Jakarta - Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan antarbank di Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2019 melemah 11 poin atau 0,08 persen menjadi Rp 14.173 per dolar AS dibanding posisi sebelumnya Rp 14.162 per dolar AS. Meskipun Bank Indonesia (BI) telah melakukan intervensi pasar, rupiah masih melemah.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan pasca rilis Indeks Penjualan Riil (IPR) yang hanya tumbuh 1,1 persen (dibandingkan periode sama tahun lalu atau year on year) pada Agustus dibandingkan Juli di 2,4 persen (yoy), BIterus melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi di perdagangan domestic nondeliverable forward (DNDF). Intervensi tersebut kurang memuaskan akibat memanasnya kembali perang dagang antara AS dan China serta masalah Brexit (rencana Inggris keluar dari Uni Eropa) yang sampai saat ini belum ada kepastian secara hukum.
"Namun, keterlibatan BI yang terus memantau dan mengawasi perdagangan valas dan obligasi, perlu diberi apresiasi oleh pelaku pasar sehingga pelemahan mata uang Garuda tidak terlalu signifikan," kata Ibrahim seperti diberitakan dari Antara.
Sejak pembukaan pasar, pagi hari hingga siang, rupiah terus menunjukkan pelemahan yang diduga kuat karena kehati-hatian investor setelah memanasnya friksi perdagangan antara AS dan China menjelang pertemuan kedua negara pada 10-11 Oktober 2019. Di pasar spot Rabu pagi, rupiah ditransaksikan pada level Rp 14.170 per dolar AS atau turun sembilan poin dibanding penutupan kemarin sore di Rp 14.161 per dolar AS.
Kepala Riset Monex Investindo Future Ariston Tjendra saat dihubungi mengatakan pelaku pasar mengkhawatirkan munculnya friksi-friksi baru antara AS dan China yang memperluas sengketa dagang kedua negara raksasa itu. Hal itu berpotensi terjadi setelah AS menuduh China melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap muslim Uighur, yang dibantah oleh China.
Dengan alibi pelanggaran hak asasi manusiaitu, Washington menambah daftar hitam terhadap beberapa perusahaan teknologi dari China. Dengan begitu, entitas perusahaaan China tersebut tidak bisa berbisnis dengan perusahaan AS. Dinamika tersebut dikhawatirkan meningkatkan resistensi China untuk bernegoisasi menyelesaikan konflik dagang yang sudah terjadi selama 15 bulan terakhir dan telah mengubah pandangan terhadap perekonomian global.
"Pelaku pasar kembali bersikap hati-hati di tengah kembali memanasnya ketegangan AS-China, yang sudah mengalami perang dagang selama 15 bulan terakhir. Khawatir meningkat menjadi ketegangan politik, karena AS menuduh China melakukan pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur," ujar Ariston.
- Baca Juga: Ketika Habibie 'Jinakkan' Rupiah dari 15.000 ke 6.550
- Rupiah Melemah Akibat Demo Besar di Mana-mana