Hukum Meninggalkan Salat Jumat Karena Ketiduran

Kewajiban salat Jumat sudah dijelaskan dalam Alquran, hadis, dan komentar para ulama. Demikian pula dengan ancamannya.
Ilustrasi ketiduran. (Foto: Pixabay)

Jakarta - Kewajiban salat Jumat sudah dijelaskan dalam Alquran, hadis, dan komentar para ulama. Demikian pula dengan ancaman orang yang meninggalkannya. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa orang yang meninggalkan salat Jumat selama tiga kali, Allah membekukan hatinya.

Namun tidak ada manusia yang lepas dari kesalahan selain para nabi, terkadang karena tidurnya sangat nyenyak sehingga berdampak pada peninggalan salat Jumat. Bisa jadi karena terlalu capek, kebiasaan atau hal lainnya. 

Bagaimana hukumnya meninggalkan salat Jumat karena ketiduran?

Pertama, tidur setelah masuk waktu Jumat

Bila dia tidak memiliki dugaan atau kebiasaan bisa menemui Jumatan, maka hukumnya haram yang otomatis berdosa. Dalam kondisi yang diharamkan, tidur bukan menjadi udzur (alasan) untuk meninggalkan Jumat, sebab tidur dalam kondisi tersebut merupakan kecerobohan.Jika tidurnya setelah masuk waktu, maka hukumnya haram, kecuali yakin atau menduga bisa bangun dan bisa menemui Jumatan. 

Orang yang biasanya bisa bangun dan menemui Jumat, baik bangun sendiri, memasang alarm atau dibangunkan orang lain, tidak berdosa apabila ternyata dia kebetulan tidak terbangun di luar prediksi dan kebiasaannya.

Bila dia tidak memiliki dugaan atau kebiasaan bisa menemui Jumatan, maka hukumnya haram yang otomatis berdosa. Dalam kondisi yang diharamkan, tidur bukan menjadi udzur (alasan) untuk meninggalkan Jumat, sebab tidur dalam kondisi tersebut merupakan kecerobohan.

Syekh Muhammad Ar-Ramli mengatakan

بِخِلَافِ نَوْمِهِ فِيْهِ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ إِلَّا إِنْ عَلِمَ أَوْ ظَنَّ تَيَقُّظَهُ وَفَعَلَهَا فِيْهِ

Artinya, “Berbeda dengan tidur di dalam waktu salat, maka haram kecuali yakin atau menduga bisa bangun dan melakukan salat pada waktunya,” (Lihat Syekh Muhammad Ar-Ramli, Fatawa Ar-Ramli, juz I, halaman 115).

Salat, IbadahIlustrasi. (Foto: Pixabay)

Kedua, tidur sebelum masuk waktu Jumat

Orang yang tidur setelah subuh dan sebelum masuk waktu Jumat serta dia yakin atau menduga dapat menemui Jumat, maka ulama sepakat hukumnya boleh. Dugaan bisa menemui Jumat bisa dihasilkan misalkan dengan kebiasaan, memasang alarm, dan lain sebagainya sebagaimana penjelasan di atas.

Namun apabila dengan tidurnya yakin atau menduga tidak dapat menemui Jumat, maka ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama, hukumnya haram. Pendapat ini menganalogikan tidur dengan bepergian sebelum masuk waktu Jumat, di mana dalam perincian hukumnya adalah haram bila tidak ada dugaan menemui Jumatan di perjalanannya.

Syekh Ali Syibramalisi mengatakan

وَالْجُمُعَةُ مُضَافَةٌ إلَى الْيَوْمِ فَإِنْ أَمْكَنَهُ الْجُمُعَةُ فِي طَرِيقِهِ أَوْ تَضَرَّرَ بِتَخَلُّفِهِ جَازَ وَإِلاَّ فَلاَ (قَوْلُهُ وَالْجُمُعَةُ مُضَافَةٌ إلَى الْيَوْمِ) أَخَذَ بَعْضُهُمْ مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ يَحْرُمُ النَّوْمُ بَعْدَ الْفَجْرِ عَلَى مَنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ عَدَمُ اْلإسْتِيقَاظِ قَبْلَ فَوَاتِ الْجُمُعَةِ وَمَنَعَهُ م ر

Artinya, “Kewajiban Jumat disandarkan kepada hari, maka bila memungkinkan Jumatan di jalan atau tertimpa bahaya dengan tertinggal dari rombongan, maka boleh bepergian, bila tidak demikian, maka haram. Statemen Ar-Ramli, kewajiban Jumat disandarkan kepada hari, sebagian ulama mengambil simpulan dari keterangan ini, bahwa haram hukumnya tidur setelah fajar bagi orang yang menduga tidak bangun sebelum selesainya Jumatan, dan pendapat ini ditolak Imam Ar-Ramli,” (Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah ‘ala Nihayatil Muhtaj, juz II, halaman 293).

