Fungsi dan Filosofi Alun - Alun Keraton Yogyakarta

Ada sejumlah filosofi dalam pembangunan alun-alun Keraton Yogyakarta, baik Alun-alun Selatan maupun Alun-alun Utara.
Suasana siang hari di kawasan Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Alun-alun Keraton Yogyakarta, merupakan tempat popular bagi wisatawan maupun warga Kota Yogyakarta untuk dikunjungi saat waktu senggang, baik siang, sore, maupun malam hari.

Saat pagi hari, biasanya warga berolahraga di kawasan Alun-alun selatan. Mereka berlari kecil mengelilingi alun-alun. Sementara di seberang alun-alun, sejumlah pedagang kuliner menunggu pembeli.

Sedangkan saat siang hingga sore hari, sebagian warga atau wisatawan menghabiskan waktu dengan ngopi atau menikmati kuliner lain di sekitar Alun-alun Utara.

Malam harinya, kedua kawasan alun-alun biasanya cukup padat oleh pengunjung. Di Alun-alun Selatan, mereka bisa mencoba masuk di antara dua pohon beringin besar di tengah aun-alun dengan mata tertutup.

Simbol Penuh Makna

Dilansir Kratonjogja.id, disebutkan bahwa sejak zjaman Majapahit, keberadaan alun-alun dalam ruang lingkup kerajaan selalu dipertahankan.

Cerita Alun-alun Yogyakarta (2)Sejumlah kereta kayuh wisata terparkir di tepi jalan sekitar kawasan Alun-alun Selatan Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Alun-alun adalah manifestasi ruang publik, menjadi bagian tak terpisahkan dari tata ruang ibukota kerajaan. Konsep ini kemudian diadaptasi oleh kota-kota di Indonesia, berupa ruang terbuka yang disediakan tepat di depan pusat pemerintahan.

“Pangeran Mangkubumi, pendiri Kasultanan Yogyakarta, mahir dalam ilmu filsafat maupun arsitektur. Gabungan dari keahlian-keahlian beliau inilah yang mewarnai struktur tata ruang Kasultanan Yogyakarta dengan simbol-simbol penuh makna.”

Keraton Yogyakarta maupun bangunan-bangunan pendukungnya ditempatkan pada sebuah rangkaian pola, yang didasarkan pada sumbu filosofis, garis imajiner yang membentang lurus antara Tugu Golong Gilig dan Panggung Krapyak. Termasuk di antaranya dua alun-alun yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta, yakni Alun-Alun Selatan dan Alun-Alun Utara.

Alun-alun Selatan juga dikenal dengan Alun-Alun Pengkeran (Alun-Alun Belakang). Letaknya masih berada di dalam benteng keraton.

Dua pohon beringin ditanam tepat di tengah-tengah alun-alun, yang dinamai supit urang dan diberi pagar keliling sehingga juga dikenal sebagai Ringin Kurung.

Pagar yang mengelilingi dua batang pohon ini diberi ornamen berupa bulatan dan bentuk-bentuk busur. Sedang di bagian pinggirnya terdapat pohon pakel (mangga) dan pohon kweni, sebagai perlambang kedewasaan (akil baligh) dan keberanian (wani).

Alun-Alun Selatan berukuran sekitar 150 x 150 meter, dengan pagar setinggi dua meter di sekelilingnya. Ada lima ruas jalan yang menjadi jalan keluar masuk alun-alun.

Kelima jalan tersebut adalah Jalan Langenastran Kidul, Jalan Langenastran Lor, Jalan Ngadisuryan, Jalan Patehan Lor, dan Jalan Gading. Kelima jalan ini juga memiliki makna filosofis yang melambangkan panca indera manusia.

Pada sisi sebelah barat, dekat Jalan Ngadisuryan, terdapat kandang gajah milik Keraton Yogyakarta.

Selain dua pohon beringin di tengah-tengah, seluruh permukaan Alun-alun Selatan dilapisi dengan hamparan pasir, yang melambangkan bahwa indera manusia masih labil dan mudah berubah serta tidak teratur, laksana pasir.

“Inilah yang terjadi pada manusia saat memasuki masa-masa akil balig, yang dilambangkan dengan wujud pertemuan pemuda dan pemudi dalam bentuk beringin tadi.”

Dulunya Alun-alun Selatan merupakan tempat berlatih para prajurit keraton, sekaligus menjadi lokasi pemeriksaan pasukan menjelang upacara Garebeg.

Tapi, saat ini Alun-alun Selatan menjadi salah satu lokasi wisata. Sejumlah penjaja makanan dan kereta kayuh wisata disewakan di kawasan itu.

Benih Beringin dari 2 Kerajaan

Sedikit berbeda dengan Alun-alun Selatan, Alun-alun Utara Yogyakarta memiliki luas hampir dua kali luasan Alun-alun Selatan, yakni sekitar 300 x 300 meter persegi.

Meski demikian, di Alun-alun Utara juga terdapat dua pohon beringin yang ditanam tepat di tengah-tengah alun-alun.

