Jakarta - Peneliti Politik Universitas Islam Negeri Jakarta, Adi Prayitno menilai langkah Presiden PKS Sohibul Iman bertemu Ketum Partai Berkarya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto merupakan triger kedua untuk menjadi pemimpin partai oposisi.
"PKS bergerak gesit karena ingin ambil alih komando oposisi. Makanya butuh teman," kata Adi kepada Tagar pada Rabu 20 November 2019.
Dalam pertemuan dengan Partai Berkarya, Sohibul mengaku akan melanjutkan safari politiknya ke partai lain yang berada di luar pemerintahan. PKS dijadwalkan akan berjumpa dengan elit PAN dan Demokrat.
Oposisi saat ini jauh lebih lemah ketimbang sebelumnya.
"Dengan Berkarya, PKS ingin membangun koalisi sebagai oposisi. Begitupun dengan rencana bertemu PAN dan Demokrat. PKS berupaya mengajak dua parpol itu sebagai teman oposisi yang memberikan checks and balances," ujar dia.
Adi kemudian mengurai gebrakan politik PKS ketika Sohibul memeluk erat Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di markas PKS. Menurut dia, maksud PKS membuka diri bertemu NasDem mirip dengan hasrat silaturahmi politik PKS-Berkarya.
Namun, dalam pertemuan PKS-NasDem, terselip penjajakan kemungkinan kerjasama jangka menengah dalam pesta demokrasi di Indonesia. "Seperti Pilkada 2020 dan kerja sama jangka panjang menghadapi Pemilu 2024," kata dia.
Adi mengatakan PKS berani mengambil jalan di tengah kenyataan gemuknya koalisi partai pendukung pemerintah. Pasalnya, kata Adi, semenjak Partai Gerindra merapat ke Istana oposisi menjadi ramping dan tak memiliki komando. "Oposisi saat ini jauh lebih lemah ketimbang sebelumnya," ujarnya.
Sebab itu PKS berusaha memeluk erat partai yang tersisa di luar pemerintah dalam safari politiknya agar mereka berjalan beriringan menjalankan fungsi kontrol dalam prinsip checks and balances sebagai oposisi.
"Partai lain sikapnya masih terbelah dan belum kuat iman politiknya untuk jadi oposisi," kata Adi.
Bila langkah PKS ini tidak dijalankan, menurut Adi partai berlambang padi dan bulan tersebut akan tenggelam di tengah kerumunan hegemoni koalisi pemerintah lantaran kuantitas partai oposan lebih sedikit dan tak berkomando.