Idang Merasakan Kehadiran Mendiang Djaduk Ferianto

Idang Rasjidi meneteskan air mata di panggung Ngayogjazz, Sabtu, 16 November. Dia merasakan kehadiran mendiang Djaduk Ferianto di panggung itu.
Petra, istri mendiang Djaduk Ferianto (kiri) bernyanyi bersama Idang Rasjidi, di Ngayogjazz, Kwagon Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Sabtu, 16 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sleman - Musisi jazz kawakan Indonesia, Idang Rasjidi, tidak bisa menahan isak dan tetesan air matanya di Panggung Umpak Ngayogjazz, Sabtu, 16 November 2019 petang.

Berbalut kaus hitam, Idang duduk di kursi paling depan di panggung. Kacamata menghiasi wajahnya, dan topi merah menutup kepalanya. Tongkat alat bantu jalannya disandarkan di sebelah kanan kursi.

Di sampingnya, satu foto kolase bergambar Djaduk Ferianto berukuran cukup besar, menemaninya selain musisi lain.

Tidak jauh dari foto itu, berjejer alat musik yang biasa dimainkan oleh Djaduk, yakni perkusi. Di belakang perkusi tersebut disiapkan kursi untuk Djaduk.

Kali ini Idang tidak memainkan kibor seperti biasanya. Dia menyanyi sambil sesekali mengarahkan mikrofon ke arah perkusi, seolah-olah dia mendengar Djaduk sedang memainkan alat musik itu. Lalu dia meminta penonton agar memberikan aplaus untuk Djaduk yang 'sedang bermain perkusi'.

Setelah musik usai, Idang tampak sedih meski tetap berusaha tertawa. Tapi dia tidak bisa menyembunyikan air mata yang menetes. "Djaduk, kowe gawe aku mbrebes mili. Jancuk kowe (Djaduk, kamu membuatku meneteskan air mata. Jancuk kamu)," ucapnya.

Suasana haru semakin terasa ketika Bernadetta Petra, istri mendiang Djaduk Ferianto, naik ke atas panggung dan ikut bernyanyi bersama Idang.

Djaduk, kowe gawe aku mbrebes mili. Jancuk kowe.

idangMusisi jazz kawakan Indonesia, Idang Rasjidi, saat tampil di Ngayogjazz, Kwagon Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Sabtu, 16 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Saat diwawancarai seusai penampilannya, Idang mengatakan, kalimat itu merupakan tanda keakraban antara dirinya dengan mendiang Djaduk Ferianto.

Idang mengaku, mereka berdua sangat akrab, dan setelah keluarga Djaduk, Idang merupakan orang yang paling terpukul dengan meninggalnya Djaduk.

"Itu bahasa kita berdua. Saya orang yang paling terpukul setelah keluarganya setelah beliau meninggal. Kalian bisa ngerti seakrab apa saya sama dia," kenangnya.

Ya, senja itu Idang seharusnya tampil sepanggung dengan mendiang Djaduk Ferianto. Bahkan mereka telah menyiapkan delapan lagu untuk dimainkan pada even itu. Tapi Tuhan berkehendak lain. Dia memanggil Djaduk kembali menghadap pada-Nya.

Kata Idang, penampilan mereka pada even tersebut sudah direncanakan sejak lama. "Memang ini rencana berdua sebetulnya, itu udah lama kami rencanakan, postingan Ig (Instagram)nya terakhir itu muka saya. Jadi kamu bisa bayangkan betapa dekatnya saya sama Djaduk. Kita dibilangin kayak Soekarno-Hatta. Jadi (penampilan) tadi ya memang jatuhnya tribute to Djaduk," paparnya.

Dalam penampilannya, setidaknya tiga lagu merupakan lagu pilihan Djaduk, yakni Jenang Gulo, Gambang Semarang dan lagu milik Armada berjudul Mau Dibawa ke Mana.

Idang mengaku dirinya tidak pernah memainkan lagu-lagu itu sebelumnya, tapi karena ide Djaduk tersebut, Idang pun mengaransemen lagu-lagu itu menjadi genre jazz.

"Djaduk memilih lagu itu karena menurutnya itu lagu pop biasa, tapi kalau sudah digarap Kang Idang, tentu menjadi hal yang berbeda. Terus saya pikir, kenapa tidak? semua lagu bagus," imbuhnya.

Idang menilai Djaduk Ferianto adalah seorang seniman besar, yang memiliki sense yang sangat bagus tentang banyak hal. Dia juga memiliki wawasan yang dalam.

"Wawasannya dalam, kalau orang sudah melihat kedalaman, itu akan berbeda dengan orang melihat kebesaran atau ketinggian, tidak terukur," puji Idang pada Djaduk.

Kelebihan lain yang dimiliki Djaduk, adalah dia tidak pernah jadi orang lain, atau tidak pernah membuat dirinya menjadi orang lain. Yang dia mainkan murni dari dirinya sendiri.

"Untuk itu saya mengaguminya. Di dalam catatan Jazz Gunung kalau tidak salah, saya katakan bahwa saya mengagumi, saya katakan itu dan itu bukan sembarangan. Memang benar-benar kagum. saya kagumi sekali," tegasnya.

Djaduk Masih Main di Panggung

senimanSeorang seniman sedang menyanyikan lagu di area Ngayogjazz, Kwagon Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Sabtu, 16 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Kursi dan perkusi yang disiapkan di panggung, menurut Idang, tidak kosong. Perkusi itu berbunyi saat dimainkan oleh Djaduk di atas panggung.

