Gowes di Yogyakarta, Dulu Dipuji Kini Dicaci

Gowes di Yogyakarta sering dipuji, menyehatkan dan ramah lingkungan. Akhir-akhir ini, goweser sering dicaci. Mengapa?
Gowes yang dilakukan ibu-ibu di pedesaan yang tertib dalam berlalu lintas. (Foto: screenshoot facebook)

Yogyakarta - Belakangan ini naik sepeda menjadi tren masyarakat khususnya di Yogyakarta. Bersepeda menjadi sarana transportasi yang menyenangkan dan menyehatkan di tengah pandemi virus Corona. Bersepeda juga salah satu transportasi yang ramah lingkungan.

Beberapa tahun ke belakang hanya sedikit masyarakat yang tertarik menggunakan sepeda, dan tidak banyak seperti saat ini. Untuk mengajak masyarakat bersepeda, pemerintah kota Yogyakarta me-launching Jogjabike, sebagai alternatif wisata di Kota Yogyakarta sekaligus yang pertama di Indonesia. Pemkot mengajak agar masyarakat gemar bersepeda.

Keberadaan jogjabike tersebut merupakan hasil kerja sama Pemkot Yogyakarta dengan beberapa pihak melalui program Jogja Ada Sepeda. Jogjabike ini menghadirkan sebuah sepeda smart khas Jogja yang tahap awal berada di ikon wisata Malioboro.

Komunitas gowes dianggap telah mendukung program pemerintah. Hingga saat banyak sekali masyarakat yang menggunakan sepeda. Mereka rela merogoh kocek demi mendapatkan sepeda, baik barang baru ataupun sepeda bekas.

Sehingga tren bersepeda di Kota Gudeg akhir-akhir ini seperti kembali di era 1980-an. Saat itu, sepeda masih menjadi alat transportasi yang merajai jalanan sehingga kota ini dijuluki Kota Sepeda.

Namun belakangan ini, mereka kerap di-bully. Di media sosial sebagian netizen mencibir para goweser ini. Terlebih pada Minggu, 7 Juni 2020, saat ratusan goweser memenuhi kawasan Malioboro. Ada kerumunan di sana.

Foto-foto kegiatan goweser tersebut menghiasi postingan di media sosial, yang mayoritas bernada nyinyir. Ada warganet yang memposting salah satu foto dengan narasi, seolah sedang merayakan kemenangan atas Corona.

Keesokan harinya, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Bowono (HB) X mengeluarkan pernyataan: "Saya minta kesadaran mereka di Malioboro atau di mana pun berada. Kalau minggu depan ada yang kumpul-kumpul tanpa mematuhi protokol pencegahan Covid-19, akan saya bubarkan karena risiko terlalu besar. Jangan saya close Malioboro atau titik-titik lain yang rawan pengunjung karena tidak patuh aturan".

Sejak saat itu, postingan-postingan bernada nyinyir kepada goweser bertubi-tubi muncul di media sosial. Ada warganet yang membandingkan goweser zaman now ibarat sepeda mahal tapi tidak tertib aturan, dengan goweser zaman jadul dengan sepeda murah tapi tertib aturan.

gowes2Goweser saat bersepeda di kawasan Malioboro di tengah pandemi Corona. (Foto: Istimewa/postingan di grup-grup Facebook)

Ada sindiran kepada goweser yang tidak tertib aturan jalan dengan memosting foto ibu-ibu di pedesaan yang menaiki sepeda berderet satu-satu sampai panjang. 

Foto tersebut diberi narasi: Sama-sama bersepeda, sama-sama berseragam, sama-sama berkomunitas, sama-sama di jalan umum. Tapi mereka lebih santun. Berderet rapi 1-1-1. BUKAN berjejer 2-3-4 ngebaki ratan (memenuhi jalan)".

Ada pula postingan kecelakaan lalu lintas, sepeda motor masuk ke sawah gegara menghindari rombongan pesepeda yang menerobos lampu merah di Bantul. Postingan ini diunggah oleh @Hari Ini di Grup Facebook IKKJ Info Kecelakaan dan Kriminalitas Jogjakarta:

"Korban rombongan pit2an nerobos lampu merah lur. Tkp perempatan bakulan ngetan. Mesake mase nganti nyemplung ng sawah ro anak bojone. Untung ora popo. Motor yo ora parah banget rusak. Buat pakdhe2 kuwi sog neh nek pit2an ra ngawur yo pak". (Korban rombangan gowes menerobos lampu merah. TKP perempatan Bakulan ke timur. Kasihan pengendara motor sampai masuk ke sawah beserta anak istrinya. Untung tidak apa-apa, motor juga tidak banget rusak. Buat goweser besok lagi kalau bersepeda jangan ngawur ya).

