Episode (1) – Persahabatan Catherine, Svetlana, dan Tragedi G30S/PKI

Seiring perjalanan waktu, dua wanita itu kini menjadi "kakak beradik" sebagai keluarga yang sama-sama mengalami tragedi 1965.
MONUMEN PANCASILA SAKTI: Pengunjung mengamati diorama peristiwa G30S/PKI di Monumen Pancasila Sakti, di Pondok Gede, Jakarta Timur, Minggu (24/9). Menurut Kepala Monumen Pancasila Sakti Letkol Winarsih menjelang peringatan G30S/PKI pengunjung di monumen dan museum sejarah tersebut mengalami peningkatan drastis, mencapai 800 orang per hari. (Foto: Ant/Risky Andrianto).

Jakarta, (Tagar 30/9/2017) – Seiring perjalanan waktu, dua wanita itu kini menjadi "kakak beradik" sebagai keluarga yang sama-sama mengalami tragedi 1965.

Di tengah polemik dan kontroversi atas kebangkitan komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI), persahabatan Catherine Pandjaitan dan Svetlana Dayani perlu diungkapkan kembali untuk menggambarkan betapa luka masa kelam sejarah bangsa pada 1965 tak perlu dipolitisasi.

Justru apa yang dilakukan Catherine dan Svetlana bisa menginspirasi menyongsong masa depan bangsa tanpa dihantui oleh tragedi masa lalu meskipun bagi sebagian orang, terutama yang mengalami, sulit sekali dilupakan.

Pengalaman masa lalu yang sangat buruk semestinya menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kehidupan bangsa yang lebih baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

Catherine dan Svetlana merupakan sebagian kecil dari banyak orang yang mengalami masa kelam sejarah bangsa ini pada 1965.

Catherine, putri sulung Mayor Jenderal Anumerta Donald Issac Pandjaitan, harus menjadi yatim pada usia 17 tahun karena ayahnya ditembak mati oleh sekumpulan tentara pro-PKI pada Jumat dini hari 1 Oktober 1965. Ia histeris menyaksikan ayahnya di bunuh di depan rumahnya saat dibawa paksa oleh sekelompok tentara.

Svetlana, putri bungsu pasangan mantan Menteri Negara/Wakil Ketua Committee Central PKI Njoto dan RA Sutarni, juga menjadi yatim pada usia 9 tahun, karena ayahnya dieksekusi tentara dalam penumpasan PKI dan ibunya dari keluarga ningrat kerabat Keraton Mangkunegaran dipenjara.

Seiring perjalanan waktu, dua wanita itu kini menjadi "kakak beradik" sebagai keluarga yang sama-sama mengalami tragedi 1965.

Keduanya pernah hadir sebagai peserta dan memberikan kesaksian pada "Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" yang diselenggarakan Kemenkopolhukam, Komnas HAM, dan Wantimpres, di Jakarta 18-19 April 2016.

Svetlana menceritakan bahwa Catherine sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri karena sangat memperhatikan dan mengurus dia. Orang lain yang melihat persahabatan mereka pasti heran.

Selama berpuluh tahun Svetlana hidup dalam ketakutan, menyembunyikan identitasnya karena takut terjadi sesuatu yang buruk kepada orang yang telah baik menampung dirinya.

Svetlana yang tak tahu di mana jenazah ayahnya dimakamkan menceritakan, “Pernah sekali saya menginap satu malam di rumah pamannya, dan sejak itu pamannya ditahan berbulan-bulan karena menampung dia. Geraknya terbatas dan tidak dapat melakukan hal yang diinginkan karena takut identitasnya terbongkar.”

Sudah lebih 50 tahun berlalu, Svetlana kadang masih merasakan bertemu dengan teman-teman senasibnya, masih ada pihak yang mengira mereka mau menghidupkan kembali komunis.

Sementara Catherine tak akan pernah lupa terhadap peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya, meskipun telah memaafkan orang yang telah dengan keji merenggut nyawa ayahnya.

Dia menjadi saksi mata saat ayahnya dijemput paksa segerombolan orang berseragam hijau.

Catherine beserta adiknya mengintip ayahnya dari lantai dua rumah mereka di Blok M, dan orang-orang tersebut menyuruh ayahnya untuk hormat, tetapi DI Pandjaitan menolak, malah mengangkat tangan seraya berdoa.

Mungkin mereka marah dan langsung menembak kepala ayahnya. Otaknya berceceran. Catherine berlari ke lantai bawah tetapi ayahnya sudah tidak ada, dibawa pergi. Catherine hanya melihat darah membentuk garis memanjang ke luar rumah seperti bekas seretan.

