Untuk Indonesia

Impian Utopis Orang Papua yaitu Kemerdekaan

Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan. Tulisan opini Benardo Sinambela.
Warga melakukan aksi dengan pengawalan prajurut TNI di Bundaran Timika Indah, Mimika, Papua, Rabu, 21 Agustus 2019. (Foto: Antara/ Jeremias Rahadat)

Oleh: Benardo Sinambela

“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,”

Kutipan diatas adalah cuplikan argumentasi Bung Hatta saat berlangsungnya sidan BPUPKI pada tanggal 11 Juni 1945. Suasana sidang BPUPKI sepertinya berjalan sangat alot, ada silang pendapat yang tajam di antara para peserta sidang saat pembahasan soal penentuan nasib wilayah dan orang Papua yang dikenal sampai tahun 2001 sebagai Propinsi Irian Jaya. 

Perseta sidang BPUPKI terpecah menjadi dua, antara menyetujui atau menolak Papua masuk menjadi bagian dari Indonesia. Bung Hatta mewakili tokoh yang menolak, sedangkan Yamin mewakili tokoh yang menyetujui.

Bagi Hatta, yang terpenting adalah pengakuan kedaulatan RI, sedangkan Papua bisa dirundingkan kemudian hari.

Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945 mencatatkan argumentasi dari masing-masing tokoh tersebut, antara lain: Hatta menolak karena alasan suku bangsa Papua adalah Melanesia yang tentu berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang dimaksud pada saat itu, dan kurangnya bukti-bukti dokumentasi yang menjelaskan tentang sejarah Papua turut memperkuat ketidak setujuan Hatta.

Berbeda dengan Bung Hatta, Yamin berpendapat penting memasukkan Papua ke Indonesia karena sejak dulu Papua sudah menjadi bagian dari kerajaan Nusantara. Namun bagi Hatta argumentasi Yamin tersebut hanya didasarkan pada asumsi belaka, tanpa adanya bukti-bukti autentik yang bisa ditunjukkan dihadapan sidang yang sedang berlangsung.

Sebelum berangkat menghadiri Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, 23 Agustus sampai 2 November 1949, Bung Karno berpesan kepada Hatta agar berjuang merebut Papua dari klaim Belanda dan negara boneka bentukannya. 

Namun Hatta --seperti ucapannya di sidang BPUPKI-- tidak terlalu memusingkan soal Papua, walaupun dia tau bahwa Belanda ngotot menguasai Papua karena kekayaan alamnya yang melimpah. Alhasil, Hatta pulang ke tanah air dengan hasil pengakuan kedaulatan Republik Indonesia tanpa Papua yang masih dalam klaim kekuasaan kerajaan Belanda. Bagi Hatta, yang terpenting adalah pengakuan kedaulatan RI, sedangkan Papua bisa dirundingkan kemudian hari.

Inilah sekelumit percakapan soal Papua dimasa awal perjuangan kemerdekaan RI. Hatta secara jelas menyetujui kalau Papua menjadi negara merdeka dan mandiri untuk menentukan nasibnya. Bagi Hatta, merebut Papua adalah menghianati semangat anti kolonialisme, yang artinya Indonesia akan menjadi penjajah baru untuk Papua yang tak ada bedanya dengan Belanda penjajah.

Penentu final masuknya Papua ke wilayah RI terjadi sejak adanya Perjanjian New York (New York Agreement) pada tanggal 15 Agustus 1962 yang berisi tentang penyerahan Papua bagian barat dari Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) kepada Republik Indonesia. 

Tanggal 1 Mei 1963, Papua kembali kepangkuan Ibu Pertiwi, dan semakin lebih pasti lagi setelah hasil jejak pendapat Penentuan Pendapat Rakyat (PAPERA) pada tahun 1969.

Keinginan merdeka di hati orang Papua sampai saat ini masih terus terawat dengan baik. Sebaliknya luka perlakuan tidak adil dari pemerintah Indonesia semakin perih dan membekas, pun dikalangan anak-anak yang baru mengenal baca-tulis. 

Bagi mereka, merdeka adalah jalan terbaik untuk memperbaiki nasib, karena pemerintah Indonesia dinilai gagal membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat Papua, pun harta dan kekayaan alam mereka terus dikuras sampai habis.

