Hamil 9 Bulan Lari di Antara Panah Terbang di Wamena

Netty Oppungsunggu seorang guru SMP di Wamena, Papua, tiba di kampung halamannya di Sumatera Utara. Kini dia tengah menunggu proses bersalin.
Netty Opusungguh, berhasil selamat dari Wamena dalam kondisi hamil besar pada Senin 7 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Aan Febriasyah).

Makassar - Wanita duduk perut ini meneduh di bawah tenda pengungsian Dinas Angkutan Angkatan Udara (DAAU), Landasan Udara (Lanud) Hasanuddin, Makassar. Bersama pengungsi lain yang berhasil keluar dari Wamena, Papua, mereka berniat pulang ke kampung halaman untuk melanjutkan kehidupan.

Meski letih setelah menempuh perjalanan panjang dari Jayapura ke Makassar, sesekali ia mampu memancarkan senyuman indah dan gelak tawa riang. Namun kepiluan tetap tak bisa ditutupi dari raut wajahnya. Barangkali ingatannya terlintas dengan peristiwa mencekam di Bumi Cenderawasih.

Namanya Netty Oppungsunggu, ia mengucap syukur, masih dapat menghela napas selamat dari kerusuhan di Wamena 23 September 2019 lalu. 

Di sana, Netty mengabdikan diri sebagai guru SMP St Thomas. Namun tempat ia mengajar, kini hangus dibakar si pembuat onar, sumbu kekacauan di Wamena.

Saya berlari menyelamatkan diri dari serbuan massa yang beringas. Meski tengah hamil besar.

Padahal, pagi itu dia sedang mengawasi siswanya yang tengah menjalani pengujian tengah semester (PTS). Tak ia sangka, pagi kelabu hadir di depan mata. Dalam kondisi hamil tua, dia harus memaksakan diri berlari sekencang mungkin, menghindari massa yang mengamuk tanpa sebab. 

“Saat itu masih sangat pagi-pagi, rasanya belum lama saya melakukan pengawasan PTS terhadap siswa. Tiba-tiba saja dari jarak yang cukup dekat pecah kerusuhan yang membuat beberapa bangunan di sekolah ikut terbakar,” tutur perempuan berambut sebahu ini kepada Tagar di Makassar, Senin, 7 Oktober 2019.

“Saya berlari menyelamatkan diri dari serbuan massa yang beringas. Meski tengah hamil besar, saya tetap berlari menuju rumah yang cukup jauh dari tempat saya mengajar,” lanjutnya.

Dengan segenap asa yang dimilikinya, Netty berupaya menyelamatkan diri bersama anak yang masih dalam kandungannya. Mujur, di tengah jalan ia diselamatkan warga lokal. 

Netty memandang, tidak semua pribumi membenci warga pendatang. "Berkat bantuan orang asli Wamena juga saya bisa selamat dari kejaran massa yang beringas,” ujarnya.

Pengungsi Wamena di MakassarSejumlah pengungsi saat berada di Lanud Hasanuddin, Makassar pada Senin, 7 Oktober 2019. (foto: Tagar/Aan Febriansyah).

Wanita yang telah menetap di Wamena selama 10 tahun lalu ini mengaku tidak mengetahui secara pasti, musabab dari kekisruhan yang menelan puluhan korban jiwa itu. 

Harta benda tidak lagi ia hiraukan, yang terpenting adalah menyelamatkan diri menuju tempat pengungsian bersama si sulung. “Tidak ada lagi waktu untuk membawa barang-barang berharga," tuturnya tersengal-sengal.

Pulang dengan Anak, Suami di Wamena

Pengungsi Wamena tiba di SumutNetty Oppusunggu saat tiba di Kantor Gubernur Sumut, Rabu, 9 Oktober 2019 sore. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Wanita yang kini tengah berbadan dua itu keluar dari Wamena tanpa didampingi suami tercinta. Netty hanya ditemani sang buah hati yang masih sangat kecil. Namanya Imelda, usianya masih dua tahun. 

Mereka berdua harus kembali ke Sumatera Utara lebih awal. Tekadnya sudah bulat, ingin melahirkan anak keduanya di kampung halaman. 

“Suami masih berada di Wamena, saya pulang ke Medan karena ingin menghilangkan trauma. Apalagi tidak lama lagi saya akan melahirkan,” ujarnya.

Tidak tahu dari mana dan kepada siapa batu dan panah itu ditujukan. Yang jelas saat melihat itu sangat mencekam sekali keadaan.

Meski saat ini jauh terpisah, dia mengaku tetap intens berkomunikasi dengan suaminya untuk mengubur gundah gulana. Sebab, selama mengarungi mahligai pernikahan, baru sekali ini Netty terpisah pulau. Sebelumnya, jika pulang ke Sumatera Utara, pasti mereka berangkat bersama.