Pendapat berbeda diutarakan Imam Ar-Ramli, yang mengatakan hukumnya boleh. Ia membedakan persoalan tidur dan bepergian. Menurutnya, bepergian sebelum masuk waktu Jumat lebih memiliki potensi besar untuk meninggalkan Jumat dibandingakan dengan tidur sehingga hukumnya lebih berat.

Pendapat Ar-Ramli ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Al-Qalyubi sebagai berikut

وَخَرَجَ بِالسَّفَرِ النَّوْمُ قَبْلَ الزَّوَالِ فَلاَ يَحْرُمُ وَإِنْ عَلِمَ فَوْتَ الْجُمُعَةِ بِهِ كَمَا اعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ لأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ شَأْنِ النَّوْمِ الْفَوَاتُ وَخَالَفَهُ غَيْرُهُ اهـ

Artinya, “Dikecualikan dengan bepergian, tidur sebelum tergelincirnya matahari, maka tidak haram, meski yakin tidak dapat menemui Jumat sebagaimana pendapat yang dipegang oleh guru kami, Syekh Muhammad Ar-Ramli, sebab tidur sebelum masuk waktu bukan termasuk potensi besar meninggalkan Jumat. Pendapat Ar-Ramli ini berbeda dengan ulama lain,” (Al-Qalyubi, Hasyiyatul Qalyubi ‘alal Mahalli, juz I, halaman 313).

Senada dengan pendapat Ar-Ramli, Syekh Ali Syibramalisi menyampaikan dukungan untuk pendapatnya Ar-Ramli. Di antara petunjuk kebenaran pendapat Ar-Ramli menurutnya adalah diperbolehkannya keluar dari masjid sebelum masuk waktu Jumat bagi jamaah yang sudah berada di dalam masjid karena adanya udzur yang menimpa mereka. Ali Syibramalisi juga menegaskan bahwa kedudukan tidur dalam permasalahan ini sama dengan sakit, bahkan melebihinya.

Syekh Ali Syibramalisi mengatakan

أَقُولُ وَهُوَ ظَاهِرٌ وَيَدُلُّ لَهُ جَوَازُ انْصِرَافِ الْمَعْذُورِينَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لِقِيَامِ الْعُذْرِ بِهِمْ وَفَرَّقُوْا بَيْنَهُ وَبَيْنَ وُجُوبِ السَّعْيِ عَلَى بَعِيدِ الدَّارِ

Artinya, “Saya berkata, menunjukan kepada kebenaran pendapat Imam Ar-Ramli kebolehan undur diri dari masjid sebelum masuk waktu karena udzur yang menimpa, ulama membedakan kasus tersebut dengan kewajiban berjalan bagi orang yang rumahnya jauh.” (Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah ‘ala Nihayatil Muhtaj, juz II).

وَالنَّوْمُ هُنَا عُذْرٌ قَائِمٌ بِهِ كَالْمَرَضِ بَلْ أَوْلَى ِلأَنَّ الْمَرِيْضَ بَعْدَ حُضُورِهِ الْمَسْجِدَ وَلاَ مَشَقَّةَ عَلَيْهِ فِي الْمُكْثِ لَمْ يَبْقَ لَهُ عُذْرٌ فِي اْلإنْصِرَافِ بِخِلاَفِ النَّوْمِ فَإِنَّهُ قَدْ يَهْجُمُ عَلَيْهِ بِحَيْثُ لاَ يَسْتَطِيعُ دَفْعُهُ اهـ

Artinya, “Tidur dalam permasalahan ini adalah udzur yang melekat kepada seseorang seperti sakit, bahkan lebih utama. Sebab orang sakit setelah dia menghadiri masjid dan tidak ada keberatan baginya untuk berada di tempat, tidak ada udzur baginya untuk keluar dari masjid, berbeda dengan tidur, terkadang tidur menghampiri seseorang dalam batas yang tidak mungkin dihindari,” (Lihat: Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah ‘ala Nihayatil Muhtaj, juz II, halaman 293).

Terlepas dari boleh dan haram sesuai penjelasan di atas, setelah terbangun orang yang meninggalkan salat Jumat berkewajiban untuk mengqadha’ (mengganti) Jumatan yang ia tinggalkan dengan salat Zuhur. Hendaknya seorang Muslim bisa mengatur waktu tidurnya dengan baik sehingga tidak berdampak pada terbengkalainya kewajiban agama yang dibebankan kepadanya.

Baca juga:

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.