Yogyakarta - Cebong dan kampret, dua kata yang populer menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Cebong menunjuk pengikut capres (saat itu) Jokowi dan kampret capres Prabowo Subianto. Setelah Kabinet Indonesia Maju terbentuk, dua kata itu mulai redup. Popularitasnya mulai tergantikan dengan kosa kata lain, Kadrun.
Di mesin pencarian google, kata Kadrun ditemukan ada 92.700 hasil per 0,34 detik. Dari penelurusan Tagar.id, kata Kadrun mulai dikenal di dunia maya, terutama Facebook, sebulan terakhir. "Sebenarnya kata Kadrun sudah dikenal dua bulan terakhir. Awalnya saya bingung itu siapa dan apa yang dimaksud," kata Taufik 40 tahun, netizen asal Yogyakarta, Kamis 7 November 2019.
Karyawan swasta ini beberapa kali menemui kata “kadrun” di postingan atau komentar di Facebook. Biasanya dia menemui kata itu di postingan yang bertema politik dan kebijakan. "Misalnya ada TS (Thread Starter) memposting sesuatu di Grup Facebook. Kalau ada anggota grup yang tidak suka, bilang dasar kadrun," kata dia.
Taufik akhirnya paham apa itu Kadrun. Kosa kota itu bukan nama orang, melainkan umpatan yang diberikan kepada seseorang. "Biasanya Kadrun dialamatkan kepada orang yang kritis terhadap pemerintah," ungkapnya.
Sedangkan Abimanyu 35 tahun, warganet dari Yogyakarta mengatakan Kadrun bisa dipersonifikasi sebagai pihak yang belum move on terhadap hasil Pilpres. "Saya tahu Kadrun itu singkatan dari Kadal Gurun, saya tahunya juga di grup Facebook," ungkapnya.
Kontestasi dua kubu selesai.
Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Mada Sukmajati, mengatakan fenomena Cebong-Kampret muncul karena ada dua kubu elite yang berkontestasi di Pilpres 2019. Dua kata itu perlahan surut setelah Pilpres, apalagi saat itu ada slogan yang luar biasa masif, tidak ada 01 dan 02. Tapi yang ada 03 yakni Persatuan Indonesia.
Menurut dia, dua kata yang sinonim hewan, kampret atau kelelawar dan cebong atau katak, semakin tenggelam setelah Prabowo Subianto masuk Kabinet Indonesia Maju. "Kontestasi dua kubu selesai," kata Mada.
Namun, ujar alumnus National Graduate Institute for Policy Studies di Tokyo, Jepang ini, kontestasi Pilpres 2019 selesai tidak serta perbedaan pilihan selesai. "Pilpres 2019 melahirkan dua konflik, yakni di tingkat elite dan basis massa," katanya.
Menurut dia, konflik di tingkat elite tidak bersifat ideologis. Begitu pertaruangan selesai, konflik pun selesai. Berbeda dengan basis massa di akar rumput. Mereka sangat ideologis, sudah tertanam secara mendalam sebelum gelaran kompetisi dimulai.
"Konflik elite tidak bersifat ideologi, kontestasi sudah cair. Tapi di masyarakat sangat ideologis, sangat sulit berubah dan masih berlaku sampai sekang," ujar penulis buku Politik Uang di Indonesia: Pola Patronase dan Jaringan Klientelisme pada Pileg 2014.
Dia menyebutkan Kadrun disematkan kepada orang atau kelompok yang belum move on terhadap hasil Pilpres 2019. Merujuk pada konteks itu, Kadrun merupakan turunan dari Kampret. Dengan kata lain, Kadrun adalah pengganti Kampret. "Saya agak spekulatif ya, di akar rumput pembagian idelogi terlihat antara Islam dan nasionalis," ungkapnya.
Mada mengatakan Kadrun tetap memiliki kelebihan dalam perpolitikan nasional, begitu juga memiliki kekurangannya. "Kelebihannya menjadi kekuatan kontrol terhadap pemerintah dari akar rumput, dengan catatan dikelola dengan baik. Namun kekurangannya jika energi itu tidak dikelola," kata dia.
Menurut Mada, dari beberapa partai politik ada beberapa partai yang punya potensi besar bisa mengakomodir Kadrun ini. Salah satunya PKS, jika mampu mengakomodir posisi grassroot akan menjadi kekuatan besar. "Karena PKS sejauh ini konsisten sebagai opisisi. PAN dan Demokrat masih meragukan di posisi itu (oposisi)," ujar dia. []
Baca Juga :
- Tonton Film Kartun Warkop DKI di Ulang Tahun ke-46
- Senyum Indonesia Dalam Kartun Mice
- Karpet Merah untuk Prabowo Subianto