Ayahnya tewas dibantai, begitu pula dengan sembilan nama lain yang kemudian dikenal dengan 10 pahlawan revolusi.

Mereka adalah Jenderal (anumerta) Ahmad Yani yang saat terakhir hidupnya menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letjen (anumerta) Suprapto, Letjen (anumerta) MT Haryono, Letjen (anumerta) Siswondo Parman, Mayjen (anumerta) DI Panjaitan, Mayjen (anumerta) Sutoyo Siswomiharjo, Kapten CZI (anumerta) Pierre Tendean yang merupakan ajudan dan mengaku Jenderal Abdul Haris Nasution untuk menyelamatkan Nasution yang saat itu menjabat Menhankam dari aksi penculikan di rumahnya, Ajun Inspektur Polisi II (anumerta) Karel Satsuit Tubun, dan dua lagi yang tewas setelah dibunuh di Yogyakarta yakni Brigjen (anumerta) Katamso Darmokusumo dan Kolonel (anumerta) Sugiono.

Catherine sadar ada orang yang hidupnya lebih menyakitkan dibandingkan dirinya. Setidaknya Catherine tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti mereka yang pernah dicap PKI. Catherine langsung memeluk mereka satu persatu dan meminta maaf, saat dipertemukan pada sebuah acara di stasiun televisi.

Menurut Catherine, sudah saatnya semua pihak saling memaafkan dan tidak menyimpan dendam. Tidak mungkin mewariskan dendam kepada anak cucu.

Persahabatan Catherine dan Svetlana sebagai sesama satu bangsa menjadi lembaran baru sejarah bangsa ini. Kisah persahabatan mereka bisa menginspirasi bagi bangsa ini.

Saya Pancasila

Pemerintahan Presiden Joko Widodo pun berupaya keras membumikan Pancasila, begitu pula yang dilakukan MPR RI melalui sosialisasi tanpa henti mengenai empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan RI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Penyadaran kembali nilai-nilai kebangsaan berdasarkan Pancasila begitu giat dilakukan kepada masyarakat.

Bahkan untuk pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia, peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni pada tahun ini ditetapkan pemerintah sebagai hari libur nasional. Penetapan Hari Lahir Pancasila sebagai hari libur nasional berdasarkan Keputusan Presiden Joko Widodo Nomor 24 Tahun 2016 tertanggal 1 Juni 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.

Peringatan ini berlatar belakang dari rapat para pendiri bangsa dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Gedung Chuo Sangi In, Jakarta, yang pada masa kolonial Belanda merupakan Gedung Volksraad dan sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Dalam rapat BPUPKI pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato mengenai lima dasar negara yang dia sebut dengan nama Pancasila.

Selain memperingati Hari Lahir Pancasila, bangsa ini setiap tahun juga memperingati Hari Kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober. Dari tahun ke tahun sejak 1 Oktober 1965 hingga kini diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Namun sesungguhnya Kesaktian Pancasila itu untuk siapa?

Pancasila selain menjadi ideologi dan dasar negara juga menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pancasila yang lahir dari akar sejarah budaya bangsa mengandung nilai-nilai luhur universal yang menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia yakni Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Tetapi benarkah Pancasila telah benar-benar diamalkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia? Dalam sebuah negara yang berlandaskan Pancasila mengapa masih terjadi radikalisme dan ekstremisme serta ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila?

Mengapa di negara yang berasaskan Pancasila praktik korupsi justru marak, ketidakadilan merebak, pembunuhan sadistis dan di luar nalar, masyarakatnya mudah diadu domba, dan pengingkaran terhadap Ketuhanan dan nilai-nilai agama?

Memperingati Hari Kesaktian Pancasila tidak sepenting mengamalkan nilai-nilai Pancasila pada kehidupan nyata sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Nilai-nilai luhur Pancasila jangan sampai luntur di kalangan masyarakat Indonesia.

Revitalisasi nilai-nilai Pancasila hanya bisa terjadi jika ada aktualisasi nilai-nilai Pancasila oleh segenap masyarakat bangsa ini.

Saatnya Pancasila kembali direvitalisasi sebagai dasar falsafah negara dan menjadi prinsipa prima bersama norma agama. Sebagai prinsipa prima maka nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama merupakan dasar untuk seluruh masyarakat Indonesia berbuat baik.

Menunjung tinggi Pancasila menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Saya, Anda, dan kita semua Pancasila untuk Indonesia. Selalu dan selamanya. (Budi Setiawanto/ant/yps)

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.