Desakan Agar Sejarah Jadi Mata Pelajaran Wajib di Sekolah

Mendikbud Nadiem didesak untuk kembali menjadikan sejarah sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan menengah
Ilustrasi: Anak sekolah di salah satu sekolah di Kota Bandung sedang membaca di perpustakaan (Foto: Tagar/Fitri Rachmawati)

Bandung - Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia, Komisariat Departemen Pendidikan Sejarah (IKA Pendidikan Sejarah UPI), mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim, untuk kembali menjadikan sejarah sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan menengah pada SMA, SMK, MA, dan MAK.

Desakan ini merespons berbedarnya draft penyederhanaan kurikulum yang tengah digodok tim bentukan Menteri Nadiem. Dalam draft tersebut, mata pelajaran sejarah hanya akan menjadi bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial di kelas X dan menjadi mata pelajaran pilihan di kelas XI dan XII. Sementara di SMK, rancangan penyederhanaan kurikulum tidak mencantumkan adanya mata pelajaran sejarah.

“Kami menolak dengan tegas reduksi mata pelajaran sejarah sebagaimana tertuang dalam rancangan penyederhanaan kurikulum. Sebaliknya, kami menuntut dikembalikannya sejarah sebagai mata pelajaran wajib pada seluruh jenjang pendidikan menengah (SMA, SMK, MA, MAK),” tegas Ketua IKA Pendidikan Sejarah UPI, Prof Dadan Wildan, dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar di Bandung, 19 September 2020.

Selain itu, Dadan pun mendesak Menteri Nadiem untuk melakukan evaluasi total terhadap proses penyederhanaan kurikulum yang dilakukan lembaga non pemerintah, dan mengembalikan proses tersebut kepada Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai badan resmi di bawah Kemdikbud sesuai dengan tugas dan fungsinya.

1. Sejarah Demi Pengembangan Collective Memory

“Sebagai gantinya, saya meminta Kemdikbud melibatkan para pakar pendidikan dan pengembang kurikulum dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), para praktisi, asosiasi profesi, dan asosiasi program studi dalam proses penyederhanaan kurikulum,” tuturnya.

Menurutnya, tuntutan tersebut bukan hanya dari aspirasi alumni Pendidikan Sejarah UPI, melainkan hasil kajian mendalam dalam webinar yang dihelat Kamis, 17 September 2020. Dalam kajian yang berkolaborasi dengan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Forum Komunikasi Guru IPS Nasional, dan Perkumpulan Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia (P3SI) tersebut dapat disimpulkan.

Mata pelajaran sejarah penting untuk diajarkan pada seluruh jenjang pendidikan, karena Sejarah Indonesia lekat pada mengembangkan jati diri bangsa, mengembangkan collective memory sebagai bangsa, mengembangkan keteladanan dan karakter dari para tokoh, mengembangkan inspirasi, mengembangkan kreativitas, mengembangkan kepedulian sosial bangsa, membangun nasionalisme yang produktif.

“Reduksi mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadi bagian dari IPS pada kelas X, dan mata pelajaran pilihan kelas XI dan XII SMA serta penghapusan mata pelajaran sejarah pada jenjang SMK merupakan kekeliruan cara pandang terhadap tujuan pendidikan,” kata dia.

Penghilangan mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadikan sebagai pilihan berpotensi mengakibatkan hilangnya kesempatan siswa untuk mempelajari sejarah bangsa sekaligus menghilangkan jati diri sebagai bangsa Indonesia.

2. Mata Pelajaran di Indonesia Tidak Lebih Banyak dari Negara Pembanding

Penyederhanaan ini juga bertolak belakang dengan spirit Nawacita sebagaimana tertuang dalam poin kedelapan yakni, melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan. Seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.

Dadan menambahkan, pada dasarnya IKA Pendidikan Sejarah UPI mendukung penyederhanaan kurikulum sebagai bagian dari respons terhadap dinamika sosial, kebangsaan, maupun perkembangan teknologi dan tantangan global yang dihadapi. Namun demikian, penyederhanaan kurikulum hendaknya tetap mengacu kepada kepentingan nasional dan pembentukan karakter bangsa.

“Mengutip paparan Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013 Said Hamid Hasan pada saat webinar kemarin. Asumsi beban kurikulum nasional terlalu berat yang menjadi dasar penyederhanaan kurikulum adalah sebuah kekeliruan,” tambah dia.

Perbandingan jumlah mata pelajaran antara kurikulum nasional dengan kurikulum di sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Inggris, Jerman, dan Finlandia menunjukkan bahwa jumlah mata pelajaran di Indonesia pada seluruh jenjang pendidikan tidak lebih banyak dari jumlah mata pelajaran di negara yang dijadikan perbandingan.

“Bahkan, jumlah mata pejajaran di Indonesia pada jenjang SD dan SMP tercatat paling sedikit. Sementara untuk jenjang SMA memiliki jumlah yang sama dengan negara lain, hanya lebih sedikit dari Malaysia dan Inggris,” ujarnya. []

Berita terkait
Reaksi Warganet di Instagram Mendikbud Nadiem Makarim
Unggahan Mendikbud Nadiem Makarim di Instagram saat mengunjungi SLB di Bantul, Yogyakarta, menuai reaksi dari warganet.
Aplikasi Rumah Belajar Kemendikbud Raih Penghargaan
Platform pembelajaran gratis berbasis dalam jaringan yang dikembangkan Kemendikbud, yakni Rumah Belajar, mendapat penghargaan.
Beragam Upaya Kemendikbud Tuntaskan Buta Aksara
Berbagai upaya telah dan masih dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menuntaskan buta aksara.
0
5 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Membeli Hunian di Sentul
Selain Bekasi dan Tangerang Selatan, Bogor menjadi kota incaran para pemburu hunian di sekitar Jakarta. Simak 5 hal ini yang perlu diperhatikan.