Filosofi Kain Batik Bermotif Pajonga dari Bantaeng

Kepala jonga atau rusa merupakan perwujudan keistimewaan jonga di mata masyarakat Bantaeng. Warna kuning yang bermakna keceriaan.
Safri Bahtiar menunjukkan kain motif Pajonga hasil kreasinya, saat ditemui Tagar di rumahnya, Rabu, 26 Agustus 2020. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng – Sejumlah pakaian tergantung pada tempat gantungan di ruangan berukuran tidak terlalu lebar, di rumah milik Safriuddin Bahtiar, yang akrab disapa Safri, 30 tahun, di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Satu pakaian yang tergantung tampak menyolok dengan warna kuning terang. Sekilas tidak ada yang istimewa dari pakaian berwarna kuning itu.

Safri mengambil pakaian warna kuning yang senada dengan sweater yang dikenakannya, kemudian menunjukkan motif pada kain itu.

Motifnya sama dengan sweater yang dikenakan Safri hari itu, Rabu, 26 Agustus 2020. Ada gambar rusa, rumput, dan tulisan huruf tradisional Bugis-Makassar pada kain dan sweater tersebut.

Motif pada kain-kain itu merupakan hasil kreasi Safri, pemuda ramah yang telah mengikuti beragam kegiatan fesyen bergengsi nasional.

Filosofi Motif Pajonga

Sesuai dengan gambar yang ada di kain-kain itu, Safri menamai motif kain kreasinya Motif Pajonga. Jonga dalam bahasa Indonesia berarti rusa.

Sama seperti dirinya, kain bermotif Pajonga itu pun telah sering kali diikutkan dalam berbagai event bergengsi.

Saat ini, selain sibuk memperkenalkan Batik Pajonga karyanya, Safri yang juga merupakan seorang Master of Ceremony (MC), Fashion Designer dan Event Organizer (EO) ini juga sering menggelar beragam kegiatan yang melibatkan generasi muda Bantaeng.

Cerita Motif Batik Pajonga Bantaeg 2Contoh kain bermotif rusa pada batik Pajonga karya Safri Bahtiar dari Bantaeng (Foto:Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

“Setelah itu saya pikirkan kira-kira apa yang menjadi khas dari Bantaeng, yang bisa diimplementasikan dalam bentuk batik, lalu saya ingat saya pernah bawa tarian Pajonga waktu ke Jepang, akhirnya terpikirkan soal jonga itu,” kata Safri saat ditemui Tagar di rumahnya, . Jalan Mangga, Kelurahan Tappanjeng Kecamatan Bantaeng.

Alasan pemilihan jonga sebagai motif, lanjut Safri, karena jonga merupakan hewan yang istimewa di kabupaten berjuluk Butta Toa ini.

Konon, pada zaman kerajaan, rusa adalah buruan yang senantiasa disantap oleh raja dan para bangsawan. Pada momen-momen tertentu, seperti hari besar atau kedatangan tamu istimewa, kerap kali dirayakan dengan melakukan perburuan di kawasan hutan Bantaeng.

Bahkan sampai saat ini, di halaman rumah-rumah adat atau para bangsawan turunan Raja Bantaeng, senantiasa terlihat rusa-rusa berlalu lalang. Kadang tiga hingga empat ekor dalam satu halaman rumah.

Setelah mencoba mendesain motif dan corak Batik Pajonga, Safri memilih dengan beberapa warna dasar dengan makna tertentu.

Kepala jonga merupakan perwujudan keistimewaan jonga di mata masyarakat Bantaeng. Warna kuning yang bermakna keceriaan, sebagai lambang sumringah senyum dan ramah tamah penduduk Bantaeng.

Sementara, warna coklat sebagai simbol dari Butta Toa, atau sebutan tanah tua untuk Bantaeng. Terakhir adalah warna hijau, untuk Bantaeng yang dibentengi pegunungan dan pemandangan hijau yang asri.

Pertama kali Safri mencetak kain bermotif Pajonga tersebut pada tahun 2017. Saat itu Safri bertemu dengan seorang perajin di Jember, Jawa Timur.

Di tahun yang sama, batik Pajonga secara resmi diluncurkan atau launching di Mal Phinisi Point Makassar. Pasca-peluncuran batik Pajonga mulai menuai beberapa prestasi di tahun-tahun berikutnya.

“Prestasi dari batik Pajonga, pernah jadi Finalis Fashion Designer F8 2018, lalu Best Batik Carnival Indonesia Model Hunt di TMII Jakarta Timur 2018 juga Best Batik dress di Explorer Batik di Gedung Kemenpar,” kata Safri yang juga seorang Ketua Ikatan Dara Daeng (Ikaraeng) DPC Bantaeng ini.

Harga Terjangkau

Batik Pajonga bukan hanya ditampilkan dalam bentuk kain utuh. Batik motif ini kerap kali ditampilkan dalam bentuk berbagai busana. Ada juga dalam bentuk sweater seperti yang saat ini dikenakan Safri .

