GeRAK Aceh: Segera Bentuk Tim Pansus Pertambangan

104 perusahaan di Aceh sudah berakhir izinnya, seharusnya lokasi bisa diambil alih pemerintah, bisa dimanfaatkan masyarakat untuk perhutanan sosial.
Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh saat menyambangi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Teuku Irwan Djohan, Sabtu 17/2.(fzi)

Banda Aceh, (Tagar 17/2/2018) Banyaknya masalah pertambangan di Aceh selama ini menjadi persoalan besar yang mengancam keselamatan hutan dan lahan di Aceh, akibatnya Aceh rawan terjadi bencana seperti banjir bandang dan kekeringan.

Tak hanya itu, persoalan administrasi di Aceh terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) juga dinilai masih amburadul, sehingga perlu diperbaiki demi menyelamatkan alam Aceh.

Melihat banyaknya masalah sumber daya alam ini, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menyambangi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Teuku Irwan Djohan, untuk menyampaikan kondisi pengelolaan sumber daya alam di Aceh saat ini, dengan harapan DPRA mampu bekerja sama dengan eksekutif memperbaiki dan memperhatikan tata cara mengelola hutan dan lahan di Aceh.

Dalam pertemuan itu GeRAK Aceh meminta DPRA segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan semua masalah menyangkut pengelolaan hutan dan lahan di Aceh khususnya persoalan kerusakan serta pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan.

GeRAK menilai, Pansus perlu segera dibentuk supaya sumber daya alam Aceh bisa diselamatkan dari kehancuran, serta dapat menertibkan perusahaan yang tidak mentaati azaz serta aturan yang berlaku dalam melakukan usaha pertambangan.

Terkait adanya masalah pengelolaan SDA Aceh, GeRAK sudah melaporkan beberapa kasus dugaan menyangkut kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan di Aceh. Bahkan menyangkut kesalahan administrasi juga sudah pernah dilaporkan kepada yang berwenang. Namun, sampai saat ini belum diketahui apakah telah ditindaklanjuti atau belum.

Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani melihat ada beberapa persoalan dalam pengelolaan SDA di Aceh selama ini, yakni kalau melihat data IUP yang ada saat ini juga menimbulkan pertanyaan, pasalnya daftar IUP di Aceh dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berbeda dengan yang dimiliki oleh Dinas ESDM Aceh sendiri, oleh sebab itu perlu dilakukan rekonsiliasi, mana data IUP yang sebenarnya.

"Dari data Kementerian ESDM jumlah IUP aktif di Aceh sebanyak 40 perusahaan, sementara data yang dimiliki Dinas ESDM Aceh hanya 34 perusahaan," kata Askhalani, Sabtu (17/2).

Askhalani menduga, semua perbedaan itu kemungkinan karena adanya rekomendasi Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh kepada Kementerian ESDM untuk menetapkan status beberapa perusahaan menjadi Clear and Clean (CnC) dan meningkatkan statusnya dari eksplorasi ke Operasi Produksi.

Padahal, kata Askhalani, dari beberapa perusahaan yang direkomendasi tersebut, di antaranya ada sekitar 7 perusahaan sudah dicabut izinnya oleh Pemerintah Kabupeten/kota, tetapi masih juga diberikan rekomendasi.

"Dari rekomendasi itu, banyak perusahaan yang dikeluarkan status CnC, 7 di antaranya sudah dicabut oleh Pemerintah daerah," ujarnya.

Selain itu, Askhalani menuturkan, terdapat 104 perusahaan di Aceh yang sudah berakhir izinnya, seharusnya lokasi tersebut bisa diambil alih pemerintah, sehingga tanah tersebut bisa dipergunakan masyarakat, atau bisa dikelola menjadi perhutanaan sosial yang bisa dimanfaatkan masyarakat. Tetapi itu juga tidak dilakukan, bahkan Surat Keputusan (SK) pencabutannya saja belum dikeluarkan.

Askhalani menyampaikan, hingga saat ini utang perusahaan kepada pemerintah juga tergolong masih sangat besar, yakni berdasarkan data yang dimiliki GeRAK Aceh, ada tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perusahaan tambang sekitar 41 miliar, dan sampai hari ini belum dibayar.

"Perlu diketahui, piutang tidak terhapus meskipun perusahaan yang bersangkutan tidak aktif lagi," jelasnya.

Tak hanya itu, tambah Askhalani, GeRAK melihat, dari 34 perusahaan yang masih memiliki IUP tersebut sesuai dengan data akhir yang diterima, hanya dua perusahaan yang terlihat masih aktif beroperasi yaitu PT Mifa Bersaudara dan Bara Energi Lestari (BEL) di Nagan Raya.

"Dan, masih banyak masalah lain dalam pengelolaan sumber daya alam di Aceh yang perlu menjadi perhatian legislatif maupun eksekutif," tutur Askhalani.

Dengan beberapa alasan dan pertimbangan tersebutlah GeRAK Aceh mendesak DPRA harus membentuk Pansus, sehingga bisa turun langsung ke lokasi pertambangan dan melihat sendiri pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari perusahaan pertambangan.

Masalah ini perlu perhatian serius mengingat begitu sudah rusaknya SDA Aceh, belum lagi dampaknya sangat berbahaya bagi masyarakat khususnya yang berdomisili di daerah lokasi pertambangan.

(fzi)

Berita terkait