Indonesia Lima Besar Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca

Produksi emisi gas Indonesia tinggi dikarenakan kebakaran hutan dan banyak beralihnya status hutan adat serta lahan pertanian menjadi non-hutan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar. (Foto: Tagar/Moh Badar Rizqullah)

Malang – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar tidak menampik Indonesia masih cukup besar dalam emisi gas rumah kaca. Salah satu penyebabnya karena kebakaran hutan dan banyak beralihnya status hutan adat serta lahan pertanian menjadi non-hutan.

Disebutkannya, Indonesia saat ini berada di 10 besar negara teratas dalam emisi gas rumah kaca. Sehingga, Nurbaya mengatakan untuk menguranginya memang perlu ada kontrol. Salah satunya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.

”Kita mungkin, kalau ngak nomor 4 atau 5 (emisi gas rumah kaca). Pertama itu antara Cina dan Amerika. Kemudian disusul Inggris dan Jerman. Ini kita harus dikontrol,” kata dia saat ditemui usai mengisi acara Gerakan Nasional Pemulihan DAS (GNPDAS) di Desa Oro-Oro Ombo, Kota Batu, Kamis 5 Desember 2019.

Untuk itu, dia menyebutkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) sedang mengupayakan solusi berupa reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Artinya, ada beberapa upaya yang dirancang KLHK untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Khususnya dari hutan dan lahan.

Kita mungkin, kalau ngak nomor 4 atau 5 (emisi gas rumah kaca).

”Tapi, untuk sekarang ini kenapa kita bisa dikatakan agak maju. Karena, dari tahun 2011 sudah kerja sama dengan Norwegia untuk itu. Banyak adopsi hal baik yang kita ambil,” ungkap mantan Sekjen DPD-RI tahun 2013 itu.

Adanya hal itu, Nurbaya juga menambahkan bahwa juga tidak terlepas dari kebijakan Presiden Joko Widodo. Yaitu kebijakan menyeimbangkan antara eko dan lingkungan sehingga dampaknya angka deforestasi.

”Kita sekarang deforestasinya (turun) 430-an ribu hektar (Ha). Tapi kita maunya sih makin kurang dari itu. Target kita sebetulnya bisa mencapai 300 hektar dan akan kita terus lakukan,” terangnya.

Sementara itu, mengutip dari data KLHK disebutkan bahwa total luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 2019 mencapai 857.755 hektar. Beberapa wilayah titik kebakaran seperti Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara merupakan yang paling luas. Setara luas Taman Nasional Yellowstone Amerika Serikat yang memiliki luas 8.991 km².

Untuk itulah, tidak salah jika Indonesia menurut prediksi Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa akibatnya ada sebanyak 709 juta ton karbondioksida yang terlepas ke udara. Angka tersebut dikatakan lebih besar 22 persen dibandingkan kebakaran hutan Amazon yang melepas 579 juta ton karbondioksida ke udara.

”Oleh karena itu, menanam pohon menjadi sangat penting (untuk menanggulangi deforestasi dan degradasi hutan),” ungkapnya.

Disisi lain, dia juga menargetkan untuk penurunan emisi karbon sebesar 26 persen di tahun 2020 dan 29 persen di tahun 2030 mendatang. Dengan tujuan agar emisi gas rumah kaca berkurang.

”Targetnya sama dengan tadi (mengurangi deforestasi dan degrasi hutan). Ya antara 1,8 - 2,2 giga ton. Sekarang, kita sudah kira-kira 24 hampir 25 persen ditahun 2018. Tentu untuk memenuhi target pengurangan 29 persen di 2030,” tuturnya. []

Berita terkait
Kebakaran Pasar Hewan di Banyuwangi Ratakan Warung
Kebakaran disebabkan adanya sisa api dari pembakaran sampah yang berada di samping los parkir Pasar Hewan Banyuwangi.
Ratusan Juta Uang Palsu Gagal Beredar di Jember
Dua pelaku memiliki peran masing-masing yakni sebagai pencetak uang palsu dan satu lagi berperan sebagai pengedar.
Warga di Pamekasan Keluhkan Kades Diduga Pungli PTSL
Dalam pengurusan PTSL, warga Pamekasan dipungut Rp400 ribu. Padahal berdasarkan aturan pengajuan PTSL hanya dikenakan Rp 150 ribu.