Saat ini Safri mematok harga Rp250 ribu untuk batik motif Pajonga dalam bentuk kain ukuran 2 meter x 1,3 meter.

Sedangkan jika dijual dalam bentuk busana dan pakaian lainnya, harganya beragam. Mulai dari Rp 200.000 rupiah hingga Rp.600.000 rupiah.

Seiring berjalannya waktu, batik dengan motif Pajonga semakin banyak diketahui. Batik ini juga turut mewarnai beberapa pameran dengan membawa nama daerah dan senantiasa laku terjual. Seperti pameran Dekranasda Sulsel 2018, pameran Techno Park, pameran Maraja Sulsel 2019, pameran Kriya Nusa Balai Kartini Expo Jakarta terakhir pameran Kerajinan Batam Expo 2019.

“Waktu ikut pameran Dekranasda itu bawa 15 busana dan itu laku terjual, pulang sisa 4 kalau tidak salah,” kata pria kelahiran Bantaeng, 25 Februari 1990 ini. Selama masa pandemi ini, ia mengaku tengah mempersiapkan launching untuk motif dan corak baru.

Kendati sudah malang melintang dalam berbagai event, Batik Pajonga belum diproduksi secara massal. Namun, ia mendapat cukup apresiasi dari istri Bupati Bantaeng, Sri Dewi Yanti.

Menurut Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bantaeng ini, karya Safri layak mendapatkan posisi di hati para penggemarnya.

“Batik Pajonga milik Safri memang patut diapresiasi sebagai salah satu bentuk kepedulian Safri akan keberadaan batik khas Bantaeng, cuman perlu diberikan lagi pelatihan-pelatihan agar dari segi pemilihan warna dan artnya sehingga bisa dijadikan batik khas Bantaeng yang mempunyai mutu dan kualitas lebih baik lagi,” katanya melalui pesan singkat.

Kain Ecoprint Dekranasda BantaengKain dengan teknik ecoprint yang diproduksi dekranasda Bantaeng (Foto: Tagar/Dok Dekranasda Bantaeng)

Dekranasda Bantaeng sendiri telah memproduksi kain dengan corak indah dengan memanfaatkan dedaunan dari pohon yang tumbuh di Bantaeng. Atau lebih dikenal dengan istilah teknik ecoprint.

Kain berbahan dasar katun dan sutra itu diwarnai dengan teknik medium, menggunakan bahan pewarna dari beberapa jenis tumbuhan yang ada di Bantaeng. Seperti secang, pinang, daun jati, daun jarak, daun belimbing, daun mengkudu, daun kelor, kemiri, kedondong dan beberapa daun lainnya. Ecoprint adalah teknik memberi pola pada bahan atau kain menggunakan bahan alami.

Rudi, Kepala Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD) Rumah Kemasan dan Showroom Industri, Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Bantaen. Kepada Tagar ia bercerita bahwa kain-kain hasil cetak ecoprint dari tim Dekranasda Bantaeng juga telah eksis di beberapa kegiatan.

“Kain ecoprint asli Bantaeng sudah diperkenalkan di ajang Dara dan Daeng tingkat kabupaten dibuat dalam bentuk Baju Bodo (pakaian wanita khas Sulawesi Selatan) modifikasi. Baju Bodo tersebut juga sudah kita pasarkan melalui OL shop. Dan beberapa media sosial. Rencana kedepan akan dipamerkan diberbagai event-event tingkat provinsi dan nasional, dan tetap berinovasi menghasilkan produk-produk lainnya dengan bahan kain corak lokal,” katanya.

Teknik ecoprint sendiri mulai dipelajari sejak tahun 2019 lalu. Meski saat ini masih dalam tahap upaya promosi, Rudi yakin, kain dengan corak khas Bantaeng akan segera dikenal dengan luas karena pesonanya. Kedepan, jika telah diperoleh formula dan standar produksi yang dipatenkan akan segera dilakukan pelatihan untuk perekrutan tim produksi.

Adapun harga yang dipasang untuk tiap kain ukuran 200 sentimeter x 150 sentimeter yakni senilai Rp 300.000 sampai Rp 500.000 per potong. []

Berita terkait
Kerlip Lampu Layang-layang Malam di Bantaeng
Sejumlah penggemar layang-layang di Kabupaten Bantaeng berinovasi dengan menambahkan lampu pada layang-layang mereka, dan menerbangkan malam hari.
Profil Brilliana Desy, Pemeran Yu Ning Film Tilik
Brilliana Desy, pemeran Yu Ning dalam Film Tilik ternyata sudah 11 tahun bergelut di dunia peran. Siapa sebenarnya pemeran Yu Ning ini?
Ada Sisa Asa di Hari Orang Hilang Internasional
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mencatat 44.000 orang hilang. Hampir setengah dari mereka masih berusia kanak-kanak saat menghilang.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.