Desaku Menanti, Hunian Mantan Gepeng Yogyakarta

Desaku Menanti, hunian yang dibangun Pemda DIY untuk penanganan gepeng di Yogyakarta dengan harapan lebih baik. Tapi faktanya bertolak belakang.
Warga Desaku Menanti di Dusun Dugo, Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul menolak rencana relokasi, Selasa 28 Januari 2020. (Foto: Tagar/Agung Raharjo)

Yogyakarta - Desaku Menanti, sebuah tempat yang dibangun khusus untuk mereka, para gelandangan dan pengemis atau yang akrab disapa gepeng. Di tempat ini, mereka dulu tidak punya rumah. 

Kisah singkatnya, mereka menggelandang dan mengemis di sudut-sudut kota. Kemudian dibina dan dibuatkan rumah di Dusun Dogu, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul.

Desaku Menanti, sebuah kebijakan Dinas Sosial Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebijakan ini diberlakukan sejak lima tahun silam, tepatnya 2015. Kebijakan ini sebagai solusi untuk menghilangkan peredaran gepeng di Yogyakarta. Kebijakan sebagai upaya pemerintah agar gepeng hidup secara mandiri.

Ada 21 keluarga keluarga menempati Desaku Menanti. Harapnnya hidup mereka lebih baik, tidak menggelandang atau mengemis lagi. Tapi harapan dan fakta berbeda. Mereka tidak ubahnya seperti saat mereka hidup di jalanan. Mereka kesulitan melangsungkan kehidupan. Mereka terisolalir dari akses suplai air, listrik serta akses jalan yang tidak memadai.

Menempati di areal yang tidak layak untuk pemukiman. Berada di lereng gunung, di bawah tebing, mereka melangsungkan kehidupan dalam serba keterbatasan. Semisal untuk mendapatkan air, mereka harus ngangsu air ke sumber air dengan jarak tempuh sekitar dua kilometer dan medan jalan yang curam.

Desaku Menanti, ternyata jauh dari penantian mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Menempati tanah Sultan Ground (SG) seluas 4,5 hektar, dengan 40 unit bangunan rumah minimalis tipe 45. Tercatat, sampai saat ini yang tinggal di Desaku Menanti sebanyak 21 kepala keluarga. Adapun pembangunan Desaku Menanti menelan anggaran Rp2,1 miliar dengan rincian per unit rumah Rp 30 juta.

Penanganan Gepeng di Yogyakarta yang Setengah Hati

Salah seorang penghuni Desaku Menanti Mujinah 61 tahun, mengaku tidak adanya aliran air ke rumah memaksa dirinya harus ngangsu air sejauh dua kilometer untuk mendapatkan air. "Gendong banyu (air) naik turun tebing," kata warga asal Prambanan, itu, Selasa 28 Januari 2020.

Dalam memenuhi aliran listrik, Mujinah juga mengaku pemerintah tidak memberikan fasilitas layanan jaringan listrik. Secara mandiri, warga harus gotong-royong menyambungkan jaringan listrik dari desa sebelah yang berada diatas lereng. "Urunan suwe-suwe nyatane (kenyataannya) juga bisa," kata Mujinah yang menempati Desaku Menanti sejak 2018.

Desaku Menanti1Komisi D DPRD DIY dan Dinas Sosial DIY saat melakukan kunjungan di Desaku Menanti di Dusun Dugo, Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta. Selasa 28 Januari 2020. (Foto: Tagar/Agung Raharjo)

Pun kondisi akses jalan keluar masuk hunian tersebut tidak layak dilintasi karena terjal, berkerikil dan curam. Meskipun demikian tidak ada pengerasan jalan, padahal kondisi jalan dari pintu masuk menuju Desaku Menanti sudah dibeton.

Selain itu mereka juga tidak cukup mandiri dalam bekerja. Penyediaan lahan pertanian oleh pemerintah, yang diharapkan warga mantan gepeng ini juga tidak kunjung terlaksana.

Mereka hanya bercocok tanam dengan memanfaatkan lahan di sela-sela bangunan hunian desaku menanti. "Dulu saat pertama akan menempati desaku menanti dijanjikan menggarap lahan pertanian di bawah, tapi sampai sekarang tidak ada," kata Desaku Menanti, Widodo 50 tahun.

Fakta-fakta di atas, tidak banyak terungkap. Pun termasuk pemerintah selaku pemilik program penanganan gepeng tersebut. Masalah sosial yang sudah dapat digolongkan membutuhkan penanganan darurat tersebut terungkap saat rombongan Komisi D DPRD DIY, Selasa 28 Januari 2020.

Ketua Komisi D DPRD DIY Kuswanto mengungkapkan Dinas Sosial DIY melakukan perencanaan Desaku Menanti dengan tidak matang. Awalnya, Desaku Menanti dibangun untuk menampung gepeng, namun rencana berubah di tengah jalan. "Ini bukti perencanaan yang tidak matang oleh Dinsos. Kegagalan dinsos," kata Kuswanto di sela-sela mengunjungi Desaku Menanti.

