Denny Siregar: Panglima TNI, Titik Lemah Jokowi (2)

Sejak Panglima TNI dijabat Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, ada dua peristiwa besar yang terjadi di Papua. Tulisan opini Denny Siregar.
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, dihadapan ratusan Prajurit Yonif Raider 132/BS di lapangan Batalyon Infanteri Raider 132/Bima Sakti, Bangkinang, Pekanbaru, Provinsi Riau, Jumat, 26 Juli 2019. (Foto: dok. tni.mil.id).

Oleh: Denny Siregar*

Tulisan saya tentang "Panglima TNI titik lemah Jokowi" saat menghadapi kisruh di Papua, mendapat banyak tanggapan.

Banyak yang berpandangan bahwa saya buzzer yang hendak menaikkan "seseorang" ke kursi Panglima atas dasar pesanan. Seakan saya tidak boleh mengeluarkan "apa yang saya pikirkan" dengan sehat.

Padahal, saya mencoba melakukan kritik sehat terhadap pemerintahan Jokowi yang selama ini saya bela. Kritik ini bukan bermaksud menyerang, tetapi mencoba melihat sebuah masalah dari sudut pandang yang berbeda.

Panglima TNI sekarang, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, bisa disebut sebagai "nice guy". Beliau tidak pernah berulah, tetapi juga tidak melakukan banyak hal. 

Dan ini bisa disebut sebagai kelemahan, karena TNI seharusnya tergambarkan sebagai pihak yang kuat, benteng yang kokoh, dan menggentarkan.

Saya ingat pada waktu sering menulis gaya seorang Gatot Nurmantyo, saat menjabat Panglima TNI. Gatot sering muncul di televisi ketika ada masalah seperti penyanderaan di Tembagapura, Papua. Gayanya tegas, kuat, tanpa kompromi. Wajahnya menyimpan kepercayaan diri yang tinggi.

Dan dia sering pamer pasukannya yang juga terkesan tak tertandingi.

Pencitraan ini penting, karena yang dihadapi di Papua adalah musuh yang bersenjata. Dan Gatot Nurmantyo menguasai narasi dalam perang pembentukan opini, sehingga lawan berpikir dua kali untuk berhadapan dengan TNI.

Meskipun di akhir jabatan ada gerakan politik yang nyeleneh, tapi di mata pasukannya, Gatot Nurmantyo adalah simbol yang mewakili TNI secara institusi.

Marsekal Hadi berbeda. Dia lebih sering tampak bersama-sama Kapolri ketika ada masalah. Ya, memang bagus sih untuk menunjukkan ada kerjasama antar institusi negara. Tetapi jika terlalu sering, secara citra itu akan melemahkan TNI yang selama ini terpandang "tanpa kompromi".

Panglima TNI menjadi seperti "polisi", bukan sebagai TNI. Polisi memang harus bergaya persuasif, tetapi TNI harus tampak menjadi buldozer, meratakan apapun yang menghalangi. TNI harus tercitra pelindung negara yang sangat kuat tetapi lembut di hadapan rakyat.

Bahkan, dalam kasus penanganan Papua, Panglima TNI tampak seperti orang kebingungan.

Baru rotasi Pangdam, terus rotasi lagi karena ada masalah, dan rotasi lagi karena harus ganti strategi. Tampak tidak menguasai peta lapangan dan membingungkan anak buahnya.

Seharusnya saat ada masalah seperti itu, Panglima TNI yang mengambil panggung mewakili negara, bukan malah Pak Wiranto dan Pak Moeldoko terus yang bicara.

Presiden Jokowi bersama Menteri, Polri dan TNIPresiden Jokowi (tengah) di antara Panglima TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Tito Karnavian. (Foto: Facebook/Presiden Joko Widodo). 

Bayangkan seorang yang sudah dicalonkan jadi Pangdam harus dibatalkan, karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Bagaimana psikologis calon Pangdam tersebut kira-kira? Ini pasti akan memengaruhi mental prajurit di lapangan.

Mungkin berkaitan dengan latar belakang Panglima TNI yang tidak pernah berada di medan tempur, atau tidak menguasai peta lapangan.

Ini memang kelemahan tersendiri ketika Panglima TNI dijabat selain dari Angkatan Darat (AD). 

Logika memang, karena hanya AD-lah yang menguasai peta lapangan, sehingga terlatih ketika ada masalah seperti situasi di Papua.

Secara jumlah personel, AD juga jauh lebih besar dari Angkatan Udara (AU), tempat Marsekal Hadi berasal. Jumlah personel AD hampir 500 ribu, sedangkan Angkatan Udara kurang dari 35 ribu. 

Dari segi jumlah saja, terlihat bahwa AD punya pengalaman mengontrol personel yang jauh lebih besar.

Bisa dibayangkan, bagaimana caranya Panglima TNI yang bukan berasal dari AD, harus berkomunikasi dengan para personel di wilayah yang dikuasai AD? Bahasanya saja beda, jelas secara strategi penempatan pasukan akan sangat berbeda.

Meskipun ada yang namanya Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad), tetapi tetap saja Panglima TNI menjadi simbol yang harus berada di depan. Mirip dengan pemerintahan, meskipun sudah ada Menteri, tetapi simbol tetap ada di Presiden.

Lemahnya sosok Panglima TNI sekarang berimbas pada Jokowi sebagai Presiden. Padahal, seharusnya, citra Panglima TNI yang kuat akan juga berimbas pada kuatnya citra Presiden sebagai simbol negara.

Kalau citra Panglima TNI kuat, tidak mungkin orang sibuk bertanya, "Mana Jokowi, mana Jokowi?" saat rusuh di Papua.

Karena seharusnya saat ada masalah seperti itu, Panglima TNI yang mengambil panggung mewakili negara, bukan malah Pak Wiranto dan Pak Moeldoko terus yang bicara.

Ini hanya pandangan saya dari luar, tentu yang tahu di dalam adalah personel TNI sendiri dan juga Presiden tentunya, karena saya tidak mau menjadi lebih TNI dari TNI itu sendiri.

Seruput kopinya..

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
Denny Siregar: Panglima TNI, Titik Lemah Jokowi
Sejak Panglima TNI dijabat Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, ada dua peristiwa besar yang terjadi di Papua. Tulisan opini Denny Siregar.
Rekam Jejak Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto
Karier Hadi Tjahjanto melejit dengan cepat. Dia merupakan panglima TNI kedua yang berasal dari AU setelah Marsekal TNI Djoko Suyanto.
Foto: Kebersamaan Tito Karnavian dan Hadi Tjahjanto
Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto merupakan dua sosok yang tampak selalu 'mesra'.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.