Tuty Membela Kehormatan Diri, Tuty Dieksekusi Mati

Tuty Tursilawati membela kehormatan diri dari upaya pemerkosaan majikan, tapi justru ia dieksekusi mati di Arab Saudi.
Tuty Tursilawati pekerja migran perempuan asal Majalengka, dieksekusi mati di Arab Saudi, Senin (29/10/2018). (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 1/11/2018) - Tuty Tursilawati pekerja migran perempuan asal Majalengka menjadi warga negara Indonesia ke sekian kali dieksekusi pemerintah Arab Saudi setelah sebelumnya divonis mati oleh pengadilan. 

Tuty sedang membela kehormatan dirinya ketika menghadapi upaya perkosaan oleh majikannya. Upayanya membela diri itu berakhir kematian majikannya. 

Ia mendapat vonis hukuman mati dari pengadilan di Arab Saudi, dieksekusi mati pada Senin (29/10).

Pemerintah Arab Saudi sebelum pelaksanaan eksekusi mati itu tidak menyampaikan pemberitahuan kekonsuleran resmi pada pemerintah Indonesia.

Hal tersebut membuat semua pihak di Indonesia kompak mengecam tindakan Arab Saudi. Mulai dari Pemerintah, Amnesty International, politikus koalisi pemerintah maupun oposisi, PBNU, anggota DPR. Semua marah.

Baca juga: Indonesia Protes Arab Saudi Hukum Mati WNI Tanpa Pemberitahuan

Indonesia Protes Arab Saudi

Pemerintah Indonesia menyampaikan protes kepada Pemerintah Arab Saudi yang melakukan hukuman mati terhadap warga negara Indonesia (WNI) bernama Tuty Tursilawati tanpa memberikan pemberitahuan kekonsuleran resmi.

"Kemarin kami terima informasi bahwa tanggal 29 Oktober pagi waktu Saudi telah dilaksanakan hukuman mati atas Tuty Tursilawati, terpidana kasus pembunuhuan. Setelah menerima kabar itu, saya menghubungi Menlu Arab Saudi untuk menyampaikan protes dan 'concern' yang mendalam karena pelaksanaan hukuman mati terhadap Tuty dilakukan tanpa notifikasi kekonsuleran," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/10) mengutip kantor berita Antara.

Menlu juga menyampaikan bahwa ia telah memanggil dan bertemu dengan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia di Bali untuk menyampaikan protes dan keprihatinan yang mendalam kepada pemerintah Saudi tentang eksekusi WNI asal Majalengka bernama Tuty Tursilawati.

"Saya tadi pagi memanggil Dubes Arab Saudi. Saya menyampaikan 'concern' (keprihatinan) mendalam dan protes kita mengenai pelaksanaan hukuman mati tanpa notifikasi kekonsuleran," ujar Menlu Retno.

"Pada saat saya bicara dengan Dubes Arab Saudi, dia menyatakan bahwa dia paham dan dia akan menyampaikan protes Indonesia kepada Pemerintah Arab Saudi," lanjutnya.

Selain menyampaikan kepada Dubes Arab Saudi, Menlu RI juga menyampaikan protes dan keprihatinan tersebut kepada Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir.

Pada kesempatan itu, Menlu RI juga menyampaikan ucapan belasungkawa dan duka cita kepada keluarga Tuty Tursilawati.

"Saya atas nama Pemerintah dan pribadi menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga Tuty," ucapnya.

Menurut Retno, tim dari Kementerian Luar Negeri juga telah mengunjungi keluarga almarhumah Tuty untuk menyampaikan secara langsung berita duka cita tentang hukuman mati Tuty.

"Pemerintah sudah berupaya maksimal dalam memberi pendampingan hukum dan mengupayakan apa pun untuk meringankan hukuman Tuty," ujar Menlu Retno.

Amnesty International Konsisten Desak Penghapusan Hukuman Mati

Walaupun pemerintah Indonesia sudah menyampaikan protes pada Arab Saudi, Amnesty International Indonesia menyatakan Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah proaktif untuk melayangkan protes kepada Pemerintah Arab Saudi yang telah mengeksekusi mati pekerja migran Indonesia asal Majalengka, Tuti Tursilawati, tanpa pemberitahuan resmi.