Dia berharap betul sang suami dalam waktu dekat dapat menyusul ke kampung halaman. Menggenggam erat tangannya dalam proses bersalin dan menyambut buah cinta keduanya yang segera lahir ke dunia.

Batu dan Panah Beterbangan di Udara

Pengungsi Wamena di MakassarPengungsi Wamena di Makassar mendapat makanan dari petugas pada Senin 7 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah).

Dalam kondisi sangat genting, bersama Imelda, dia menyelamatkan diri ke lokasi pengungsian di kantor Koramil Wamena. Sang suami yang mengantarkan mereka ke sana menaiki kendaraan roda dua

Sepanjang perjalanan arah koramil, Netty menyaksikan batu dan anak panah beterbangan di atas udara. Keadaan saat itu sangat mengerikan, wajahnya nampak muram bila mengingat peristiwa yang lalu.

“Tidak tahu dari mana dan kepada siapa batu dan panah itu ditujukan. Yang jelas saat melihat itu sangat mencekam sekali keadaan,” ujarnya.

Kerusuhan tak terhindarkan, saat permukiman warga pendatang menjadi bulan-bulanan massa yang mengamuk tanpa sebab. Terjadi pembakaran di beberapa tempat. Sempat terpikir olehnya untuk menolong orang lain, namun tiada gunanya juga kalau nyawa sekeluarga yang menjadi taruhan.

“Saat saya dibonceng dengan anak oleh suami, kami melihat aksi pembakaran rumah yang dilakukan orang tidak dikenal. Kami tidak bisa membantu, juga tidak bisa berbuat apa-apa. Fokusnya hanya bergerak menuju tempat pengungsian. Jangan sampai membantu malah menjadi korban juga,” kata Netty.

Perantau yang Mencintai Profesi

Masih terngiang dalam benaknya, pagi hari 23 September lalu, sekolah tempat dia mengajar dibakar massa. Saat kejadian, seluruh guru dan siswa sontak berhamburan keluar ruangan untuk menyelamatkan diri dari kepungan si pembuat onar.

Dari lubuk hati terdalam, Netty merasa sangat sedih, karena mendadak harus meninggalkan Wamena. Dia ingat, terakhir ditinggalkan anak muridnya sedang berjuang menghadapi ujian tengah semester. 

Netty hanya bisa menggelengkan kepala menyoal tindakan sekelompok orang yang melakukan pembakaran sekolah. Menurut dia, tindakan tersebut jelas di luar nalar. 

“Massa datang merusak fasilitas pendidikan yang ada. Padahal, sekolah kami ini tidak memiliki salah, tapi memang lokasinya dekat dari tempat utama terjadinya kerusuhan,” tuturnya terheran-heran.

Suatu saat akan kembali (Wamena). Apalagi di sana saya menjadi salah seorang pengajar.

Netty sangat berharap situasi dan kondisi Bumi Cenderawasih bisa normal seperti semula, agar kegiatan belajar mengajar tidak lagi terganggu. Dia mengaku sangat mencintai profesinya sebagai guru, maka itu dia tetap membuka pintu untuk kembali ke sana suatu saat nanti. 

“Dalam waktu yang dekat mungkin belum ada niatan untuk kembali dulu ke Wamena, tetapi suatu saat akan kembali ke sana lagi. Apalagi di sana saya menjadi salah seorang pengajar, terikat juga,” kata dia.

Meski trauma berat, Netty menganggap tempatnya merantau selama 1 dekade terakhir sebagai lokasi yang indah nan damai sebelum pecahnya peristiwa mencekam ini. 

Tiba di Kampung Halaman

Pengungsi Wamena tiba di SumutWarga Sumatera Utara yang dipulangkan dari Wamena, Papua pada Rabu 9 Oktober 2019.(Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong).

Dalam kondisi hamil tua, Netty Oppungsunggu terpaksa pulang ke kampung halaman, karena tempatnya mencari nafkah sedang kacau balau.

Diwawancarai terpisah oleh reporter Tagar di Sumatera Utara, Netty nampak masih traumatis. Meski masa kelam telah terlewati, sepertinya memang tak mudah menghapus memori kelabu. Dia menyaksikan langsung pertumpahan darah dengan mata telanjangnya.

Aku enggak bisa gambarkan lagi, karena kejadiannya sungguh, aduh…

Ketika turun dari bus, wajahnya nampak letih. Netty sempat berhenti sejenak menahan rasa lelahnya saat melangkah menuju ruangan aula.

“Aku enggak bisa gambarkan lagi, karena kejadiannya sungguh, aduh… ada yang dilempar, ada yang dibakar, ada yang dibunuh, ngeri,” kata ibu satu anak yang sedang menunggu kelahiran anak keduanya itu saat tiba di Aula Raja Inal Siregar, Lantai 2, Kantor Gubernur Sumatera Utara, Rabu sore, 9 Oktober 2019.

