Dimiskinkan Jadi Cara Jitu Bikin Koruptor Jera

Dimiskinkan jadi cara jitu bikin koruptor jera. Indonesia harus mengubah sistem hukum pidana bagi pelaku korupsi, salah satunya dengan cara dimiskinkan.
Tersangka tindak pidana korupsi menjalani pemeriksaan lanjutan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (25/7/2018). (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Jakarta, (Tagar 2/8/2018) – Korupsi masih menjadi salah satu masalah serius di Indonesia. Bagaimana tidak? Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin gencar melakukan penyidikan kasus korupsi dan operasi tangkap tangan (OTT), para penyelenggara negara juga ikut gencar 'memakan' uang negara.

Tak ada jeranya. Mungkin kalimat itu yang pas untuk para ‘tikus negara’.  Hal tersebut juga dibenarkan oleh Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun.

Menurut dia, dalam pantauan ICW pada tahun 2017 rata-rata vonis koruptor di setiap pengadilan tidak lebih tinggi dari dua tahun dua bulan. Vonis ini tentu dinilai masih sangat ringan.

“Memang beragam vonisnya, ada yang 15 tahun, ada yang 18 tahun, itu secara variatif. Tapi total keseluruhan rata-rata putusan kasus korupsi di Indonesia yang berhasil kita catat itu hanya dua tahun dua bulan,” ungkap Tama kepada Tagar, Kamis (2/8).

Lantaran korupsi merupakan extraordinary crime, maka kata dia, pelakunya harus dihukum lebih berat dari para pelaku kejahatan biasa. Hal tersebut lantaran kasus korupsi termasuk kejahatan kemanusiaan multi-effect yang tidak hanya merugikan satu orang tetapi juga masyarakat luas.

“Karena (korupsi) extraordinary crime, kejahatan yang dampaknya luas nggak hanya satu saja korbannya, tetapi bisa banyak dan bisa multi-effect,” tandasnya.

Kepada Tagar, Tama menyebutkn setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan penegak hukum untuk menjerakan para pelaku korupsi. Adapun cara tersebut seperti berikut:

1. Dijatuhkan Sanksi Berat

“Menjadi semacam bagi para penegak hukum terutama jaksa dan KPK karena mereka yang menutut ke pengadilan. Nah, sehingga hakim juga memberikan sanksi yang lebih berat dari sanksi kejahatan lainnya,” ucapnya.Tama menjelaskan, pemberian hukuman berat terhadap pelaku korupsi patut menjadi mindset bagi para penegak hukum khususnya jaksa dan KPK, lantaran dalam kasus ini keduanya sebagai pihak penuntut.

“Menjadi semacam mindset bagi para penegak hukum terutama jaksa dan KPK karena mereka yang menutut ke pengadilan. Nah, sehingga hakim juga memberikan sanksi yang lebih berat dari sanksi kejahatan lainnya,” ucapnya.

2. Lapas Diperketat

“Supaya ada lagi fasilitas yang dianggap berlebihan, sehingga apa pun yang melanggar dari peraturan menteri atau peraturan lainnya tidak lagi diberikan kepada koruptor,” jelasnya.Kemudian, cara lain untuk menjerakan pelaku korupsi, harus memperhatikan pelaksanaan kepidanaannya di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Menurut Tama, Lapas harus memperketat pelaksanaan kerjanya.

“Supaya nggak ada lagi tuh fasilitas yang dianggap berlebihan, sehingga apa pun yang melanggar dari peraturan menteri atau peraturan lainnya tidak lagi diberikan kepada koruptor,” jelasnya.

3. Memiskinkan Koruptor

Terakhir, menurut Tama, untuk menjerakan pelaku korupsi bisa dengan cara dimiskinkan, yakni dari sisi upaya pengembalian kerugian negara, perampasan aset serta uang pengganti.

Hal ini, dapat juga mencegah terulangnya kasus jual beli sel tahanan dan izin keluar seperti yang terjadi dan terkuak baru-baru ini di Lapas Sukamiskin, Bandung.

“Kalau koruptor masih punya uang ini artinya masih ada kesempatan untuk melakukan transaksi-transaksi di dalam Lapas yang tidak semestinya,” ujar Tama.

