Sewaktu kecil, aku punya beberapa wayang. Tidak terbuat dari kulit tetapi hanya dari karton. Biasanya aku membeli di pasar ketika Kliwon, hari pasaran di kampungku.
Aku bahkan memainkan dengan mengandalkan cerita dari buku komik RA Kosasih. Perlengkapan seadanya tetapi seingatku, aku sungguh menikmatinya. Begitu masuk SMP, semua wayang itu aku tinggalkan.
Aku tidak bertegur sapa dengan "dunia wayang" sekitar 47 tahun. Tahun 2018, kalau tidak salah, tiba-tiba perhatianku tersedot oleh penampilan sinden yang unik, Elisha Orcaros Alasso.
Elisha ini semacam jembatan bagiku yang telah menghubungkan aku dengan Ki Seno Nugroho dan sekaligus dunia pewayangan. Gagrak Jogja atau Solo tidak penting lagi bagiku. Daya dan gaya ucap Ki Seno sungguh membiusku.
Khususnya jika Bagong tampil, aku sungguh terpesona. Tentu juga ketika sesi Limbukan, selain Elisha yang "mengusikku" adalah juga Tatin yang "ngangenin". Hiburan yang mereka tampilkan, sering menawarkan katarsis bagiku.
Ilustrasi sederhana ini, intinya, paparan ringkas penyebab aku kembali menikmati seni pewayangan. Aku bukan sekadar pengagum "sabetan" Ki Seno tetapi juga intelektualitas yang terpancar. Ki Seno memang "hanya" lulusan SMKI tetapi Elisha dan Tatin, sarjana ISI Yogyakarta. Bahkan Elisha, pemegang ijazah S2 Psikologi.
Artinya, ada paduan antara seni dengan intelektualitas. Itu sebabnya, aku makin hormat, terlebih saat mengetahui bahwa istri Ki Seno, Mbak Agnes, yang adalah dosen media rekam di ISI Yogyakarta. Lantas, ketika putranya, Mas Gading Pawukir tampil mendalang, ada keterpesonaan yang sulit aku jelaskan.
Selamat jalan, Pak Seno, semoga Allah SWT memberi tempat terindah dan mengampuni semua dosa dan khilafmu. Banyolanmu yang amat lucu mudah-mudahan turut melempangkan jalanmu menuju keabadian.
Amin.
Ibnu Wahyudi
Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
(4 November 2020)