Indonesia Episentrum Covid-19 di Kawasan ASEAN

Indonesia jadi episentrum Covid-19 di kawasan ASEAN dengan 46.845 kasus positif Covid-19, tapi pandemi Covid-19 belum sampai pada masa puncak
China jadi negara yang sangat waspada untuk mencegah wabah Covid-19 gelombang kedua. (Foto: weforum.org).

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Dengan 46.845 jumlah kasus Covid-19 per tanggal 22 Juni 2020 posisi Indonesia ada di puncak pandemi sebagai episentrum di kawasan ASEAN serta di peringkat ke-29 dunia. Persoalan tidak hanya soal episentrum di ASEAN, tapi tracing ke jumlah kontak yang juga banyak berdasarkan jumlah warga yang terdeteksi positif Covid-19.

Diperkiraan 1 orang positif Covid-19 potensial menularkan virus corona baru (Coronavirus Disease 2019/Covid-19) kepada 2-3 orang. Jika dikaitkan dengan jumlah kontak maka 46.845 orang yang positif Covid-19 sudah kontak dengan beberapa orang. Bahkan, beberapa kasus yang menyebabkan tenaga medis, dokter dan perawat, tertular Covid-19 bahkan ada yang meninggal dari pasien yang berbohong tentang riwayat perjalanan dan kontak dengan orang lain.

Di masyarakat pasien yang berbohong itu bisa sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG) sehingga banyak melakukan kontak. Celakanya, dalam beberapa kasus warga juga tidak jujur tentang riwayat kontak mereka dengan orang yang positif Covid-19, seperti Pasien Dalam Pengawasan (PDP), yang pulang ke rumah atau lari dari rumah sakit.

Jumlah orang yang jalani tes swab dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) dan TCM (Test Cepat Molekuler) untuk Covid-19 di Indonesia sangat rendah sehingga kasus baru setiap hari juga kecil. Kecepatan tes Covid-19 seperti deret hituung. Kondisi ini membuat masa puncak pandemi kian lama tercapai. Pada saat yang sama penularan Covid-19, terutama dari OTG, terus terjadi secara berantai dengan kecepatan deret ukur.

1. Episentrum Covid-19 Pertama Justru di Italia di Luar China

Sebagai pandemi yang bisa memutus mata rantai penyebaran virus corona hanya masyarakat. Ini sudah terbukti ketika pemerintah melelui pemerintah provinsi, kabupaten dan kota menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ternyata tidak semua warga mematuhinya dengan 1001 macam alasan.

Baca juga: Hanya Masyarakat Bisa Putus Rantai Penularan Corona

Begitu juga dengan tracing tanpa bantuan masyarakat petugas dan relawan tidakan bisa melakukan tracing sampai ke ujung atau sampai kontak buntu. Di tengah jalur kontak ada saja warga yang berbohong sehingga terusan kontak terputus. Kalau warga yang berbohong tertular Covid-19 dari kontak sebelumnya maka dia pun jadi mata rantai penyebaran Covid-19 dengan status OTG.

Ketika jumlah kasus baru harian Covid-19 selama beberapa hari yaitu dari tanggal 9-20 Juni 2020, kecuali tanggal 11 dan 14 Juni 2020 di atas 1.000 ada anggapan kondisi itu sebagai masa puncak pandemi. Persoalannya adalah apakah dengan jumlah warga yang jalani tes pada rentang waktu tanggal 9 – 20 Juni 2020 sudah mewakili populasi secara epidemilogis?

Melihat grafik pandemi Covid-19 di Indonesia yang landai terkadang naik tidak menunjukkan puncak seperti yang terjadi di beberapa negara, seperti Italia dan Spanyol. Sedangkan China dan Korea Selatan (Korsel) berbeda dengan negara-negara lain karena di dua negara ini, biar pun pandemi berawal dari China, tapi tidak ada priode puncak dengan rentang waktu beberapa hari berturut-turut laporan kasus harian yang banyak.

Semula banyak kalangan yang memperkirakan China dan selanjutnya Korsel akan jadi pusat episentrum Covid-19, tapi perkiraan itu meleset karena dua negara itu tidak pernah jadi episentrum Covid-19. Bahkan, sampai sekarang kasus Covid-19 di dua negara itu sedikt. Tanggal 22 Juni 2020 China melaporkan 83.396 berada di peringkat ke-21 dunia dan Kosel 12.438 di peringkat ke-60 dunia.

2. Grafik Pandemi di China dan Korsel Tidak Ada Masa Puncak

Italia jadi negara yang pertama yang jadi episentrum Covid-19 di luar China. Di awal pandemi Italia ada di puncak tapi digeser oleh Amerika Serikat (AS). Selanjutnya digeser lagi oleh Spanyol, Inggris, Rusia dan Brasil.

