Tengah marak kabar yang bernada agak menistakan nalar waras. Apalagi kalau bukan ihwal tanaman hias yang populer disebut "janda bolong"?
Bukan karena harga yang mencapai puluhan juta yang mengusik nurani, tetapi juga perkara nama. Mengapa harus "janda"? Mengapa harus merujuk pada wanita yang tidak lagi bersama suaminya?
Memang banyak nama bernuansa wanita disematkan bagi fenomena alam. Misalnya, untuk tahun 2020 ini ada badai yang diberi nama Bertha dan Laura selain nama bernada pria seperti Teddy dan Marco. Nama flora juga banyak yang identik dengan kefemininan seperti Daisy. Namun, berkenaan dengan label?
Inilah keunikan negeri kita ini. Kata "perawan" dan "janda" ringan saja diterakan. Di Yogyakarta ada makanan dengan nama "perawan kenes" dan sekarang tengah ramai nama "janda bolong".
Nama "perawan kenes" mengisyaratkan suatu eksotisme yang 'menawan'. Di pihak lain, "janda bolong" sebaliknya, ada kesan kurang menyamankan.
Akan tetapi, ternyata, ada informasi yang menunjukkan adanya kesalahan dalam penerjemahan. Kata "janda" tersebut agaknya suatu kekeliruan dalam menerjemahkan "ron-do".
Ternyata, menurut kabar yang masih sulit dibuktikan tetapi masuk akal, kata yang seolah-olah bermakna 'janda' itu sebenarnya berasal dari "ron" dan "do". Dalam bahasa Jawa, "ron" itu artinya 'daun' dan "do" itu 'pada'. Dengan demikian, "rondo bolong" tentu mempunyai arti 'daun yang pada berlubang'; bukan 'janda yang berlubang'.
Ada-ada saja, ya.
Ibnu Wahyudi
Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
(1 Oktober 2020)