Jakarta - Pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan Indonesia masih punya alternatif jika mencari investor yang sesuai untuk mengolah mineral logam tanah jarang atau rare earth element (REE).
Merujuk kajian Maria Victoria Riesgo Garcia bertajuk "Rare Earth Elements Mining Investment: It Is Not All About China", selain China kata dia ada beberapa negara lain yang berpotensi dapat mengelola rare earth secara optimal.
"Di antaranya Amerika Serikat dan Australia. Ini yang menurut saya bisa menjadi alternatif pilihan pemerintah," kata Yusuf kepada Tagar, Minggu, 26 Juli 2020.
Sebagai negara yang menguasai rantai pasokan rare earth secara global, pemerintah perlu mencapai kesepakatan yang dapat menguntungkan Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya batu bara terbesar di dunia.
"Jadi, menggali potensi investasi untuk mengembangkan elemen rare earth cukup terbuka lebar," ucap Yusuf.
Jika hanya China yang jadi Investor
Amerika Serikat (AS) dan Australia memang bisa jadi alternatif negara yang mengelola rare earth element. Namun, kata dia jika hanya China yang akhrinya menjadi investor, mau tidak mau pemerintah harus membuat kesepakatan yang menguntungkan Tanah Air.
Salah satu keuntungan yang harus didapat Indonesia dari China adalah mengambil alih teknologi.
"Bagaimana alih teknologi dilakukan. Artinya pemerintah perlu memastikan periode waktu tertentu Indonesia bisa secara penuh bisa mandiri dalam mengelola elemen ini," ujarnya.
Pasalnya, rare earth element merupakan bahan baku penting dalam pembuatan sejumlah produk, seperti iPhone, hard drive hingga peralatan militer. Jadi, Indonesia menurutnya harus memanfaatkan sumber daya secara optimal.
"Indonesia memiliki sumber daya batubara yang signifikan yaitu sebesar 166 miliar ton dengan cadangan sekitar 37 miliar ton," tuturnya.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menuturkan pemerintah masih dilema memilih investor untuk pengembangan rare earth element dalam negeri.
Luhut mengungkapkan ada beberapa pertimbangan dalam menentukan investor rare earth, di antaranya kepentingan nasional, situasi geopolitik serta perhitungan strategi.
"Ini dilematis, karena rare earth ini paling banyak di produksi di China. Amerika sendiri begitu di-banned China kelabakan juga. Investor yang paling cepat China. Jadi memang tidak sesederhana yang dilihat orang. Cari investor itu tidak semudah yang dipikirkan orang," ujar Luhut dalam diskusi daring, Sabtu, 25 Juli 2020. []