnya- mengaku kerap membawa cewek penghibur ke apartemennya. Ia memberikan sejumlah petunjuk kepada Tagar bagaimana “menemukan” para muncikari dan anak buahnya di apartemen yang bertetangga dengan “Makam Pahlawan Kalibata” tersebut.

Muncikari di Kalibata City terdiri dua jenis: berada di dalam atau di luar apartemen. Ada pun pembayaran bisa dilakukan dua cara: transfer atau membayar di kamar, tempat transaksi seks terjadi. Dari sini kemudian, muncikari mendapat bagian sekitar 30 persen sampai 40 persen karena ia penanggung sewa kamar yang sebulan berkisar antara Rp 7 hingga Rp 10 juta dan, ini yang penting, “menjaga” keamanan anak buahnya.

Para muncikari ini melarang anak buahnya untuk di bawa keluar dari kamar mereka. Satu-satunya kemungkinan untuk membawa keluar adalah pada kamar dalam satu apartemen yang sama. “Kalau dulu mereka ini kerap duduk-duduk di taman,” kata Hendra.

Infografis: Kalibata City dalam Lilitan PeristiwaSejumlah kasus yang pernah terjadi di kawasan Kalibata City. (Riset: LRB/Infografis Tagar/Regita Setiawan P)

Kepada Tagar, seorang muncikari yang tinggal di apartemen mengirimkan koleksinya -deretan perempuan ayu dengan senyum mengembang. 

Apartemen Kalibata CityApartemen Kalibata City. (Foto: Tagar/L.R. Baskoro)

Bersama sekitar lima anak buahnya ia tinggal di apartemen yang di seberangnya terdapat taman tempat main anak anak, berisi ayunan dan prosotan warna warni. Ia mematok harga Rp 500 ribu hingga Rp 900 ribu untuk “kencan bebas” selama satu jam. Muncikari ini memastikan tak ada penipuan dalam transaksi bisnisnya ini. “Jangan khawatir, saya jamin aman,” katanya.

***

PADA sebuah kamar: tiga kursi sofa coklat, televisi layar datar 24 inci, dua piring plastik dan sejumlah botol bekas air mineral berserakan di dapur yang “seupil,” kamar mandi yang hanya cukup untuk satu orang dengan setangkai shower, serta tiga perempuan, yang dua di antaranya siap melayani pria hidung belang sepanjang jam masih menunjuk angka di bawah pukul dua belas malam.

Apartemen Kalibata CityApartemen Kalibata City. (Foto: Tagar/L.R. Baskoro)

Sudah lima bulan Clara, Telni, dan Vivi menyewa kamar yang bertarif Rp 7 juta per bulan. Sebelumnya Clara dan Telni bekerja di sebuah tempat hiburan di bilangan Jakarta Selatan. Pandemi yang menghajar Jakarta membuat tempat hiburannya harus tutup –menaati perintah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Lalu mereka pun menemukan tempat yang tak tersentuh aturan itu: Apartemen Kalibata City.

Di kamar berkode dua huruf konsonan itu, Vivi penguasanya. Dia yang membawa Clara dan Telni ke Apartemen Kalibata City dan mengawal Clara atau Telni menjemput tamu di lobi. 

Berwajah dingin Vivi akan duduk di sofa tengah jika salah satu atau dua anak buahnya melayani tamu pada salah satu atau dua kamar di depannya. Tarif anak buahnya “naik turun” mengikuti hari dan kepintarannya menjajakan mereka -walau Clara dan Telni sendiri juga kadang “mengiklankan” sendiri diri mereka.

Setidaknya selama enam hari sepekan, Clara dan Telni mendekam di dalam apartemen. Mereka hanya turun jika makan. “Selebihnya harus siap menerima tamu,” kata Vivi. 

Perempuan 25 tahun ini bukan pemilik unit itu. Ia menyewa unit yang ia tempati dengan “dua anak asuhnya” itu dari kenalannya. Sedikitnya, sehari tiap anak asuhnya mendapat tamu dua orang. “Rata-rata sehari empat sampai lima,” kata Clara. Tarif bercinta dengan perempuan 22 tahun ini per jam rata-rata Rp 500.000.

Tinggal di Bogor, sepekan sekali, setiap Ahad, Clara balik ke rumahnya. Kendati rumahnya di dekat Stasiun Cilebut, gadis yang memiliki rambut sepinggang yang dicat merah itu selalu pulang dengan taxi online. 

Orang tuanya tak pernah tahu apa yang ia kerjakan. Ia juga menyatakan tak mau “kerja” di Bogor karena khawatir bertemu orang yang dikenalnya. “Adik saya satu, saya yang membiayai,” ujarnya. Di “kamar kerjanya” Clara menggeletakkan sekotak kondom merk Sutra. Ia mewajibkan tamunya memakai benda itu.

Apartemen Kalibata CityApartemen Kalibata City. (Foto: Tagar/L.R. Baskoro)

Tak jauh dari apartemen Clara, di sebuah apartemen yang diambil dari nama kayu yang memunculkan bau harum berdiam Reni. Sudah lebih tiga bulan tinggal di sini. Selain Reni di sini juga tinggal antara lain Keke --semua bukan nama asli. Ada sekamar sendirian, ada yang sekamar berdua. 

Namun, dalam menerima tamu semua menerapkan aturan sama: hanya tamu yang “main” yang boleh naik ke atas. Mereka tak segan-segan mengusir tamu yang sudah di dalam kamar tapi ternyata tak melakukan tranksasi seks, bahkan sekali pun beralasan, misalnya, menemani temannya yang tengah “main.”