Sementara itu, Tama menilai tak masalah jika uang denda yang wajib dibayar oleh para pelaku korupsi dilunasi dengan cara dicicil.

“Kalau kita sih berharap bagaimana pun mekanisme yang dilakukan, uang hasil kejahatan harus dikembalikan. Silakan saja KPK melakukan mekanismenya seperti apa,” paparnya.

Agus Feisal HidayatAgus Feisal Hidayat Bupati nonaktif Buton Selatan, berada dalam mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (9/7/2018). KPK memeriksa Agus Feisal Hidayat sebagai tersangka terkait proyek pekerjaan Pemerintah di Kabupaten Buton Selatan. (Foto: Antara/Reno Esnir)

Hukum Koruptor Berkaca dari Singapura

Senada dengan Tama, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menilai Indonesia harus mengubah sistem hukum pidana bagi pelaku korupsi dengan cara dimiskinkan.

Menurut Fickar, tak ada salahnya jika Indonesia berkaca pada Singapura dalam menghukum pelaku korupsi, dimana Singapura memberikan hukuman penjara sekedarnya namun memiskinkan koruptor secara habis-habisan.

“Indonesia bisa meniru Singapura umpamanya, yang hanya menerapkan hukuman penjara sekedarnya tetapi memiskinkan koruptor habis-habisan,” papar Fickar saat diwawancarai Tagar, Kamis (2/8).

Adapun cara memiskinkan pelaku korupsi di Singapura seperti dijabarkan oleh Fickar yakni, menyita harta pelaku korupsi sesuai dengan jumlah kerugian negera dari korupsi yang dilakukan, pelaku koruptor dilarang memiliki rekening bank, kartu kredit dan juga paspor.

Lalu, KTP pelaku koruptor diberi tanda XXX berwarna merah, tidak boleh menggunakan kendaraan pribadi hanya boleh menggunakan kendaraan umum, dipenjara maksimal enam bulan, dan terakhir keluarga pelaku korupsi harus menanggung asuransi kesehatan.

“Jika mereka melanggar salah satu hukuman diatas, maka dipenjara tiga bulan lagi, tidak dihukum lama karena menghabiskan biaya yang dikeluarkan negara,” tukasnya.

Fickar menilai, dengan hukuman memiskinkan seperti ini, dinilai mampu menimbulkan efek jera  kepada koruptor. Tidak hanya itu, bahkan pemerintah tidak perlu repot lagi melarang para pelaku korupsi yang telah bebas ikut pemilihan anggota legislatif.

“Kita tidak perlu repot-repot lagi melarang (mantan napi koruptor) ikut pemilihan anggota legislatif, karena dia kan sudah miskin,” ungkapnya.

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji menilai sistem hukum pidana khususnya Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi sudah membuat kondisi Deterrence effect atau efek gentar.Caleg Mantan KoruptorIlustrasi caleg mantan koruptor. (Tagar/Gilang)

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji menilai sistem hukum pidana khususnya Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi sudah membuat kondisi Deterrence effect atau efek gentar.

Apalagi, kata dia, UU Tipikor juga didukung dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagai bagian dalam membantu pemberantasan korupsi dan sebagai cara pemiskinan pelaku korupsi.

“Namun, penyebab masih terus berlangsungnya korupsi itu multifaktor, misal fungsi dan sistem pengawasan yang belum berjalan maksimal, serta upeti dianggap sebagai kultur bukan sebagai kejahatan,” sambung Indriyanto kepada Tagar, Kamis (2/8).

Tidak hanya itu, belum adanya sikap paralelisasi antara aparat penegak hukum dengan pemberantasan korupsi, kurangnya pembangunan integritas serta sistem pengawasan yang belum optimal juga menjadi pemicu pelaku korupsi yang tak jera.

Suap di Lapas itu salah satu penyebabnya lantaran sistem pengawasan yang tidak optimal dan juga perilaku, integritas dan moral aparat sipir yang masih dianggap tidak cakap,” tutup dia mengakhiri pembicaraan dengan Tagar. [o]

Berita terkait
0
LaNyalla Minta Pemerintah Serius Berantas Pungli
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah serius memberantas pungutan liar (pungli). Simak ulasannya berikut ini.