Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba asal Filipina Mary Jane Fiesta Veloso masih menunggu putusan hukum di Filipina.
"Kita menunggu putusan di Filipina seperti apa," kata Wamenkumham saat mengunjungi Lapas Kelas II A Wirogunan, Kota Yogyakarta, Jumat.
Pemerintah Indonesia belum dapat melanjutkan eksekusi tersebut sebelum ada putusan terkait dengan perkara Mary Jane di Filipina.
"Kalau Filipina 'kan kita tidak punya otoritas untuk memaksa-maksa mereka harus cepat memutus perkara itu," kata pria yang acap disapa Eddy Hiariej itu.
Saat mengunjungi Lapas Perempuan Kelas IIB Yogyakarta di Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Kamis, 17 Februari 2022, Eddy mengaku belum sempat menemui Mary Jane.
"Betul sempat ketemu Mary Jane," ujarnya, dikutip dari Antara.
Pada bulan April 2010, Mary Jane Fiesta Veloso ditangkap di Bandara Internasional Adi Sutjipto Yogyakarta karena tertangkap tangan membawa 2,6 kilogram heroin.
Selanjutnya, pada bulan Oktober 2010, Mary Jane divonis mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta.
Presiden RI Joko Widodo juga menolak permohonan grasi yang diajukan Mary Jane pada tahun 2014.
Saat akan menjalani eksekusi mati bersama delapan terpidana kasus narkoba di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, 29 April 2015, Mary Jane urung diekseskusi dan dikembalikan ke Lapas Yogyakarta menyusul adanya permohonan dari otoritas Filipina terkait dengan pengakuan Maria Kristina bahwa Mary Jane diduga menjadi korban perdagangan manusia.
Menurut Eddy Hiariej, besar kemungkinan putusan hukum mengenai kasus itu nantinya bakal dimanfaatkan kuasa hukum Mary Jane untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).
"Putusan di Filipina itu pasti akan digunakan oleh kuasa hukumnya untuk mengajukan peninjauan kembali," ujar Wamenkumham, dikutip dari Antara
Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) tak setuju Mary Jane dieksekusi mati
Pada 16 September 2016 lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan akan tetap mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba asal Filipina Mary Jane Veloso.
"Sering kita katakan bahwa kalaupun Mary Jane terbukti sebagai korban dari human trafficking di Filipina, tapi dia faktanya sudah tertangkap tangan menyelundupkan heroin ke wilayah hukum Republik Indonesia," kata Jaksa Agung HM Prasetyosaat itu.
Namun, Kejagung akan tetap menunggu proses hukum di Filipina, untuk menghormati proses hukum negara tetangga tersebut.
Sebelumnya, Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk menghentikan eksekusi hukuman mati, termasuk kepada Mary Jane Veloso.
"Mary Jane hanya korban seperti halnya puluhan perempuan migran Indonesia yang juga sedang terancam hukuman mati di luar negeri. Apalagi kasus hukum di Filipina menuntut perekrut yang menjebaknya juga masih berlangsung," kata koordinator JBMI Sringatin melalui keterangan tertulis, Selasa, 13 September 2016.
JBMI tidak menyepakati alasan yang digunakan Presiden Jokowi bahwa Presiden Duterte telah memberi izin untuk dijadikan dasar meneruskan rencana eksekusi mati Mary Jane.
Keputusan Presiden Jokowi tidak mempertimbangkan nasib 209 Buruh Migran Indonesia, 63 orang di antaranya adalah perempuan, yang sedang terancam hukuman mati di luar negeri.
"Pemerintah Indonesia telah mengadopsi Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sejak 2007. Maka sudah sewajibnya pemerintah menegakkan keadilan dan perlindungan bagi korban seperti Mary Jane, Merri Utami dan korban-korban lainnya sesuai amanat peraturan ini," kata Sringatin. []
Baca Juga
7 Hukuman Koruptor Mati di China Sampai Remisi di Indonesia
Pria Jepang dengan Julukan Pembunuh Twitter Dihukum Mati
Pria Jepang Dibui Seumur Hidup Tikam Orang di kereta
20 Koruptor di Indonesia Dapat Potongan Hukuman, KPK Kecewa