Hal yang Perlu Diketahui Soal Brexit

Di negara asalnya, istilah populer yang berkembang adalah British Exit atau Brexit. Berikut ini hal-hal berkaitan Brexit.
Seorang pria membawa karangan bunga mirip lambang Uni Eropa di Parliament Square, pada hari Brexit, di London, Inggris, Jumat, 31 Januari 2020. (Foto: Antara)

Jakarta - Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara yang dipelopori Inggris secara resmi akan mengakhiri status keanggotaannya dalam Uni Eropa (European Union/UE) pada 31 Januari 2020 waktu setempat. Dengan demikian, berakhir pula cerita negeri pimpinan Ratu Elizabeth itu dalam lingkaran organisasi regional tersebut selama lebih dari 40 tahun, atau tepatnya pada 1975. Di negara asalnya, istilah populer yang berkembang adalah British Exit atau Brexit. 

Lalu, apa itu sebenarnya Brexit? Seperti diketahui sebelumnya, Inggris memutuskan untuk hengkang dari Uni Eropa berdasarkan referendum yang diadakan pada Juni 2016.

Dari hasil pemilihan tersebut, 17,4 juta pemilih atau sekitar 52 % rakyat di Tanah Britania Raya menetapkan pilihannya untuk keluar dari Uni Eropa. Sedangkan 48 % masyarakat lain memandang bahwa tetap bergabung dengan ‘ASEAN-nya’ Eropa itu adalah keputusan terbaik.

Persekutuan Uni Eropa merupakan kesatuan ekonomi, bisnis, dan politik yang mencakup 28 negara yang terlibat di kawasan. Organisasi regional ini memungkinkan terjadinya hubungan dagang secara lebih bebas (free trade) antara satu negara dengan negara lain sesama anggota.

Sehingga, terjadi penurunan tarif pajak maupun besaran bea masuk hingga 0 % dari barang dan jasa yang diperdagangkan. Tidak hanya itu, Uni Eropa juga memungkinkan terjadinya pembebasan mobilitas warga negara di wilayah meraka, termasuk bekerja dan bertempat tinggal.

BrexitPengunjuk rasa anti-Brexit berdemo di depan Downing Street di London, Inggris, Rabu, 8 Januari 2020. (Foto: Antara)

Melalui sejumlah kemudahan dan potensi ekonomi yang bisa ditimbulkan oleh persatuan Uni Eropa, nampaknya keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa masih harus menghadapi tantangan yang belum pernah ditemui sebelumnya. Leave means leave! Ya, sekali keluar berarti keluar selamanya dan tidak bisa bergabung lagi.

Dan ini yang bakal dihadapi oleh Bojo, panggilan akrab Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang memang dikenal sebagai tokoh paling vokal selama masa kampanye Brexit beberapa waktu silam.

Politikus dari Partai Konservatif itu akan memimpin negaranya pada periode transisi dan akan berakhir pada 31 Desember 2020. Selama masa peralihan 11 bulan ke depan, Inggris masih akan tetap mengikuti semua aturan Uni Eropa, termasuk hubungan perdagangan dan ekonomi.

Periode transisi ini juga dimanfaatkan kedua belah pihak untuk meng-adjust perjanjian kerja sama level baru yang bisa diterapkan pada masa mendatang. Langkah ini diperlukan karena Inggris akan meninggalkan pasar tunggal serta insentif tarif pajak pada akhir masa transisi. Jika diibaratkan, Inggris dan Uni Eropa adalah sepasang suami istri yang tengah dalam fase perceraian namun masih berbagi rumah dan tagihan.

Jika Bojo tidak bisa melahirkan kesepakatan komprehensif yang menguntungkan Inggris, maka siap-siap tarif pajak tinggi dan hambatan perdagangan siap menghadang.

Brexit awalnya direncanakan akan resmi dilaksankan pada 29 Maret 2019. Tetapi batas waktu ditunda setelah anggota parlemen menolak kesepakatan yang dinegosiasikan oleh Theresa May, Perdana Menteri Inggris saat itu.

Penyebabnya adalah banyak anggota parlemen konservatif dan penyokong pemerintah tidak senang dengan opsi hambatan tarif yang dibawa oleh May. Anggota parlemen tersebut berpendapat bahwa Inggris dapat tetap terjebak dalam pengaturan selama bertahun-tahun tanpa jalan keluar yang jelas.

Akan tetapi akhirnya anggota parlemen menyetujui kesepakatan kali ketiga yang disodorkan May, dan itu pula akhir tugas May di pemerintahan sebelum dia memutuskan mundur. Penggantinya, Boris Johnson mengajukan perpanjangan waktu Brexit yang akhirnya disetujui. Inilah alasan yang menyebabkan tenggat waktu mundur menjadi 31 Januari 2020.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Tagar, Inggris harus mengeluarkan ‘uang cerai’ kepada Uni Eropa sebesar 30 miliar poundsterling. Dana tersebut nantinya akan ditujukan untuk kontribusi terhadap komitmen anggaran UE yang dibuat sementara Inggris masih menjadi anggota. Inggris juga akan berkontribusi terhadap pensiun staf Uni Eropa yang dikeluarkan sebelum Brexit.

Inggris juga diketahui bakal menerima kembali uangnya sebesar 3 miliar poundsterling yang telah dibayarkannya ke Bank Investasi Eropa, serta sejumlah kecil modal yang dibayarkan ke Bank Sentral Eropa. []

Baca juga:

Berita terkait
[Liputan Khusus] Tragedi Mudik 'Brexit' Jangan Terulang
Anggota DPR RI saat ini mengadakan kunjungan ke daerah dan melakukan berbagai aktivitas memantau persiapan arus mudik terkait Lebaran tahun 1438 H/2017 M.
Jokowi Tak Perlu Takut Hadapi Gugatan Uni Eropa
Langkah Presiden Jokowi menyiapkan pengacara terbaik untuk menghadapi gugatan Uni Eropa harus mendapat dukungan bersama.
Bijih Nikel Digugat Uni Eropa, Jokowi: Hadapi
Jokowi mengatakan Indonesia tak perlu ragu menghadapi Uni Eropa yang akan menggugat Indonesia ke WTO karena kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.