Bireuen, (Tagar 5/1/2019) - Pengungsi umat muslim etnis Rohingya memasuki sembilan bulan menetap di Kompleks Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Cot Gapu Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, Aceh, sejak terdampar di Pantai Kuala Raja, Jumat 20 April 2018 lalu.
Awalnya manusia perahu sebutan bagi pengungsi Rohingya itu berjumlah 79 orang, namun hingga saat ini yang masih bertahan dan tersisa berjumlah 50 orang, 22 orang laki-laki, 23 perempuan dan 5 anak-anak.
M Ruslan Abdul Gani sebagai koordinator keamanan penampungan pengungsi etnis Rohingya di Bireuen menyebutkan 29 orang yang telah kabur disebabkan berbagai alasan salah satunya para etnis Rohingya sudah jenuh dan bosan dengan kehidupan di barak pengungsian yang tidak membolehkan mereka bekerja.
“Hingga saat ini diketahui para pengungsi yang kabur tersebut sebagian diketahui berada di Malaysia untuk mencari pekerjaan,” kata M Ruslan Abdul Gani beberapa waktu lalu.
Lima puluh pengungsi Rohingnya yang tersisa itu hingga kini tidak diperbolehkan keluar dari kompleks pengungsian apalagi mencari pekerjaan. Jikapun keluar, mereka akan diawasi dengan ketat oleh pihak keamanan setempat.
“Belum pasti kapan para pengungsi etnis Rohingya itu akan dipindahkan dan diperkirakan akan bertahan lebih lama lagi,” katanya.
Saat Tagar News menuju lokasi tempat penampungan, di kompleks itu perempuan dan anak-anak tinggal di sebuah gedung kecil dilengkapi dengan ranjang bertingkat, sementara laki-laki tinggal di luar ditutupi dengan terpal.
Salah satu pengungsi Rohingya, Muhammad Salim (22 tahun) kepada Tagar mengatakan dirinya berangkat dari daerahnya disebabkan untuk bertahan hidup yang sebagian para etnisnya dikekang oleh pemerintah setempat.
“Saya untuk bertahan hidup makanya saya lari, dan negara Indonesia menerima saya,” katanya.
Pemerintah Aceh melalui kepala Dinas Sosial Aceh Alhudri mengaku prihatin dengan semakin bertambahnya pengungsi warga Rohingya di Aceh, sebab kondisi seperti ini akan memberatkan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota setempat. Baik secara anggaran maupun moral. Sementara pemerintah pusat hingga saat ini dinilai masih abai terkait penanganan pengungsi Rohingya tersebut.
Padahal aturan penanganan masyarakat luar negeri yang terdampar di suatu negara seperti warga Rohingya yang terdampar di Aceh, maka yang bertanggung jawab harusnya Kementerian Hukum dan HAM melalui Keimigrasian atau IOM sebagai organisasi internasional yang menangani pengungsi. Tapi pemerintah pusat terkesan abai dan lalai, sementara IOM setelah tiga bulan mau menangani kemudian menarik diri.
Kepala Dinas Sosial Bireuen Murdani menyebutkan hampir setiap bulannya mengeluarkan biaya hingga Rp 100 juta dengan rinciannya untuk permakanan mereka minimal Rp 3 juta per hari, biaya air dan listrik rata-rata setiap bulannya mencapai Rp 5-6 juta, belum lagi untuk kebutuhan lainnya termasuk untuk biaya kesehatan dan para petugas di lapangan. []