Respons Goweser terhadap Cacian

Begitu fenomena pesepeda yang menuai kritikan di kalangan masyarakat. Para pesepeda berlalu lalang di jalanan, sering kali pesepeda bergerombol yang menyebabkan prinsip physical distancing Korona terabaikan.

Lantas bagaimana tanggapan goweser? Seorang goweser, Yanto, 23 tahun, mengaku komunitas sepeda akhir-akhir ini sedang menjadi sorotan masyarakat. "Awalnya kan ya gara-gara Covid-19 ini," kata Yanto, kepada Tagar, Selasa, 16 Juni 2020.

Menurut dia, dulu sebelum ada Covid-19 saat rutin bersepeda semuanya biasa-biasa saja. "Dulu pernah gitu rutin sepedaan. Pas Covid-19 ini aku dari awal emang kekeh jangan keluar desa gitu. Karena akhir ini sudah ada kelonggaran, aku mulai sepedaan lagi. Dan akhirnya pem-bully-an pun dimulai," katanya.

kominitas gowes JogjaYanto, warga yang tinggal di Minggiran, Sleman, Yogyakarta saat bersepeda ke kawasan penggunungan (Foto dok Pribadi/Tagar/Evi Nur Afiah).

Yanto menilai belakangan ini banyak masyarakat yang mendiskriminasi para peseda. "Semua akan sepedaan pada waktunya" itu lah sindirian pertama yang diterima Yanto warga yang tinggal di Minggiran, Sleman, Yogyakarta.

Dia mengaku masih tetap kontrol saat bersepeda. "Aku sih kontrol nek sepedaan pake jalan yang pinggiran. Yang gak kontrol itu tergantung jam sama suasana. Kalau semisal hari kerjane ngepit (bersepeda) nengah-nengah yo salah sih, tapi kalau semisal hari libur boleh dong jejeran dua gitu para pesepeda. Emang maceti (bikin macet) tapi kan seenggaknya enggak tiap hari gitu loh," kata dia.

Yanto berdalih, yang bikin macet selama ini bukan pesepeda, tetapi orang yang pakai mobil "Sekarang lo, maceti mana mobil sama sepeda. Karang jare Wong Jowo ki nek wes paitan sengit ki meh piye-piye tetep salah, Hehehe (Sekarang lebih bikin macet mobil atau sepeda. Orang Jawa bilang, kalau sudah benci, mau apa-apa tetap salah. Hehehe)," ucapnya.

Yanto sendiri bersama komunitasnya, lebih menyukai perjalanan bersepeda di wilayah pegunungan, tidak sampai ke wilayah kota. Alasannya, dia lebih menyukai tempat-tempat asri dibandingkan lalu lintas di tengah kota. "Aku kalau bersepedaan susur jalan sepi, enggak pernah (di jalan) ramai. Pakai masker dong sesuai protokol Covid-19," ungkapnya. []

Baca Juga:

Berita terkait
Kata Sultan Saat Warga Mulai Berkerumun di Malioboro
Gubernur DIY Sri Sultan HB X menyaksikan banyak warga di Malioboro tidak mengindahkan protokol kesehatan.
Gowes di Bantul Dibubarkan Bila Abai Protokol Covid
Petugas Satpol PP harus menertibkan para pesepeda yang dinilai tidak memakai masker atau mereka yang bergerombol tanpa menjaga jarak.
Gowes Hingga Pelosok Melawan Covid-19 di Kulon Progo
Bersepeda menempuh puluhan kilometer hingga pelosok sambil aksi sosial di tengah pandemi Corona. Itulah yang dilakukan Ipung, warga Kulon Progo.
0
JARI 98 Perjuangkan Grasi untuk Ustadz Ruhiman ke Presiden Jokowi
Diskusi digelar sebagai ikhtiar menyikapi persoalan kasus hukum yang menimpa ustaz Ruhiman alias Maman.