"Presiden Joko Widodo punya kewenangan untuk memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia untuk meminta klarifikasi dan menyampaikan protes resmi," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Menurut Usman, untuk ke sekian kalinya Arab Saudi mencederai etika diplomasi antara kedua negara yang seharusnya mengedepankan penghargaan atas hak asasi manusia.

Amnesty International menolak penerapan hukuman mati tanpa terkecuali dalam kasus apa pun dan dengan metode apa pun.

"Hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia tersebut jelas melanggar hak untuk hidup yang dijamin Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik," kata Usman.

Amnesty International Indonesia juga meminta agar pemerintah Indonesia melakukan moratorium hukuman mati di Indonesia sebagai langkah awal penghapusan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan.

Penghapusan hukuman mati bisa memudahkan diplomasi Indonesia di luar negeri untuk menyelamatkan warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati.

"Tidak logis jika Indonesia meminta negara lain untuk membebaskan warga negaranya dari hukuman mati, sedangkan di dalam negeri sendiri Indonesia masih mempraktikkan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi tersebut," kata Usman.

Menurut dia, Indonesia sebaiknya mengikuti jejak negara tetangga Malaysia yang telah mengumumkan akan menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan hanya beberapa bulan setelah mengumumkan moratorium hukuman mati.

"Keputusan Malaysia tersebut bisa berpengaruh positif terhadap WNI yang terancam hukuman mati di sana," ujar Usman.

Amnesty International Indonesia juga meminta perwakilan pemerintah Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mempertahankan posisi yang sama, yaitu abstain, dalam voting Resolusi ke-7 Moratorium terkait Penggunaan Hukuman Mati di PBB yang akan dilaksanakan pada bulan Desember 2018 atau mengambil inisiatif untuk mendukung resolusi tersebut.

"Kami yakin Indonesia akan mengedepankan perspektif HAM dalam mengambil keputusan pada Resolusi ke-7 terkait Moratorium Hukuman Mati pada Desember nanti," kata Usman.

PPP: Pemerintah Agar Meningkatkan Perhatian

Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ady Muzadi mengatakan pemerintah agar lebih meningkatkan kerja sama internasional dalam rangka pembinaan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI).

"Bercermin dari peristiwa eksekusi TKI Tuty Tursilawaty di Arab Saudi, pemerintah perlu untuk lebih meningkatkan perhatian terhadap pembinaan dan perlindungan TKI di mancanegara sesuai perundangan yang berlaku," ujarnya di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, pemerintah perlu untuk selalu hadir dalam memberikan perlindungan hukum secara maksimal bagi TKI sebagai kewajiban dan memenuhi hak warga negaranya.

"Untuk itu, hubungan kerja sama dengan pemangku kepentingan internasional maupun lembaga di penempatan TKI perlu lebih ditingkatkan lagi," lanjutnya.

Caleg PPP dari Dapil Luar Negeri, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan ini mengapresiasasi pembinaan dan perlindungan TKI selama ini yang dinilainya sudah sangat baik.

Menurut dia, pemerintah telah memberikan bimbingan advokasi pada TKI mulai dari penempatan, masa penempatan, dan purnapenempatan. Begitupula dalam penyelesaian perselisihan dengan pengguna maupun pelaksana TKI.

Namun, lanjut Ady pemerintah harus lebih meningkatkan kinerja agar tidak terulang lagi kejadian seperti kasus eksekusi Tuty di Arab Saudi.

"Khusus untuk hubungan dengan internasional ini harus ditingkatkan sehingga TKI di negara penempatannya merasakan perlindungan dari negara," jelasnya.

Berdasarkan data World Bank jumlah TKI di mancanegara sudah mencapai 9 juta pekerja per akhir 2017. Terbesar di Malaysia 55 persen, Arab Saudi 13 persen, dan di Cina atau Taipe 10 persen termasuk di negara-negara lain.  

Khusus Cina dan Taipei, TKI di Hongkong lebih dari 150.000 orang, di Makau sekitar 20.000 orang, dan Taiwan sekitar 200.000 orang.

PBNU: Arab Saudi Tidak Patuh Tata Krama Diplomasi Internasional

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj juga mengecam keras eksekusi mati yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi terhadap Tuti Tursilawati, seorang tenaga kerja asal Indonesia.

