TAGAR.id, Jakarta - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengenang prinsip yang dikenal di kalangan mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) pada masanya, yakni “Buku, Pesta, dan Cinta,” sebagai kunci untuk mencapai keseimbangan hidup. Nilai ini berkembang di lingkungan pergaulan mahasiswa saat ia menimba ilmu di kampus tersebut.
“Mahasiswa enggak keren kalau enggak baca buku. Kalau ngobrol itu terlihat bedanya antara yang baca dan tidak. Tapi kalau baca buku saja, enggak bergaul, enggak pesta, maka juga enggak keren. Jadi buku harus dilengkapi dengan pesta. Tapi baca buku, datang ke pesta, bergaul, tanpa cinta, itu hampa,” kata Bima dalam acara Wisuda Reguler Unpar di Kampus Unpar, Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar), Jumat, 9 Mei 2025.
Bima yang merupakan alumnus Hubungan Internasional Unpar angkatan 1991 itu menjelaskan, pandangan tersebut merupakan ajaran sederhana namun bernilai filosofis tentang pentingnya menjaga keseimbangan hidup (life balance). Hal itu memang sepatutnya mulai dipahami sejak duduk di bangku kuliah.
“'Buku, pesta, cinta' adalah perkenalan kita semua, angkatan saya waktu itu untuk belajar hidup lebih seimbang,” ujar Bima yang didapuk sebagai keynote speaker dalam acara wisuda tersebut.
Bima juga mengingatkan para wisudawan mengenai jebakan rutinitas yang kerap dialami di dunia kerja, saat waktu dan energi terkuras oleh tanggung jawab harian. Dalam kondisi itu, menurutnya, keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan kehidupan sosial menjadi bekal penting untuk menjalani hidup yang bermakna.
“Saatnya nanti, adik-adik sekalian pasti akan terjebak dengan rutinitas pekerjaan. Pergi pagi, pulang malam, beruntung kalau pagi-pagi bisa ketemu istri, anak, atau suami. Kadang kita berangkat, mereka masih tidur. Dan beruntung kalau kita pulang, mereka masih kerja. Rutinitas itu menjebak,” ungkap Bima.
Selain itu, Bima turut menyinggung pentingnya keberagaman dan toleransi yang ia pelajari selama berkuliah di Unpar. Di kampus tersebut, ia berinteraksi dengan civitas academica dari berbagai latar belakang dan memahami bahwa kehidupan tidak selalu berjalan secara linier. Salah satu pelajaran yang membekas ialah bagaimana menghormati dan berdamai dengan perbedaan.
“Pada puncaknya, kita bisa yakin bahwa perbedaan adalah kekuatan. Orang-orang yang terbiasa berbeda, orang-orang yang terbiasa menerima perbedaan, pikiran, gagasan, maka orang-orang itu akan bisa mengelola perbedaan menjadi kekuatan,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Bima juga menekankan pentingnya menjalin persahabatan. Menurutnya, jabatan seperti wali kota, gubernur, bahkan rektor sekalipun memiliki batas waktu. Namun, persahabatan dan persaudaraan yang tulus akan bertahan sepanjang hayat. Ia meyakini, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan pribadi, melainkan juga oleh dukungan doa dan kehadiran para sahabat.
“Persahabatan yang Anda rajut, persaudaraan yang Anda jalin yang akan menjaga Anda tidak jatuh ke jurang. Lihat sebelah kiri Anda, lihat di sebelah kanan Anda, lihat di belakang Anda, ingatlah wajah-wajah mereka. Rawatlah persahabatan itu, dan nikmatilah ikatan yang lebih dalam dari sekadar kepentingan,” terangnya.
Menutup sambutannya, Bima menyampaikan ucapan selamat kepada para wisudawan serta orang tua yang hadir. Ia menilai, kebahagiaan terbesar dalam momen tersebut justru dirasakan oleh para orang tua yang menyaksikan anak-anaknya diwisuda.
“Seluruh wisudawan-wisudawati yang terlihat sangat berbahagia hari ini. Namun tentu yang paling berbahagia dengan wajah yang semringah, dan terlihat lepas dari beban berat, [adalah] para orang tua wisudawan-wisudawati yang sangat berbahagia hari ini,” tandasnya.
Ia pun mengajak para lulusan untuk siap menghadapi kenyataan hidup di luar kampus. Baginya, siapa pun yang mempersiapkan diri secara fisik, mental, rohani, dan materi, dialah yang akan mampu menaklukkan tantangan kehidupan. []