Gubernur Aceh Jika Terbukti Korup, Akankah Tangannya Dipotong?

Gubernur Aceh jika terbukti korupsi, akankah tangannya dipotong? Apakah Perda Syariat Islam Aceh mengatur tindak pidana korupsi?
Kalau Gubernur Aceh Terbukti Korupsi, Akankah Tangannya Dipotong? | Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dibawa ke gedung KPK setelah diamankan untuk diperiksa di Jakarta, Rabu (4/7/2018). KPK mengamankan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi serta beberapa orang lainnya setelah menggelar OTT (operasi tangkap tangan) di Aceh dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dana otonomi khusus. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak)

Jakarta, (Tagar 4/7/2018) - Masyarakat awam tahu sedikit tentang Aceh termasuk hukum Islam yang diterapkan di sana. Yang awam tahu, apabila ketahuan berduaan dengan  berlainan jenis di tempat sepi bisa ditangkap lalu dicambuk. Kalau ketahuan mencuri akan dipotong tangannya. Logika awam, korupsi sama dengan mencuri berarti juga akan dilakukan potong tangan.

Ketika pada Selasa (3/7) malam Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), imajinasi awam pun berkata bahwa kelak kalau sang gubernur terbukti melakukan korupsi, ia akan dipotong tangannya.

Ternyata tidak demikian.

Saifuddin Bantasyam akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala mengatakan bahwa Perda Syariat Islam Aceh tidak menyentuh penanganan kasus tindak pidana korupsi.

"Pernah ada usul dari beberapa pihak agar eksekutif dan legislatif menyusun qanun (Perda) Aceh tentang anti korupsi. Usulan itu sudah muncul 2007 dan marak lagi 2017, tapi tak dilakukan sampai sekarang," ujar Saifuddin pada Tagar News, Rabu (3/7) sore.

Kasus tindak pidana korupsi di Aceh, proses hukum sepenuhnya mengacu pada Undang-Undang Antikorupsi yang berlaku nasional.

Kasus pencurian pun, sebutnya, tidak diatur dalam Perda Aceh. Proses hukum pencurian di Aceh tetap mengacu pada KUHP. Artinya tidak ada hukum potong tangan di Aceh.

Terkait penangkapan Irwandi Yusuf oleh KPK, berarti sepenuhnya diproses dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

"Ya sepenuhnya mengacu kepada UU Antikorupsi," tegasnya.

Ia berpandangan ketiadaan Perda Syariat Islam Aceh untuk kasus korupsi, mengusik rasa keadilan masyarakat setempat.

"Saya rasa tidak menyentuh rasa keadilan rakyat Aceh sebab Aceh tidak punya qanun atau perda antikorupsi," ujar Saifuddin.

"Jadi, masyarakat ya mengikuti saja proses hukum yang ada, berlandas pada UU nasional," lanjutnya.

Pada hari yang sama Aryos Nevada pengamat politik dari Universitas Syah Kuala juga menyampaikan hal senada, bahwa kasus korupsi tidak diatur dalam Perda Syariat Islam Aceh. Juga pencurian tidak diatur dalam Perda Syariah. Artinya, ia menegaskan bahwa tidak ada potong tangan di Aceh. Hukum cambuk hanya berlaku untuk kasus asusila dan judi. Tapi, ia tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang mengusik rasa ketidakadilan.

"Bukan bicara adil atau tidak. Harus paham juga bahwa itu (kasus korupsi dan pencurian) belum diatur dalam Perda. Jangan langsung mengklaim bahwa itu adil atau tidak adil, tanpa mempertimbangkan kondisi faktual dan kekhususan Aceh," kata Aryos Nevada pada Tagar News.

Aryos menjelaskan, terkait gubernur Aceh melakukan korupsi, UU 11 Tahun 2006 (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) mengatur beberapa hal:

Gubernur diberhentikan sementara karena korupsi, Pasal 50 Ayat 1, "Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/DPRK karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara."