"Tidak adanya notifikasi dan juga pemberitahuan resmi kepada pihak Perwakilan RI di Arab Saudi merupakan persoalan yang harus disikapi dengan tegas dan serius," kata Said Aqil di Jakarta, Rabu.

Said Aqil berpendapat bahwa situasi tersebut menunjukkan kapada dunia internasional tentang adanya ketertutupan informasi terkait berbagai pelanggaran HAM.

"Tidak transparan. Ada yang ditutup-tutupi. Inilah yang harus diungkap," kata doktor lulusan Universitas Ummul Quro, Mekkah, ini.

Said Aqil mengatakan Pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah strategis-diplomasi guna melancarkan protes keras atas sikap Pemerintah Arab Saudi.

Ia menilai sikap Arab Saudi dari dulu tetap tidak berubah secara signifikan dalam konteks penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan pada tata krama diplomasi internasional.

Kami berduka dan menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada keluarga korban. Namun, yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita menyikapi persoalan ini. Ini persoalan yang sangat serius," ujarnya.

Terkait upaya penyikapan terhadap peristiwa tersebut, Said Aqil menyatakan PBNU akan mendorong dan mendukung pemerintah untuk mencari jalan keluar terbaik bagi persoalan ini.

"Ya, kami akan berkomunikasi dengan Pemerintah," katanya.

Demokrat Menyampaikan Imbauan yang Sudah Dilakukan Pemerintah

Pemerintah Indonesia sudah memprotes keras Arab Saudi, tapi Anggota DPR RI dari Fraksi Nasional Demokrat Johny G Plate tetap mengimbau pemerintah Indonesia untuk memprotes keras keputusan pemerintah Arab Saudi melakukan eksekusi mati kepada tenaga kerja Indonesia (TKI) tanpa memberikan notifikasi.

"Menyampaikan notifikasi ke negara asal terpidana sebelum eksekusi mati merupakan aturan hukum internasional," kata Johny G. Plate kepada pers di Posko Cemara, Menteng, Jakarta, Rabu.

Namun, lanjut dia, hal itu tidak dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi yang langsung mengeksekusi mati Tuty Tursilawati, warga negara Indonesia yang menjadi pekerja migran di Arab Saudi.

Menurut Johny G. Plate, pemerintah Indonesia harus menyampaikan protes keras ke pemerintah Arab Saudi yang melakukan eksekusi mati terhadap terpidana warga negara lainnya, yakni Indonesia, dengan tidak memenuhi standar hukum internasional.

"Pemerintah Indonesia harus sampaikan protes keras ke pemerintah Arab Saudi bahwa tidak boleh melakukan eksekusi mati sebelum menyampaikan notifikasi ke negara asal terpidana," katanya.

DPR: Arab Saudi Melanggar Konvensi Wina 1961

Wakil Ketua Komisi IX DPR Ermalena menilai Arab Saudi telah melanggar Konvensi Wina 1961 dengan mengeksekusi pekerja migran perempuan Tuty Tursilawati tanpa memberitahu pemerintah Indonesia.

"Pemerintah Arab Saudi jelas melanggar kewajiban memberikan pemberitahuan dan akses konsuler," katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengatakan pemerintah Arab Saudi seharusnya memberikan eksekusi yang dilaksanakan terhadap Tuty Tursilawati.

Karena itu, Komisi IX DPR akan mempertanyakan dan meminta penjelasan mengenai permasalahan itu kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Luar Negeri.

Komisi IX akan menanyakan apa saja upaya terakhir yang telah dilakukan pemerintah terhadap warga negara Indonesia yang kebetulan ada masalah di luar negeri.

"Kejadian ini membuat kita semua prihatin. Kami menyampaikan ucapan duka kepada keluarga Tuty yang sedalam-dalamnya," ujarnya.

Pekerja migran perempuan asal Majalengka menjadi yang warga negara Indonesia yang kesekian kali dieksekusi pemerintah Arab Saudi setelah sebelumnya divonis mati oleh pengadilan.

Tuty Tursilawati yang membela kehormatan diri, Tuty Tursilawati yang dieksekusi mati. []

Berita terkait