Mata dunia Internasional hari ini sendang memandang tajam ke Papua. Tak bisa di elakkan, Papua bergejolak lagi karena perlakuan rasis yang mereka alami di Malang dan Surabaya. Hak mereka untuk mendapatkan akses informasi dan jaringan internet dirampas oleh pemerintah Indonesia, dengan alasan “meminimalisir” penyebaran hoaks dan demi kondusifitas. Mereka terisolir secara informasi dari dunia luar. Sementara pemerintah menambah pasukan Polri/TNI ke Papua, lalu siapa yang tau apa yang sedang dilakukan polisi dan militer Indonesia disana?

Situasi cheos hari ini menambah deretan list dosa masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk Papua. Karena perlakuan buruk/diskriminatif dan rasisme kita, mereka semakin tak percaya kalau kita menganggap mereka saudara sebangsa, karena sejak awal --Hatta mengatakan-- mereka memang berbeda dengan kita.

Kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) adalah yang terbesar, dan tidak pernah ada langkah kongkrit penyelesaiannya dari pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Jokowi. Padahal di masa kampanye 2014, melalui konsepsi nawa citanya Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, tak terkecuali di Papua.

Briptu Haedar, 12 Agustus 2019 dikabarkan meregang nyawa dengan luka tembak oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di kampung Usir, Kabupaten Puncak, Papua. Sebelumnya masih banyak kasus penembakan oleh KKB dikabarkan terjadi di Papua.

Mari kita menyoriti kasus penembakan terakhir yang menewaskan Briptu Haedar. Komentar konyol datang dari seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mengatakan "apabila ada yang menyerang aparat polisi negara harus diselesaikan, harus diserang balik. Itu harus. Kalau diterima begitu saja itu salah”. Ini pernyataan konyol dan tidak pantas keluar dari seorang wakil presiden di hadapan publik. Pernyataan ini seolah-olah negara mengaminkan pelanggaran HAM oleh aparatnya tanpa melakukan upaya-upaya humanis dan dialog.

Kita tidak tau, sudah berapa banyak korban orang Papua yang saat ini dibunuh oleh aparat kepolisian dan militer negara. Semua informasi yang kita dapatkan hanya informasi searah dari pemerintah, dan tidak ada informasi pembanding dari masyarakat Papua yang hidup dan menyaksikan kejadian-kejadian yang sebenarnya. Yang kita ketahui, kalau sudah ada penyerangan, kepolisian dan militer turun bersenjata lengkap untuk menetralisir lapangan, tanpa kita ketahui metode dan langkah yang dilakukan seperti apa. Jika alasannya membahayakan, bahkan seorang pembunuh sekalipun tidak berhak kita ambil nyawanya menurut perspektif HAM. Karena itulah alasannya ada pengadilan, agar yang bersalah diadili sesuai ketentuan yang berlaku.

Pemerintah tidak boleh abai dengan teriakan “merdeka” orang Papua, karena sejatinya itulah yang impian yang tertanam di hati mereka sejak dulu sampai sekarang. Mereka sudah putus harapan dengan Indonesia, karena keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran yang dijanjikan dulu tak pernah terjadi sampai hari ini.

Seperti kata Hatta, “Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka” untuk menentukan nasibnya sendiri, dan jangan sampai keberadaan Indonesia malah melenggangkan kolonialisme baru dan menjadi negara kolonial bagi bangsa Papua. Atau, jangan sampai Papua di pertahankan hanya untuk menguasai kekayaan alamnya saja seperti halnya dulu Belanda ngotot karena mengetahui kekayaan alam Papua melimpah dan ingin menguasainya.

* Ketua Bidang Media, Komunikasi dan Informasi PP GMKI M.B 2018-2020

Berita terkait
Siapa Dalang di Balik Kisruh Papua?
Konflik di Papua akibat ucapan rasis di Surabaya meninggalkan tanya tanya, Anggota DPR dari Fraksi PKB menyoroti hal itu.
Kapolri Ungkap Alasan Pembatasan Internet di Papua
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian mengungkapkan alasan utama pembatasan internet di Papua.
Polda Papua Barat Tetapkan Tersangka Kerusuhan 'Monyet'
Kepolisian Daerah (Polda) Papua Barat mencatat ada 26 laporan terkait kerusuhan yang terjadi secara beruntun di sejumlah daerah di Papua.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.