Gubernur korupsi hanya dapat diberhentikan tetap oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrach). Pasal 50 Ayat 2, "Gubernur dan wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/ DPRK karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara dan/atau tindak pidana lain yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap."

Wakil gubernur menggantikan tugas gubernur apabila diberhentikan sementara sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 53 ayat 1, "Apabila gubernur/bupati/wali kota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (5), wakil gubernur/wakil bupati/wakil wali kota melaksanakan tugas dan kewajiban gubernur/bupati/wali kota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.":

Presiden menetapkan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh dengan Pertimbangan DPRA melalui Mendagri. Pasal 53 ayat 3, "Apabila gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat gubernur/ bupati/ wali kota dengan pertimbangan DPRA melalui menteri dalam negeri dan bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota dengan pertimbangan DPRK melalui gubernur sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap."

Irwandi YusufGubernur Aceh Irwandi Yusuf (tengah) dibawa ke gedung KPK setelah diamankan untuk diperiksa di Jakarta, Rabu (4/7/2018). (Foto: Antara/Hafidz Mubarak)

Dihubungi Tagar News pada Rabu sore, Donal Fariz aktivis anti korupsi dari Indonesian Corruption Watch (ICW) juga mengatakan bahwa pejabat Aceh termasuk gubernur yang melakukan korupsi, penanganan hukumnya menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

"Tidak seluruh kasus tindak pidana di Aceh diatur Perda. Korupsi di Aceh, Perda Syariah tidak mengatur itu. Aceh bagian dari Indonesia. Kasus korupsi di sana ditangani dengan pendekatan UU Tipikor," kata Donal. 

Tanpa Irwandi, Aceh Normal 

Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh Rahmad Raden menyatakan tugas pemerintahan dan pelayanan masyarakat berjalan seperti biasa di provinsi setempat pasca-operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Pemerintahan berjalan normal, Wakil Gubernur, Sekda, Asisten dan kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) beserta seluruh jajaran tetap melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan masyarakat seperti biasa," kata Kabiro Humas dan Protokol Setda Aceh di Banda Aceh, Rabu, mengutip dari Antara.

Pernyataan itu disampaikan menanggapi penjemputan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf di rumah dinasnya yang diperiksa di Polda Aceh oleh Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lebih lanjut dibawa ke gedung KPK, untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut pasca-operasi tangkap tangan (OTT), Selasa (3/7) malam.

Menurut dia berbagai tugas dan kegiatan pemerintahan di lingkungan Pemerintah dan semua tugas pemerintahan berjalan normal seperti hari biasa.

Rahmad mengatakan ini bukan kali pertama Gubernur Aceh berhalangan, baru-baru ini Irwandi Yusuf mengambil cuti saat kampanye di Aceh Selatan dan Subulussalam serta saat bulan Ramadan gubernur melaksanakan umrah bersama keluarga dan roda pemerintahan tetap berjalan normal.

Ia meminta kepada semua pihak untuk tetap mengedepankan praduga tidak bersalah terhadap persoalan yang sedang dialami oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.

Dari Aceh ke Jakarta

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tiba di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut pascaoperasi tangkap tangan (OTT).

Irwandi tiba di gedung KPK, Jakarta sekitar pukul 14.05 Wib dengan menggunakan mobil tahanan KPK dan dikawal pihak keamanan KPK.

Irwandi yang mengenakan kemeja lengan panjang putih hanya melontarkan senyum kepada awak media sebelum memasuki gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan.

Sebelumnya, Hendri Yuzal yang merupakan ajudan Irwandi telah lebih dahulu tiba di gedung KPK Jakarta, Rabu sekitar pukul 12.30 Wib juga untuk diperiksa lebih lanjut.

KPK juga telah melakukan pemeriksaan awal terhadap Irwandi di Mapolda Aceh pasca-OTT tersebut.

Irwandi YusufGubernur Aceh Irwandi Yusuf duduk di salah satu ruangan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh di Banda Aceh, Aceh, Selasa malam (3/7/2018). (Foto: Antara/Irwansyah Putra)

Dalam OTT pada Selasa (3/7), tim KPK turut mengamankan uang Rp 500 juta diduga terkait dana otonomi khusus Aceh Tahun 2018.