Grafik pandemi Covid-19 di Italia mulai menanjak sejak 7 Maret 2020 dengan kasus 1.247. Puncak kasus 21 Maret 2020 dengan kasus 6.557. Selama sepekan kasus naik turun tapi tetap di puncak. Pada 29 Maret 2020 dilaporkan 5.217 kasus baru. Sejak itu kasus terus turun. Pada 6 Juni 2020 dilaporkan 270 kasus. Jumlah kumulatif kasus Covid-19 di Italia tanggal 8 Juni 2020 sebanyak 234.998 dengan 33.899 kematian dan 165.837 sembuh. Posisi Italia di peringkat ke-7 dunia dan ke-4 Eropa.

Pandemi di Spanyol juga seperti di Italia. Masa-masa puncak pandemi berlangsung selama 13 hari yaitu 23 Maret 2020 (6.568) sampai 4 April 2020 (6.969). Setelah itu kasus turun, tapi jumlah kumulatif Covid-19 di Spanyol per tanggal 8 Juni 2020 mencapai 288.630 dengan peringkat ke-4 dunia dan ke-2 di Eropa.

Grafik pandemi di China dan Korsel tanpa masa puncak, tapi ada kasus tertinggi. China pada 12 Februari 2020 dengan 14.108 kasus. Dengan 83.396 kasus posisi China per 22 Juni 2020 di peringkat ke-21 dunia dan ke-7 Asia. Sedangkan Korsel pada 29 Februari 2020 dengan 813 kasus dan 3 Maret 2020 sebanyak 851. Sejak itu kasus terus turun. Dengan 12.438 kasus posisi Korsel per 22 Juni 2020 di peringkat ke-60 dunia dan ke-23 Asia.

3. Jumlah Orang yang Tes Covid-19 di Indonesia Sangat Sedikit

Jika dibandingkan dengan Indonesia, maka grafik pertambahan kasus mirip dengan negara-negara yang sekarang ada di puncak pandemi di atas China, seperti AS, Brasil, Rusia, Inggris, India, Peru, Iran, Arab Saudi, Kanada, dll. Pada grafik laporan harian tidak ada masa puncak pandemi karena laporan kasus baru harian terus menanjak.

Pandemi Covid-19 di Indonesia belum sampai pada masa puncak selama beberapa hari seperti di Italia dan Spanyol. Lagi pula proporsi tes Covid-19 per 1 juta penduduk di Indonesia sangat rendah yaitu 1.440 pada 22 Juni 2020 (jumlah orang yang tes Covid-19 dari tanggal 2 Maret 2020 sampai 22 Juni 2020 sebanyak 393.117 dibagi jumlah penduduk 273 juta). Bandingkan dengan Singapura 98.508, Filipina 5.430, Malaysia 21.140, Thailand 6.708, Vietnam 2.826, Myanmar 1.141, Brunei 60.517, Kamboja 1.892 dan Laos 1.764.

Melihat sebaran pandemi Covid-19 yang terus bergejolak di 211 negara dan teritori di dunia dengan jumlah kasus baru harian yang terus melonjak adalah hal yang mustahil bagi Indonesia untuk mengabaikan pandemi hanya dengan alasan hasil tes sedikit dan landai. Soalnya, jumlah warga yang tes sangat sedikit.

Jika jumlah orang yang tes Covid-19 hanya di bawah 10.000 per hari, maka kasus baru pun hanya ratusan per hari sehingga tidak ditemukan masa puncak pandemi. Ini akan berimbas pada perjalanan pandemi yang akan lama sehingga terus terjadi insiden penularan baru apalagi kalau contact tracing tidak dilakukan secara masif terhadap orang-orang yang kontak dengan kasus Covid-19 yang terdeteksi. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Indonesia Potensial Jadi Episentrum Covid-19 ASEAN
Covid-19 di Indonesia terus bertambah seiring dengan tes Covid-19, pertambahan kasus yang pesat Indonesia bisa jadi episentrum Covid-19 di ASEAN
Jumlah Kasus Positif Covid-19 Dunia Tembus 9 Juta
Pandemi Covid-19 secara global terus berkecamuk, hanya dalam tiga hari kasus baru bertambah 502.596 sehingga jumlah kasus global jadi 9.002.596
Stigma Covid-19 Kita Tidak Belajar dari Pengalaman
Ternyata kita tidak belajar dari pengalaman tentang stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS yang juga dialami oleh pasien Covid-19