Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) gencar meningkatkan upaya literasi digital guna menghadapi penyebaran infodemi korona di tengah masyarakat.
Infodemi sendiri merupakan istilah yang ditetapkan WHO untuk menggambarkan hoaks berkaitan dengan pamdemi covid-19. Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, infodemi itu telah menjadi masalah baru bagi dunia internasional, selain pandemi korona itu sendiri.
Upaya pengendalian yang dilakukan Kemkominfo, menurut Samuel Abrijani, bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakat, namun ditujukan mencegah keresahan dan gangguan ketertiban umum.
“Kami perlu melakukan pengaturan dan pengendalian bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat, tapi karena situasi pandemi ini kita perlu meluruskan informasi-informasi yang salah agar tidak membuat keonaran atau membuat keresahan dan atau mengganggu ketertiban umum,” kata dia di Jakarta, Senin, 19 Oktober 2020.
Dia menjelaskan bahwa ada tiga bentuk infodemi yang beredar, yaitu misinformasi atau penyebaran informasi yang tidak tepat akibat adanya ketidaktahuan akan informasi yang tepat.
Lalu disinformasi atau penyebaran informasi yang tidak tepat dan bersifat destruktif secara sengaja. Kemudian yang ketiga yakni malinformasi atau penyebaran informasi faktual untuk merugikan pihak-pihak tertentu.
“Di tengah pandemi, ketiga jenis gangguan informasi mengakibatkan pemahaman masyarakat yang tidak lengkap tentang situasi dan prosedur medis yang tepat terkait virus Covid-19. Hal ini kemudian menimbulkan stigmatisasi terhadap rumah sakit, tenaga medis dan penyintas COVID-19, hingga keengganan masyarakat untuk melakukan protokol kesehatan yang telah disarankan,” jelasnya.
Pemerintah terus berupaya meluruskan informasi-informasi yang salah berkaitan dengan pandemi. Hal itu dilakukan dengan menelusuri informasi hoaks dan menerima aduan dari masyarakat.
"Kami selalu melakukan verifikasi tidak jadi tidak serta merta Pemerintah langsung mengambil tindakan tanpa memverifikasi. Kita selalu melakukan langkah-langkah verifikasi berkas itu dilakukan dengan beberapa pihak," jelas Semuel.
Selain itu, ia juga memastikan bahwa Kemkominfo telah melakukan beberapa inisiatif kunci yang telah terbukti efektif untuk mengurangi jumlah infodemi itu. Menurutnya, hingga hari ini telah diidentifikasi 2.020 konten hoaks yang beredar di media sosial.
Kominfo telah bermitra dengan berbagai platform media sosial yang beroperasi di Indonesia untuk bersama-sama melakukan patroli siber terhadap konten-konten bermuatan hoaks
“Dengan temuan jumlah kategori sebanyak 1.197 topik. Dari 2.020 hoaks tersebut, Kominfo sudah melakukan take-down sekitar 1.759 konten,” kata dia.
Menurut Dirjen Semuel, dalam melawan derasnya arus infodemi, Kemkominfo melakukan inisiatif berfokus pada yakni level hulu, tengah, dan hilir.
Di level tengah dan hilir, Kementerian Kominfo lebih berfokus pada terbentuknya kerjasama yang komprehensif antaraktor yang krusial dalam penanganan persebaran hoaks di tengah pandemi.
“Kominfo telah bermitra dengan berbagai platform media sosial yang beroperasi di Indonesia untuk bersama-sama melakukan patroli siber terhadap konten-konten bermuatan hoaks,” ujarnya.
Di level hilir, menurut Dirjen Aptika jika informasi tersebut benar-benar meresahkan masyarakat maka aparat penegak hukum yang langsung menindak. “Kami juga memberikan kemudahan kepada instansi untuk melakukan klarifikasi supaya informasi tersebut tidak berdampak buruk bagi masyarakat,” katanya.
Dirjen Semuel menegaskan di tengah era demokrasi seperti saat ini, Pemerintah tidak mungkin menerapkan pendekatan tangan besi. Sehingga tidak lagi ada penutupan situs atau pemblokiran konten tanpa ada alasan yang jelas.
"Ada tahapan-tahapan yang memang melanggar, apalagi kita akan mempunyai Permen baru di mana itu ada tahapannya lebih jelas dan sebelum melakukan pemblokiran itu ada tahapan pelaku dikenakan sanksi administratif untuk memuculkan efek jera,” jelasnya.
Pemerintah, kata dia, juga melibatkan masyarakat dalam menghadapi hoaks. Menurutnya, masyarakat juga diharapkan perlu mencari tahu. Sebab, di era digital saat ini siapa saja bisa mengakses informasi dari mana saja sehingga perlu melakukan klarifikasi, memeriksa fakta dan melihat siapa yang menyebarkan informasi atau pemberitaan tersebut.
“Peran masyarakat itu sangat penting, jadi perlu melihat judul-judul yang dibuat yang kadang-kadang provokatif dan mengundang emosi, ini perlu dipahami oleh masyarakat. Jadi kalau memang orangnya belum pernah punya kredensial, websitenya baru kemarin dibuat itu perlu dicurigai. Dilihat juga cek fotonya, kadang-kadang fotonya benar tapi captionnya itu juga yang menyesatkan. Jadi perlu masyarakat juga paham tentang hal-hal ini,” jelas dia. []
Baca juga:
- Bantahan Pihak Kemenkominfo Soal Kapasitas CEIR
- Menkominfo Pastikan Akses Internet di Layanan Kesehatan
- Menkominfo: Pemerintah Bilang Hoaks Ya Dia Hoaks!