 Kami terapkan aturan keras, jika ketahuan unit akan diblokir dan hanya pemilik aslinya yang harus datang mengambil kuncinya.

Seorang sumber Tagar, yang berprofesi sebagai “agen independen,” menyebut hampir setiap apartemen yang ada di Kalibata City ada unit yang dijadikan “tempat pelacuran.” Penelusuran Tagar menunjukkan “tanda-tanda” itu. 

Hanya, memang yang terbanyak adalah tower yang dihuni Vivi dan anak buahnya -tower golongan elite yang relatif jauh dari pintu gerbang Apartemen Kalibata City. “Tidak terlihat dan sulit mengenali mereka karena mereka memang sangat hati-hati,” kata sumber ini.

Super hati-hati itu ditunjukkan Sela ketika Tagar akan menemuinya Sabtu dua pekan lalu. Memiliki empat anak buah yang ia “jejalkan” dalam dua kamar di unit-nya yang terletak di lantai 15 pada sebuah tower yang di depannya terbentang taman asri, ternyata bukan Sela yang turun ke lobi seperti ia katakan. Ia menyuruh seorang anak muda berpenampilan trendi dengan kuping ditindik. Tak ada pembicaraan selain anak muda itu memastikan Tagar adalah tamu Sela dan meminta Tagar mengikutinya. Semua berjalan dalam diam.

Sela sendiri tak langsung membuka pintu kamarnya begitu pintu diketuk. Anak muda, kaki tangannya itu, perlu mengetuk pintu dengan ketukan pelan dengan irama tertentu cukup lama sebelum kemudian pintu itu dibuka empunya sedikit demi sedikit. Sela muncul bercelana pendek dengan bulu mata lentik –bulu mata palsu. Di betisnya terukir sebuah tato warna biru. Tubuhnya cenderung kurus dengan tinggi sekitar 160 sentimeter.

Di unitnya, malam itu, satu kamar berfungsi sebagai “tempat main,” satu lain tempat berkumpul tiga anak buahnya yang berusia antara 21 tahun-24 tahun. Sebuah TV layar datar 31 inci menyala dengan gambar hawer-hawer –jauh dari jernih- dan tak ada yang menonton. 

Sela akhirnya menunjuk angka Rp 400.000 yang tidak bisa ditawar. “Cepat saja kalau mau main atau pilih atau saya cancel, ” ujarnya setengah memaksa seusai kaki tangannya, pemuda bertindik itu, pergi setelah sebelumnya meminta “uang rokok” ke Tagar sebagai ongkos mengantar ke Sela.

***

Apartemen Kalibata CityApartemen Kalibata City. (Foto: Tagar/L.R. Baskoro)

Gilang Pandawa, yang sehari-hari, sebagai staf costumer service Apartemen Kalibata menegaskan pihaknya tak mentolerir unit apartemen di Kalibata dijadikan tempat transaksi seks. “Kami terapkan aturan keras, jika ketahuan unit akan diblokir dan hanya pemilik aslinya yang harus datang mengambil kuncinya,” ujarnya. Menurut dia, sesuai peruntukan, unit apartemen Kalibata dilarang keras disewakan dengan sistem harian. Ia mengakui selama musim pandemi suasana kalibata City tak seramai dulu.

Managemen Kalibata, ujar Gilang, sudah pernah bekerja sama dengan kepolisian mengadakan penyuluhan kepada para perempuan yang tertangkap karena diduga melakukan praktik prositusi. “Saya kira sekarang tidak ada lagi prostitusi di Kalibata, petugas security akan langsung menangkap mereka,” ujarnya.

Semua petugas keamanan, orang pertama yang mengawasi siapa keluar masuk apartemen yang mereka jaga, memberi jawaban seragam perihal ada tidaknya prostitusi di tempat mereka bekerja, “Tidak ada atau tidak tahu.” “Saya kurang tahu, saya orang baru di sini,” ujar Jajat –bukan nama sebenarnya- petugas keamanan pada tower tempat Vivi berada, Kamis (5/10) pekan lalu. Ia bergegas pergi sebelum Tagar melempar pertanyaan lain. Ada pun Zaenudin, yang menjaga Tower Herbras menegaskan tidak ada kegiatan prostitusi di tower yang ia jaga itu.

Malam itu –menjelang pukul 21.00- lobi tower tempat Clara, Telni, dan Vivi berdiam masih ramai. Clara menyebut para petugas keamanan sebenarnya tahu siapa dirinya dan teman-temannya. “Mereka hanya pesan, jangan bikin rusuh,” katanya.

Pandemi memang tak membuat Clara serta merta kehilangan pekerjaan. Kalibata City telah menyelamatkan hidupnya –juga adik dan dua orang tuanya yang ia tanggung. []

(Lestantya R. Baskoro dan Muhammad Afnan Irsyad) 

Berita terkait
Investigasi: Lapis Bawah Sindikat Pajak Mobil Mewah
Pengemplang pajak mobil mewah menggunakan KTP orang untuk mengelabui pajak. Ada sindikat pemburu KTP dengan korbannya para orang kecil.
Mutilasi Kalibata City, Kenapa Rinaldi Kepincut Laeli
Kok bisa Rinaldi kepincut Laeli, hingga akhirnya tewas dimutilasi di Kalibata City. Padahal ekonominya mapan, istrinya orang Jepang, cantik pula.
Psikiater UI Menyoroti Mutilasi di Kalibata City
Pakar kejiwaan Fakultas Kedokteran UI Natalia Widiasih Raharjanti menunjuk pola asuh dan lingkungan faktor penting seseorang melakukan mutilasi.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.