KPK pada Selasa (3/7) sore hingga malam melakukan kegiatan penindakan di Aceh dan mengamankan 10 orang, yang terdiri dari dua Kepala Daerah dan sejumlah pihak non-PNS.

Selain Irwandi, Bupati Bener Meriah Ahmadi juga termasuk yang diamankan.

Sesuai KUHAP, tim melakukan proses sampai penentuan status dalam waktu 1x24 jam.

Dugaan Suap

KPK masih mendalami dugaan suap terkait Dana Otonomi Khusus (Otsus) terkait dengan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.

"(Dugaan suap) itu terkait dana otonomi khusus tahun 2018, kalau tidak salah ada persentasenya, jadi untuk operasional sekian persen, untuk yang lain sekian persen, tapi masih memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, belum final," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu.

KPK juga telah melakukan pemeriksaan awal terhadap Irwandi di Mapolda Aceh pasca-Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Selasa (3/7). Selain Irwandi, Bupati Bener Meriah Ahmadi juga dikabarkan termasuk yang diamankan.

"Ada uang sebesar Rp 500 juta dan bukti transfer yang diamankan," tambah Agus.

Tim KPK menjemput Irwandi Yusuf di rumah dinas Gubernur Aceh, Banda Aceh, Selasa (3/7) malam. Irwandi kemudian diperiksa di Polda Aceh selanjutnya diterbangkan ke Jakarta.

Irwandi Yusuf yang menggunakan baju warna putih tersebut dibawa ke Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Blang Bintang, Aceh Besar dengan menggunakan mobil baracuda milik Polda Aceh untuk dibawa ke Jakarta.

Dana Otonomi Khusus

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mengapresiasi kerja tim satuan tugas atau Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Aceh.

Kepala Divisi Advokasi GeRAK Aceh Hayatuddin Tanjung di Banda Aceh, Rabu, mengatakan penindakan tersebut membuktikan bahwa KPK serius memberantas korupsi di Bumi Serambi Mekah.

"Kami mengapresiasi langkah penindakan operasi tangkap tangan dilakukan KPK di Aceh, ini bisa menjadi lampu merah bagi pejabat negara di provinsi ujung barat Indonesia tersebut," kata Hayatuddin.

Ia menyebutkan, penangkapan terhadap kepala daerah di Aceh ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi pejabat, pemangku kepentingan, dan lainnya di Provinsi Aceh.

Selama ini, lanjut dia, praktik korupsi banyak terjadi, namun belum ada tindakan dari aparat penegak hukum di Aceh. Oleh karena itu, operasi penindakan KPK sangat tepat dalam memberantas korupsi di provinsi tersebut.

"Kami juga menyayangkan, kepala daerah yang seharusnya menjadi motor penggerak kesejahteraan rakyat, tapi malah terlibat dalam praktik korup seperti ini," ujarnya.

Hayatuddin meminta KPK tidak berhenti sampai dengan kasus ini saja, melainkan harus melakukan penindakan terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi lainnya di Aceh.

KPK, sebut Hayatuddin, wajib terus-menerus memantau penggunaan anggaran, mengingat Aceh mengelola anggaran daerah begitu besar. Bahkan untuk tahun ini, anggaran daerah yang dikelola mencapai Rp 15 triliun.

Belum lagi, kata Hayatuddin, Aceh merupakan daerah memiliki dana otonomi khusus (otsus) sangat besar dan selalu meningkat setiap tahunnya. Untuk tahun anggaran 2018 saja mencapai Rp 8 triliun.

"Untuk itu, KPK harus memberikan perhatian khusus terhadap Aceh dalam upaya penindakan. Apalagi Aceh telah ditetapkan sebagai daerah menjadi titik fokus KPK dari lima provinsi lain di Indonesia," kata Hayatuddin Tanjung. (af)

Berita terkait
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.