Kuswanto juga mengingatkan meskipun pembangunan mendapatkan support dari Kementerian Sosial namun tidaklah sedikit dana yang diambilkan dari APBD DIY. Guna membahas masalah tersebut, pihaknya akan mengundang Dinas Sosial baik DIY maupun Gunungkidul, Tim Anggaran Pembangunan Daerah serta pihak-pihak terkait.

Solusi Relokasi Penghuni Desaku Menanti

Sementara itu Kepala Seksi Rehabiltasi Sosial, Tuna Sosial, Korban Napza, Korban Tindak Kekerasan dan Korban Perdagangan Orang Dinas Sosial DIY Widiyanto mengatakan solusi sosial bagi penghuni Desaku Menanti adalah relokasi. Dinsos telah menyiapkan tempat relokasi di Balai Rehabilitasi Bina Karya untuk gepeng di Pingit, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta.

"Kan kalau direlokasi mereka lebih dekat dengan kota, kan anggota keluarga mereka juga bekerja di bawah (di Kota Yogyakarta). Kita sudah ada data gepeng yang direlokasi," katanya.

Desaku Menanti2Kepala Seksi Rehabiltasi Sosial, Tuna Sosial, Korban Napsa, Korban Tindak Kekerasan dan Korban Perdagangan Orang Dinsos DIY Widiyanto saat diwawancarai di Desaku Menanti, di Dusun Dugo, Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, Selasa 28 Januari 2020. (Foto: Tagar/Agung Raharjo)

Widiyanto tidak menyampaikan jawaban solusi selain dengan cara relokasi, meskipun saat ini hajat hidup sebanyak 21 kepala keluarga di Desaku Menanti kesulitan mengakses kebutuhan hidup. Pihaknya berpaku pada dasar hukum yaitu Perda Nomor 1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis serta Pergub 36 tahun 2017 tentang Standar dan Prosedur Penanganan Gelandangan dan Pengemis.

Bahkan, Widayanto menegaskan Desaku Menanti bukan untuk hunian. Ia merujuk Keputusan Ketua Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten Gunungkidul pada Maret 2019, bahwa kawasan tersebut merupakan salah satunya pemanfaatan ruang untuk kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan serta budidaya tanaman tahunan. "Dan dilarang pemanfaatan ruang untuk permukiman," kata dia.

Pihaknya juga menyanggah jika perencanaan oleh Dinas Sosial tidak matang. Menurut dia semula memang ditujukan hunian gepeng dan perencanaan Dinas Sosial sebenarnya sudah dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak terkait.

"Dulu sudah ada koordinasi, baru tahap di atas meja. Sambil menunggu surat kekancingan (dari Sultan Ground) turun maka diperbolehkan memulai pembangunan hunian. Tapi ternyata turunnya tidak boleh untuk hunian tetap," ungkapnya.

Hanya saja, ketika rencana relokasi tersebut ditanyakan balik kepada para warga penghuni Desaku Menanti, mereka menolak. Warga keberatan direlokasi karena tempat yang disediakan di Kota Yogyakarta dianggap tidak layak.

Alasan mereka menolak direlokasi di perkotaan masuk akal. Lokasi yang dipersiapkan tidak jauh buruk dengan Desaku Menanti yang selama ini ditempati. 

"Itu ukuran rumahnya hanya 2x2, terus kamar mandi bersama-sama. Biarlah kami di sini gak apa-apa ga ada air, nanti kita usaha air sendiri, lama kelamaan punya sumur sendiri. Listrik tidak dibantu, nyatanya kita juga bisa," kata Mujinah.

Seorang kakek, kelahiran 1946, Agus Sutopo terlihat keheranan seolah selama ini merasa asing dengan dunia luar. Ia pun tampak sedih dan menangis ketika rombongan meninggalkan lokasi. []

Baca Juga:


Berita terkait
Rian D'Masiv dan Panti Gelandangan Meriahkan Lomba 17an
Rian D'Masiv dan panti gelandangan meriahkan 17an. Rian juga mengungkapkan bahwa hal yang paling dikenang saat 17an adalah memasang bendera.
Lewat Dinsos, Pemkot Makassar Salurkan KIS Bagi GelandanganPsikotik
"Hari ini melalui Dinas Sosial menyalurkan 188 keping kartu KIS yang kemudian di pergunakan untuk perawatan mereka melalui BPJS kesehatan," jelas Mukhtar KaDinSos Makassar,
Kades di Sumut Perintahkan Warganya Jadi Pengemis
Pjs Kades di Kabupaten Batubara izinkan warganya jadi peminta-minta di Pematangsiantar.
0
Massa SPK Minta Anies dan Bank DKI Diperiksa Soal Formula E
Mereka menggelar aksi teaterikal dengan menyeret pelaku korupsi bertopeng tikus dan difasilitasi karpet merah didepan KPK.