Indonesia Corruption Watch tiba-tiba mencoba membangun framing bahwa Jokowi sedang menghambur-hamburkan uang untuk membayar influencer sampai Rp 90 miliar. Mungkin ICW lagi suntuk enggak ada kerjaan, atau mungkin di dalamnya isinya dinosaurus semua. Mereka lupa bahwa ini era media sosial, bukan lagi era media mainstream.
Memangnya kenapa kalau pemerintahan Jokowi pakai influencer untuk menyosialisasikan program-programnya? Jelas jauh lebih murah daripada harus bayar iklan di televisi, 25 - 50 juta rupiah per 30 detik. Atau puluhan juta kalau pasang di media online. Atau malah miliaran rupiah per titik kalau harus pakai billboard.
Sudah sejak lama sebenarnya ada kecemburuan luar biasa dari media mainstream kepada para influencer. Mereka terus menyerang dengan istilah "buzzeRp". Bahkan Tempo sampai harus menyediakan halamannya hanya khusus membahas tentang itu.
Media online atau mainstream, harus bisa menurunkan harga dirinya untuk bekerja sama dengan influencer supaya ada yang baca beritanya. Mirip dengan Bluebird yang mau beradaptasi dan bekerja sama dengan Gojek kalau enggak terlibas zaman.
Media-media mainstream dan online, sebenarnya pendapatan mereka dulu banyak dari sosialisasi program pemerintah pusat dan daerah. Tapi karena pemerintah sekarang lagi ketat biaya, mereka alihkan sosialisasinya ke influencer. Lebih murah dan efektif.
Inilah yang membuat media online dan wartawan-wartawan dinosaurus dan sombong itu, ngamuk. Mereka merasa kasta mereka lebih tinggi dari para influencer atau blogger. Mereka bahkan tidak belajar dari jatuhnya Nokia dulu karena sombong dan meremehkan perubahan zaman ketika orang sudah pelan-pelan pakai Android.
ICW juga mungkin kayaknya sama, kehilangan pendapatan. Biasanya mereka dapat "amplop" kalau menulis atau kasih berita di media online, sekarang enggak lagi. Jadilah cari-cari alasan untuk mengutik kebijakan pemerintah.
Saya pernah menulis bahwa media online atau mainstream itu seperti taksi dan ojek yang berjaya di zamannya. Tapi ketika ojek online datang, mereka ngamuk bahkan sampai menghadang di jalan.
Tapi dunia sudah berubah, suka atau tidak suka. Media online atau mainstream, harus bisa menurunkan harga dirinya untuk bekerja sama dengan influencer supaya ada yang baca beritanya. Mirip dengan Bluebird yang mau beradaptasi dan bekerja sama dengan Gojek kalau enggak terlibas zaman.
Saya sendiri dulu sering diminta untuk menulis atau men-share berita di media online. Di sana saya dapat penghasilan. Karena ada juga media online yang sadar, bahwa jendela untuk masuk ke portal beritanya paling efektif lewat media sosial.
Lihat saja, kalau enggak waspada, Tempo, Kompas, Detik dan banyak media online lainnya akan hancur kalau tidak mau beradaptasi dan berjalan seiring dengan influencer atau media sosial.
Mau bagaimana lagi? Berubah atau mati, itu saja poinnya.
Tapi ya, kalau masih para dinosaurus yang memimpin perusahaan media, alamat mereka sebentar lagi punah. Harus berubah, cari yang muda-muda sebagai pemimpin yang bisa beradaptasi dengan situasi.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi