ICW: KPK Paling Buruk Tangani Kasus Korupsi Bansos

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai penanganan dugaan kasus korupsi Bansos kurang baik dilakukan oleh KPK pada masa pimpinan Firli Bahuri.
Peneliti Indonesia Corruptio Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. (Foto: Tagar/Antara)

Jakarta – Peneliti Indonesia Corruptio Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai penanganan dugaan kasus korupsi paket Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19 menjadi salah satu yang terburuk di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.

Persidangan dugaan korupsi pengadaan paket Bansos Covid-19 di wilayah Jabodetabek tahun 2020 kini masih terus berlanjut sampai sekarang. 

Dalam perkara ini Mantan Menteri Juliari Batubara terbukti menerima fee senilai 32,4 miliar Rupiah dari pengadaan paket Bansos yang dilakukan sejumlah perusahaan vendor. ICW menilai kasus tersebut merupakan penanganan kasus terburuk di KPK karena banyak indikator yang mencurigakan. 

“Ekspektasi publik terhadap KPK itu tinggi untuk tidak hanya membongkar tetapi, juga menuntaskan perkara tersebut. Di masa sulit ini dimana masyarakat membutuhkan Bansos terutama di JABODETABEK malah dijadikan lahan korupsi oleh Juliari Batubara,” ujar Kurnia Ramadhana saat diwawancarai Tagar TV, Jumat, 16 Juli 2021.


Kalau kita lihat konstruksi perkaranya mereka berdua adalah penguasa dari kuota paket Bansos harusnya merekalah yang pertama dipanggil oleh KPK untuk mengkonfirmasi terkait pengetahuan soal perkara Bansos tersebut.


“Yang terlihat saat ini justru penidakkan KPK sangat buruk, dan ada terkesan ingin melindungi pihak-pihak tertentu,” ujarnya. 

Ia juga menjelaskan kejanggalan tersebut dalam proses persidangan dan kesaksian dari saksi sudah mengatakan bahwa 22,7 juta paket Bansos yang dibagikan pemerintah kepada warga Jabodetabek dikuasai oleh empat grup besar, yaitu anggota DPR-RI Herman mendapat 1 juta paket, Ihsan Yunus 400.000 paket, Juliari Barubara 200.000 paket, dan pejabat-pejabat Kementerian Sosial 300.000 paket.

Akan tetapi proses pemanggilan saksi terhadap dua politisi tersebut berjalan lambat, Ihsan Yunus baru dipanggil pada bulan Februari, dan Herman Heri dipanggil sebagai saksi pada bulan April. 

“Kalau kita lihat konstruksi perkaranya mereka berdua adalah penguasa dari kuota paket Bansos, harusnya merekalah yang pertama dipanggil oleh KPK untuk mengkonfirmasi terkait pengetahuan soal perkara Bansos tersebut,” ujarnya. 

Kejanggalan lainnya adalah saat dilakukan penggeledahan ada beberapa tempat yang sudah kosong di tempat yang ingin di geledah tersebut.

Kurnia menyimpulkan dalam kasus ini terdapat dua kesimpulan, yaitu apakah memang prosesnya berjalan lambat atau dugaan kebocoran informasi dari internal KPK pada pihak tertentu agar segera memindahkan barang-barang tersebut. 

“Yang paling fatal ketika proses penyusunan surat dakwaan terhadap beberapa tersangka yang diajukan ke pengadilan Tipikor, nama-nama politisi tersebut ada upaya untuk dihilangkan, padahal mereka adalah penguasa kuota Bansos,” ujarnya.

ICW menilai ada kesan yan paling kuat dalam internal KPK khususnya pimpinan KPK yang tidak senang ketika perkara Bansos ini dibongkar oleh KPK, sehingga menimbulkan amarah publik di tengah masa sulit saat ini. 

ICW mensinyalir dugaan kerugian keuangan negara bisa lebih dari tiga triliun rupiah, dan berharap KPK bisa mengusut tuntas kasus tersebut dan jangan sampai tuntutan hukuman lebih rendah dari Edhy Prabowo. 

(Selfiana)

Berita terkait
BPK: Pencegahan Korupsi di KPK Pimpinan Firli Tak Efektif
BPK mengatakan bahwa pelaksanaan pencegahan korupsi di era Kepemimpinan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri tidak efektif.
Lembaga KPK Tunda Pembekalan Antikorupsi di Kemenkeu RI
KPK terpaksa menunda pemberian pembekalan antirasuah dalam program Penguatan PAKU Integritas di tunda lantaran penerapan PPKM Darurat Jawa-Bali.
Jalan Berliku 51 Pegawai KPK Usai Ditolak Firli Bahuri
Pimpinan KPK Firli Bahuri menolak permintaan sejumlah pegawai non-aktif KPK untuk mencabut berita acara tentang peserta yang tak lolos TWK.