Halangan Berpuasa Bagi Orang dengan HIV/AIDS

Kewajiban menunaikan puasa pada bulan Ramadan jadi masalah yang penting dalam kaitan perawatan pasien HIV/AIDS
Ilustrasi (Sumber: hivinfo.nih.gov)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Kewajiban menunaikan puasa pada bulan Ramadan menjadi masalah yang penting dalam kaitan perawatan pasien HIV/AIDS karena Odha (Orang dengan HIV/AIDS) harus memakan obat-obatan yang sangat ketat waktunya. Data yang dikeluarkan UNAIDS (1998) menunjukkan angka Odha, khususnya yang sudah mencapai stadium AIDS yang dilaporkan ke WHO, di negara Islam dan negara yang penduduknya mayoritas Islam. Di balik angka itu tentu saja ada yang belum mencapai masa AIDS (tahap HIV+).

Kewajiban berpuasa bagi Muslim yang sudah akil-baligh (dewasa), berakal dan sanggup menjalankannya berdasarkan perintah Tuhan dalam Al Qur-an pada ayat 182 surat Al Baqarah: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa." Namun, dalam ayat berikutnya (183) disebutkan: "Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."

Memang, menurut Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, dokter yang menangani banyak Odha di Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta, Odha dapat mengganti waktu memakan obat dari siang ke malam hari. Jadi, bagi Odha yang harus memakan obat tiga kali sehari, misalnya, dapat memakannya pada waktu sahur, berbuka dan menjelang tidur malam. Begitu seterusnya.

Sedangkan bagi Odha yang harus memakan obat empat kali sehari dapat memakannya pada waktu berbuka, sebelum tidur, menjelang sahur dan ketika sahur. Penelitian di Bagian Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta menunjukkan beberapa pasien geriatri, pasien yang sudah berumur lanjut dengan beberapa penyakit, yang berpuasa tidak menunjukkan efek yang negatif. Pada sebagian pasien ada sedikit pengaruh ke ginjal tapi tidak membahayakan. Bertolak dari hasil penelitian ini Prof Zubairi melihat bisa saja Odha berpuasa.

Namun, bagi Odha yang memakan obat-obat antiretroviral yang sangat ketat dengan waktu akan sulit menjalankan puasa. Misalnya, Odha yang harus meminum obat dalam siklus waktu delapan jam. Artinya, dalam delapan jam ia harus memakan obat beberapa kali. Dan harus dilanjutkan delapan jam kemudian seperti semula. Selain itu ada obat yang harus dimakan dengan perut kosong, sebelum makan, sesudah makan atau sekaligus dengan makanan. Di samping itu Odha yang memakai obat antiretroviral harus banyak minum untuk menghindari gangguan ginjal.

Dari salah satu contoh dosis yang harus ditaati Odha ini, misalnya, jelas terlihat tidak ada waktu yang luang selama 12 jam (waktu berpuasa). Obat pertama diminum pukul 06.00, dilanjutkan beberapa kali lagi dalam jangka waktu yang sudah ditentukan sampai pukul 22.00. Satu kali putaran membutuhkan waktu 16 jam. Kalau pun putaran ini dirubah mulai pukul 18.00 (saat berbuka) tentu obat terakhir harus diminum pukul 10.00 esoknya. Padahal, ketatan memakan obat sesuai dengan dosis sangat diperlukan bagi pengobatan penyakit yang diakibatkan virus.

Misalnya, tiga jam setelah obat diminum aktivitas obat mencapai puncak tapi jam-jam berikutnya turun dan pada waktu yang bersamaan justru aktivitas virus yang naik. Tapi, kalau obat kembali diminum sesuai ketentuan di saat aktivitas virus naik maka obat itu bisa meredam aktivitas virus. Begitu seterusnya. Jadi, kalau obat tidak diminum sesuai dengan aturan maka akan terjadi resistansi sehingga perkembangan virus akan tinggi. Biar pun bisa ditinggalkan, dan wajib diganti di hari lain tentu tetap menjadi masalah yang sulit bagi Odha karena sampai sekarang belum ada obat yang bisa membuat mereka lepas dari cengkeraman penyakit yang mereka derita.

Tapi, dalam buku Ilmu Fiqih (HM Arsyad Thalib Lubis, Firma Islamiyah Medan, 1976) disebutkan "Orang tua yang tidak kuat puasa dan orang sakit yang tidak diharap sembuh penyakitnya dan tidak kuat puasa, tidak wajib mengkada (mengganti-pen.) puasanya tetapi wajib membayar fidyah" (hal 77). Fidyah adalah sedekah kepada beberapa orang miskin setiap hari selama Ramadan sesuai dengan yang dimakan ketika berbuka puasa. "Saya yakin mereka (maksudnya Odha yang mampu-pen.) akan tetap menjalankan puasa," kata Prof Zubairi. Dalam kaitan ini puasa sendiri merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan untuk beroleh kesembuhan. Amin. []

* Sumber Newsletter "WartaAIDS" Nomor 33, 7 Desember 1998

Mengatasi Odha yang Putus Obat ARV di Kalimantan Selatan

Benarkah Obat HIV Bisa Bermanfaat Bagi Penderita Corona?

Kini Lebih Banyak Pilihan Perawatan Bagi Pasien HIV

Tanggulangi AIDS Jadi PR Menkes Kabinet Jokowi Jilid II

Berita terkait
Mengatasi Odha yang Putus Obat ARV di Kalimantan Selatan
Karena Odha di Kalsel banyak dari kalangan miskin dan sebagian tidak mempunyai kartu BPJS Kesehatan, maka banyak yang putus obat
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.