Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Action Against Corruption (IAAC) Dodisutarma Lapihu mengatakan mendukung pembebasan narapidana, selain narapidana korupsi. Pembebasan ini dilakukan melalui program asimilasi dan integrasi guna mengantisipasi penularan virus Corona atau Covid-19 di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan Negara (Rutan), dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Pemerintah harus konsisten memberikan penanganan yang ketat terhadap narapidana korupsi.
"Untuk menekan penyebaran virus Corona atau Covid-19 perlu diterapkan physical distancing di lapas dan rutan. Kondisi lapas di Indonesia kelebihan kapasitas dan perlu dilakukan pengurangan populasi tahanan," ucap Dodisutarma melalui siaran pers yang diterima Tagar, Minggu, 5 April 2020.
Data Kementerian Hukum dan HAM pada 2018 menyebutkan jumlah narapidana di Indonesia mencapai 248.690 orang. Sebanyak 4.552 orang di antaranya merupakan koruptor atau hanya 1,8% dari keseluruhan narapidana.
Terkait rencana pembebasan narapidana korupsi untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan penjara, PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Pemasyarakatan telah mengatur syarat-syarat ketat pemberian potongan hukuman ataupun pembebasan bersyarat bagi narapidana koruptor, teroris, narkotika, dan pelaku pelanggaran HAM berat.
"Kami menyesalkan adanya pernyataan anggota DPR RI dari fraksi PKS dan NasDem dalam rapat dengar pendapat secara virtual pada Rabu, 1 April 2020, meminta dihapuskannya PP Nomor 99 Tahun 2012 dengan alasan agar tidak menghambat pembebasan narapidana korupsi di situasi pandemi Corona," ujarnya.
Pernyataan ini, kata dia, melupakan fakta bahwa kejahatan korupsi adalah penyakit yang juga telah melukai jutaan rakyat Indonesia.
"Kami menilai rencana Menteri Hukum dan HAM untuk mengusulkan revisi PP Nomor 99 tahun 2012 dengan menambahkan kriteria yang meringankan syarat pembebasan bagi narapidana korupsi dengan dalih menekan penyebaran Covid-19 merupakan langkah keliru," ucap dia.
Menurut dia, sikap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyambut positif rencana Menteri Hukum dan HAM untuk membebaskan narapidana korupsi sangat disayangkan. Pasalnya, KPK selama ini dianggap ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia seharusnya menolak rencana tersebut.
"Aksi gayung bersambut yang dipertontonkan oleh pimpinan KPK menurunkan kepercayaan publik terhadap KPK," ujar Dodisutarma.
Ia mengatakan, langkah pencegahan penyebaran Covid-19 kepada narapidana korupsi yang berusia di atas 60 tahun dapat dilakukan dengan cara lainnya, tanpa melanggar PP Nomor 99 Tahun 2012, misalnya dengan pemisahan kurungan dan pembatasan kunjungan.
Korupsi hingga saat ini, kata dia, merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi dapat dikategorikan sebagai virus ganas yang harus diberantas agar tidak menjangkiti dan menyebabkan korban bagi rakyat Indonesia.
"Pemerintah harus konsisten memberikan penanganan yang ketat terhadap narapidana korupsi," ucap Dodisutarma. []