Cerita Alun-alun Yogyakarta (3)Beberapa prngunjung menikmati malam di kawasan Alun-alun Selatan Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Dua beringin kurung tersebut dinamakan Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru (saat ini bernama Kiai Wijayadaru).

“Menurut Serat Salokapatra, benih Kiai Janadaru berasal dari Keraton Pajajaran, sementara Kiai Dewadaru benihnya berasal dari Keraton Majapahit.”

Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa yang berarti Tuhan dan ndaru yang berarti wahyu. Pohon ini berada di sebelah barat dari garis sumbu filosofis. Bersama-sama dengan Masjid Gedhe yang juga berada di sebelah barat garis sumbu filosofis, pohon ini memberi gambaran hubungan manusia dengan Tuhannya.

Penempatan ini adalah wujud bagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I secara cerdas menggambarkan konsep Islam habluminallah.

Sementara Kiai Janadaru yang bermakna lugas pohon manusia, bersama dengan Pasar Beringharjo, berada di sisi timur dari sumbu filosofis. Hal ini melambangkan hubungan manusia dengan manusia, sebuah konsep Islam hablumminannas.

Pada sisi utara dan sisi selatan, berdiri juga sepasang pohon beringin. Beringin di utara bernama Kiai Wok dan Kiai Jenggot, sedang yang di selatan bernama Agung dan Binatur.

Sama seperti Alun-alun Selatan, seluruh permukaan Alun-alun Utara juga ditutup dengan pasir lembut. Pasir itu merupakan penggambaran laut tak berpantai, yang merupakan perwujudan Tuhan yang Maha Tidak Terhingga.

“Maka secara keseluruhan, makna alun-alun beserta kedua pohon beringin di tengahnya menggambarkan konsepsi manunggaling kawula Gusti, bersatunya raja rakyat dengan raja dan bertemunya manusia dengan Tuhan,” demikian tertulis dalam penjelasan itu.

Totalnya terdapat 64 pohon beringin yang ada di kawasan Alun-Alun Utara, yakni 62 pohon mengelilingi alun-alun dan dua beringin di tengah. Jumlah ini menggambarkan usia Nabi Muhammad SAW ketika beliau meninggal dalam perhitungan Jawa.

Dulunya Alun-alun Utara dikelilingi oleh pagar batu bata dan selokan. Air selokan ini dapat digunakan untuk menggenangi alun-alun saat dibutuhkan. Di antara pohon beringin yang berjajar, terdapat beberapa bangunan bernama Bangsal Pekapalan, yang berasal dari kata kapal yang berarti kuda.

Secara harfiah pekapalan berarti tempat penambatan kuda. Bangsal Pekapalan merupakan tempat berkumpulnya para bupati maupun pejabat yang lebih tinggi. Selain Pekapalan, terdapat bangsal lain di pinggir alun-alun, yaitu Bangsal Pangurakan dan Bangsal Balemangu.

Bangsal Pangurakan terdapat di sisi utara, jumlahnya ada dua. Letaknya mengapit jalan. Fungsinya sebagai tempat ngurak, mengusir warga yang tidak taat pada aturan.

Selain itu Bangsal Pangurakan juga digunakan untuk menyimpan senjata. Setiap hari, bangsal ini dijaga oleh Abdi Dalem Geladhag.

Seperti juga Bangsal Pangurakan, Bangsal Balemangu  berjumlah dua, letaknya mengapit gerbang menuju Masjid Gedhe. Bangsal ini digunakan sebagai tempat untuk pengadilan agama.

Selain sebagai tempat berlangsungnya acara-acara Kesultanan Yogyakarta, Alun-Alun Utara juga menjadi tempat masyarakat mengadukan persoalan kepada Sultan.

Rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil akan berpakaian putih, kemudian duduk berjemur di bawah panas matahari (pepe) di tengah alun-alun hingga Sultan melihat dan memanggilnya. Praktek mengadukan nasib di bawah sengatan matahari ini disebut laku pepe atau tapa pepe.

Alun-Alun yang membentang di muka Keraton Yogyakarta maupun yang berada di pungkuran, bukanlah semata ruang terbuka untuk menampung segala akitivitas khas warga kota seperti yang terlihat saat ini. Tetapi juga memenuhi berbagai fungsi dan peran keraton sebagai pusat pemerintahan.

“Ruang terbuka luas ini menjadi perangkai berbagai elemen kawasan di sekitarnya, baik secara tata ruang maupun secara sosial. Misalnya antara keraton dan Masjid Gedhe, atau antara Sultan dan rakyatnya.” []

Berita terkait
Cerita Keluarga Pelaut yang Pulang Tinggal Jenazah
Beberapa pelaut tidak pernah pulang kembali pada keluarganya akibat kecelakaan atau sakit selama berada di laut dalam.
Portal Gaib dan Hantu Serdadu di Gua Jepang Sleman
Salah satu gua Jepang yang ada di Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, diyakini oleh seorang indigo, memiliki portal gaib.
Bekas Tempat Sampah yang Jadi Kebun Warga di Bandung
Beragam tanaman ada di kebun milik Kelompok Kebun 04 Pacing binaan Terminal BBM (TBBM) PT Pertamina Marketing Operation Region (MOR) III
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.