Jawa Timur - Komisi C DPRD Jawa Timur ngotot agar Pemprov Jatim melakukan spin off unit usaha syariah (UUS) Bank Jatim menjadi Bank Umum Syariah pada tahun 2021. Mengingat Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa berkeinginan spin off UUS Bank Jatim tahun 2023 sesuai batas akhir amanat UU No.21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah yakni 15 tahun sejak UU tersebut diundangkan.
Ketua Komisi C DPRD Jatim, Anik Maslacha mengatakan, komisinya sepakat usulan dari gubernur bahwa selambat-lambatnya Spin off dilakukan tahun 2023. Namun dewan merekomendasi agar spin off dimulai tahun 2021.
Komisi C berdalih bahwa per Agustus 2019 ini rasio keuangan UUS itu sudah mengalami laba sebesar Rp 6,4 miliar. Mengingat sebelumnya UUS Bank Jatim memang minus, sehingga Gubernur Jatim menunda spin off agar bank umum syariah benar-benar sehat ketikan spin off. Selain itu, rasio NPL UUS Bank Jatim sudah mulai turun.
"Kalau sudah sehat, kenapa harus menunggu di tahun 2023. Makanya bahasanya adalah selambat-lambatnya," tegas Anik, di Surabaya, Senin 26 Agustus 2019.
Sementara menyangkut alih fungsi uang Rp 200 miliar yang sudah dianggarkan dalam APBD Jatim 2019, Komisi C merekomendasikan seyogyanya uang tersebut difungsikan untuk program loan agreement kepada Bank Jatim khusus UUS Bank Jatim untuk pinjaman lunak selama 2 tahun saja.
"Harapannya, tahun 2021 uang sudah siap dan Pemprov tinggal menambah penyertaan modal spin off Rp 525 miliar sebesar Rp 325 miliar saja karena yang Rp 200 miliar sudah saving," jelas politisi asal PKB.
Selain itu, loan agreement tersebut dikhususkan untuk membantu UMKM dan petani dengan bunga maksimal 6 persen. Mengingat kedua sektor riil ini merupakan sektor penyangga utama PDRB Jatim sehingga diharapkan bisa menjadi pengungkit perekonomian Jatim ke depan.
Konsekwensi lainya, mau tidak mau akan ada laba walaupun kecil kepada Pemprov karena sifatnya pinjaman sehingga ada kontribusi penambahan PAD dari loan agreement itu. "Jadi tidak ada ruginya lah rasanya seperti itu daripada keuangan itu menjadi Silpa (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran)," tegasnya.
Kalau menjadi Silpa, menandakan performa perencanaan Pemprov Jatim yang kurang bagus karena penyerapannya rendah. Konsekwensinya akan berimplikasi pada dana insentif daerah.
Pada tahun 2016, penyerapan APBD Jatim mencapai 96 persen, dapat 76 miliar. Kemudian tahun 2017 turun penyerapannya menjadi 90 persen sehingga hanya dapat 73 miliar. Nah kalau tahun 2019 ini ditambah lagi Rp.200 miliar jelas tidak terpakai mau nggak mau penyerapan biasa turun lagi.
"Kalau menjadi Silpa maka akan menjadi akumulasi belanja umum pada APBD Jatim 2020," kata mantan bendahara PW Fatayat Jatim. []
Baca juga:
- 59 Warga Jawa Timur, Korban Penipuan Naik Haji
- Giliran Listrik di Jawa Timur Diprediksi Padam
- Gus Abid Berburu Ketua GP Ansor Jawa Timur