Idang mendengar Djaduk bermain, iramanya senada dengan permainan musik dari musisi lain, baik drum, gitar, maupun bass.

"Memang dia ada, dan dia player saya. Saya merasakan dia masih ada, dia hadir main perkusi. Mungkin yang lain nggak dengar, tapi saya dengar apa yang dia mainkan. Kalian bisa nikmati nggak tadi?," tanyanya.

Even musik tahunan Ngayogjazz, menurut Idang, sangat terpengaruh dengan meninggalnya Djaduk, karena Djaduk merupakan nilai terbesar dalam kegiatan itu.

Tapi, dia berharap agar bagaimana pun caranya, teman-teman lain yang menggawangi kegiatan ini tidak patah semangat.

Apalagi sebelum Djaduk meninggal, dia pernah mengatakan pada Idang, bahwa nyawa Idang Rasjidi ada di Ngayogjazz.

"Djaduk juga pernah bilang, 'Kang Ngayogjazz itu nyawanya kang Idang ada di situ lho. Main atau nggak, nyawanya ada di situ'. Saya merasa tersanjung di situ," papar Idang.

Bahkan, Idang menyatakan, pernah ada seorang musisi yang mengatakan, bahwa sesudah Djaduk meninggal, Idang merupakan orang tua mereka. "Pasti saya punya beban moral untuk itu," tambah Idang.

Ngayogjazz, kata Idang, merupakan satu-satunya even jazz di dunia yang digelar di kampung, dan even ini dicetuskan oleh mendiang Djaduk Ferianto.

Meski, kata dia, sebelum mencetuskan even Ngayogjazz tersebut, Djaduk pernah menanyakan cita-cita Idang yang belum tercapai. Saat itu Idang mengatakan, dia ingin musik jazz dimainkan di kampung.

"Saya bilang, aku pengen jazz main di kampung. Nah, berapa tahun kemudian Djaduk melakukannya. Manusia yang baik adalah saat dia merencanakan, dia bisa mewujudkannya. Djaduk mewujudkan itu," beber Idang.

Menurutnya musik jazz harus dimainkan di kampung, karena selama ini orang salah anggap tentang musik jazz, bahwa musik jazz adalah milik kaum elite. Padahal jazz itu bisa main di mana pun, bahkan di kampung.

Saya senang, Djaduk orang gila.

"Saya main jazz di mana-mana kok. Djaduk tahu itu, bahkan dia memberi julukan pada saya bahwa Idang Rasjidi adalah jazzer proletar. Djaduk yang memberi julukan itu, sampai beredar di mana-mana. Saya senang, Djaduk orang gila," kenangnya lagi.

Oele PattuiGitaris jazz kawakan Indonesia, Oele Pattiselano, saat tampil bersama Idang Rasjidi dibNgayogjazz, Kwagon Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Sabtu, 16 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Idang dan Djaduk Punya Ikatan Batin

Kedekatan antara Djaduk Ferianto dan Idang Rasjidi dibenarkan oleh Bernadetta Petra, isteri mendiang Djaduk Ferianto. Bahkan menurutnya, keduanya memiliki ikatan batin yang sangat kuat.

Petra meyakini bahwa kehadiran Djaduk di panggung Ngayogjazz tersebut benar-benar dirasakan oleh Idang Rasjidi. "Dia (Idang) punya kedekatan batin, jadi tidak seolah-olah (ada), jadi dia memang merasakan bahwa (Djaduk); ada di sana dan sedang main di sana," tutur perempuan berpenampilan sederhana tersebut.

Bahkan kata Petra, hal yang dirasakan Idang Rasjidi, bahwa Djaduk hadir dan memainkan perkusi di panggung, sangat menguatkan Petra.

Apalagi perasaan tentang hadirnya Djaduk juga dirasakannya. Petra merasa Djaduk ada di situ, dan membayangkan dia memainkan perkusinya, musiknya, bersama sahabatnya, kebanggannya, Idang Rasjidi.

Djaduk, menurutnya sangat antusias untuk tampil bersama Idang Rasjidi di panggung itu, karena mereka berdua berencana saling mengedukasi di panggung itu, meski akhirnya rencana Tuhan tidak sama dengan rencana mereka.

"Jadi mas Djaduk dan Kang Idang ingin saling mengedukasi. Nanti kang Idang tidak akan bermain kibor tapi akan menyanyi dan saya (Djaduk) jadi hostnya, jadi memang bayangan kami akan heboh," kata Petra. []

Baca Juga:

Berita terkait
Selamat Jalan Djaduk Ferianto, Guru Toleransi Umat
Petra, istri almarhum Djaduk Ferianto, mendekap foto mendiang suaminya. Dia mengantarkannya ke peristirahatan abadinya, Rabu, 13 November 2019.
Nasib Ngayogjazz 2019 Setelah Djaduk Ferianto Wafat
Djaduk Ferianto adalah penggagas sekaligus motor acara Ngayogjazz. Setelah Djaduk meninggal, bagaimana nasib Ngayogjazz 2019?
Ngayogjazz 2019, Kenangan dari Djaduk Ferianto
Ngayogjazz 2019 digelar di Kecamatan Godean, Sabtu, 16 November 2019. Even ke-13 ini adalah yang pertama sejak penggagas even, Djaduk, meninggal.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.