Lebih dari satu dekade dia menetap di sana. Saat ditanya apa alasan yang memaksa dia harus meninggalkan Wamena, namun ibu hamil ini terdiam sesaat sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Setelah itu dia baru bersedia bertutur. 

“Waktu itu sedang ujian tengah semester (UTS). Tiba-tiba langsung ada terbakar, ribut-ribut. Saya langsung lari. Lalu suami jemput saya, kalau terlambat saja lima menit mungkin saya tidak ada lagi,” katanya sambil menyuapi anaknya makan. 

“Suami masih tinggal di sana, karena kemarin itu diutamakan perempuan, anak-anak, dan yang ada cedera. Jadi kami duluan pulang,” sambungnya.

Setelah berdiskusi dengan suaminya yang bermarga Sihite, mereka sepakat agar dia dan anaknya lebih awal ikut pengungsi menuju Jayapura. 

Para pengungsi dari Sumatera Utara (Sumut) dikoordinir Tim Sumut Peduli Wamena yang ditugaskan Gubernur Edy Rahmayadi. Tim itu terdiri dari atas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Perhubungan, Badan Kesatuan Bangsa Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas), Dinas Sosial, serta Biro Humas dan Keprotokolan.

Bersama sejumlah warga Sumut lainnya, para pengungsi dibawa ke Jayapura. Kabarnya, mereka sempat menunggu di sana selama seminggu. Selanjutnya Netty sempat transit di Makassar hingga pada akhirnya dapat menghirup udara segar di kampung halaman.

Dari sana mereka dijemput bus, lalu diantarkan ke daerah asalnya masing-masing. Setelah beristirahat dan makan malam, Netty dipulangkan ke kampungnya di Silangit, Tapanuli Utara bersama sejumlah pengungsi lainnya. Mereka dijemput tim dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara.

Edy Pastikan Semuanya Dilayani Dengan Baik

Edy Rahmayadi beserta jajaran dan pengungsi WamenaGubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi memberikan bantuan secara simbolis kepada warga yang dipulangkan dari Wamena, Papua pada Rabu, 9 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong).

Pada Rabu sore, 9 Oktober 2019, sebanyak 36 warga Sumatera Utara yang merantau di Wamena, Papua, tiba di Medan. Mereka disambut langsung oleh Gubernur Edy Rahmayadi.

“Yang hadir hari ini ada 14 (dari Surabaya) ditambah 22 orang (dari Jakarta), ada 36 orang. Yang belum kembali ada 264 orang. Mereka akan naik kapal. 10 hari akan sampai, kita terima di Belawan,” janjinya.

Jadi jangan sampai putus (sekolah). Kita lihat masing-masing daerah bagaimana mereka memfasilitasi.

Edy ingin memastikan agar semuanya dapat dilayani dengan baik, diurus segala keperluan kehidupannya. 

Yang terpenting, kata dia, adalah keberlanjutan anak sekolah, serta mata pencaharian. Bagi yang memungkinkan bisa dibantu, akan difasilitasi oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tujuan tinggal.

“Pertama prioritas itu anak sekolah. Kita siapkan pakaian, buku, dan keperluan lainnya. Jadi jangan sampai putus (sekolah). Kita lihat masing-masing daerah bagaimana mereka memfasilitasi,” kata dia.

Upaya bantuan Pemprov juga didukung DPRD Sumut. Langkah tersebut juga dinilai telah sesuai dengan harapan para anggota dewan.

Ketua DPRD Sumut Baskami Ginting langsung merespons, mengenai pembiayaan penanganan bencana sosial ini akan ditampung di APBD Perubahan atau P-APBD 2019.

“Luar biasa, ditanggapi langsung dan sangat positif. Sesuai harapan kita. Jadi kita mendukung Pemprov menangani masalah (pengungsi dari Wamena, Papua) ini. Nanti kalau anggaran tidak ada, kita minta di P-APBD 2019 itu dimasukkan untuk tanggulangi bencana,” kata Baskami. []

Berita terkait
Hartini Membawa Parang Saat Kerusuhan di Wamena Papua
Nasib salah satu pengungsi asal Wamena, Papua yang dilarikan ke Makassar, hingga saat ini masih trauma. Kini dia berniat ke Pulau Kalimantan.
Tragis, Maria Alami Keguguran Saat Kerusuhan di Wamena
Kerusuhan di Wamena, Papua menyisakan kisah memilukan bagi pasangan suami istri Maria Kristiani dan Aji Santoso. Bakal bayi pasutri ini gugur.
PUPR Gandeng TNI Bangun Kembali Wamena Papua
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan pihaknya menggandeng TNI guna membangun kembali infrastruktur yang dirusak di Wamena.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.