Denny Siregar: Mereka yang Tergilas Zaman

Di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Siapa yang menolak perubahan, dia akan tergilas zaman. Denny Siregar.
Ilustrasi - Nokia. (Foto: Tagar/Pixabay/uveX)

Orang bilang di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Siapa yang menolak perubahan, dia akan tergilas zaman. Bayangkan dulu kita hanya mengenal mesin tik untuk mengerjakan banyak hal yang tanpa kita sadari tugasnya tergantikan oleh komputer.

Saya ingat banget pada masa itu guru sekolah saya menolak dengan keras penggunaan komputer karena tidak bisa meninggalkan ketergantungannya kepada mesin tik. Dan apa yang terjadi? Dialah yang pelan-pelan tersingkir karena tidak mampu beradaptasi, sedangkan era teknologi terus berjalan kencang ke depan.

Dan situasi yang sama terjadi di dunia media. Saya sudah menyadari hal itu sejak lama ketika masih bekerja sebagai penyiar di sebuah radio berita. Saya mulai sadar bahwa tugas reporter di radio mulai tergantikan oleh laporan langsung dari pengguna jalan ketika handphone sudah mulai banyak dipakai oleh kelas menengah. Peran media pun mulai bergeser. Mereka bukan lagi menjadi satu-satunya penyampai berita. Dan pelan-pelan posisi reporter di radio itu mulai dikurangi karena akhirnya dianggap sebagai sebuah beban.

Dan situasi ini juga mau tidak mau terjadi di media cetak. Ketika akhirnya orang mulai beralih ke internet, peran media sebagai satu-satunya penyampai berita mulai tergeser oleh blogger. Apalagi ketika era media sosial tumbuh, semakin hancurlah media cetak. Mereka pelan-pelan tutup, yang punya duit lebih kemudian membuka media online. Yang tertinggal dari mereka yang ada di media cetak dan sekarang menjadi media online, hanyalah kesombongannya.

Mereka masih menganggap para netizen adalah warga kelas dua dalam hal menyampaikan berita, sedangkan mereka adalah para ningrat yang berkumpul dalam aliansi para ningrat lainnya yang mereka namakan Dewan Pers. Tugas utama Dewan Pers ini adalah melindungi para ningrat yang tergabung di dalamnya supaya tidak bisa disentuh hukum kalau mereka salah. Kalau mereka tertangkap basah bikin hoaks? Ya, tinggal minta maaf saja, kan ada UU Pers yang melindungi.

Tapi ada yang tidak bisa mereka lindungi, yaitu pasar. Pasar ternyata berbeda pemikiran dengan para media mainstream. Pasar ternyata lebih memilih netizen yang berpengaruh di media sosial, atau lebih dikenal sebagai influencer untuk mengkomunikasikan atau mensosialisasikan program atau produknya.

Kenapa pasar lebih condong ke influencer daripada ke media mainstream? Yang jelas lebih murah biayanya dan langsung ke sasaran karena influencer punya follower yang sangat spesifik sesuai targetnya. Influencer ini macam-macam, ada yang khusus pariwisata, ada yang khusus otomotif, bahkan ada influencer yang khusus politik.

Dan menariknya, pemerintah sekarang pun mempunyai pemikiran yang sama dengan pasar. Mereka lebih mengutamakan mensosialisasikan kebijakan program mereka kepada para influencer daripada ke media mainstream. Ini bukan kata saya lho, ini kata Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI.

Siapa yang menolak perubahan, dia akan tergilas zaman.

Menurut AMSI, terutama di masa pandemi ini, pendapatan media online turun drastis di angka 40 persen. Apalagi di daerah-daerah. Biasanya media online apalagi yang punya jaringan besar ke daerah, mendapat banyak orderan dari pemerintah daerah untuk sosialisasi kebijakan-kebijakan mereka. Sekarang enggak lagi. Sedih enggak tuh? Sakitnya jelas di sini.

Ini yang akhirnya membuat banyak media cetak yang sekarang berubah menjadi media online teriak-teriak, dan lucunya mereka malah memusuhi para influencer yang dulu mereka anggap anak bawang itu. Terutama di media besar yang biaya operasioal mereka juga besar. Bayangkan mereka harus menggaji banyak karyawan dan wartawan, belum biaya kantor dan lain-lainnya, tapi pendapatan mereka semakin turun.

Bandingkan dengan para influencer yang hanya menggaji dirinya sendiri. Salah satu media besar yang dulu pernah saya suka saat masih cetak adalah majalah Tempo. Tempo yang kemudian beralih ke online dengan Tempo.co, mulai khawatir dengan perubahan besar yang terjadi. Eh, bukannya berbenah, mereka malah teriak bozzar-bazzer seperti panik. Dan sasaran mereka ya para influencer yang mereka kerdilkan dengan kata buzzer.

Dan Tempo melampiaskan rasa paniknya dengan terus menyerang pemerintah yang mereka anggap lebih mementingkan para influencer daripada mereka yang dulu pernah berjaya di dunia media. Salah satu kekalahan terbesar media mainstream itu adalah saat perang opini terhadap revisi UU KPK.

Media-media mainstream selama ini selalu dipakai KPK lama untuk membangun citra mereka. Ada simbiosis mutualisme antara KPK dan media-media mainstream, yang satu dapat citra, satunya lagi dapat berita. Makanya ketika KPK lama diserang, media-media mainstream dengan Tempo sebagai "panglima perang"-nya menyerang para netizen budiman yang berada di belakang pemerintah, dengan kata-kata BuzzeRp. Bahkan Tempo khusus mengulas tentang buzzer ini dalam halaman khusus, meski lucunya mereka memakai data yang salah dari luar negara.

Dan terjadi, pendukung KPK yang dulu solid 100 persen karena bangunan citra dari para media mainstream ini, hancur berantakan dalam waktu beberapa bulan karena opini yang berkembang bahwa KPK sudah tidak murni menjadi pahlawan anti korupsi lagi, tapi sudah menjadi kendaraan politik bagi kelompok garis keras di sana.

Dan perlawanan sia-sia juga dilakukan Tempo dengan membuat karikatur wajah Jokowi berhidung panjang, simbol bahwa dia pembohong seperti Pinokio. Netizen pun melawan dengan menghantam aplikasi Tempo di Plyastore dengan memberinya hanya satu bintang. Satu bintang saja, saudara-saudara. Sungguh memalukan untuk media sebesar Tempo sebenarnya. Tapi sepertinya Tempo gelap mata, sehingga akal sehatnya tidak bekerja. Tempo terus berusaha membangun framing negatif.

Di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.

Apalagi ketika salah satu sahabatnya, Indonesia Corruption Watch atau ICW tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah mengeluarkan uang Rp 90 miliar untuk influencer, Tempo langsung tambah aktif memberitakan tentang itu seolah dapat siraman bensin. Padahal, ya seperti kita bahas di awal tadi, salahnya di mana kalau pemrintah sekarang lebih menggunakan influencer daripada harus beli iklan yang sekali tayang itu harganya sampai ratusan juta rupiah? Kalau ada yang lebih baik dan lebih murah, kenapa tidak?

Dan akhirnya terbukalah mata kita, sesudah ada pemberitaan bahwa Tempo menunda penawaran saham publik perdananya atau IPO yang harusnya diluncurkan bulan Agustus ini. Diberitakan, Tempo sendiri rugi lebih dari Rp 20 miliar di semester pertama. Ternyata ini masalah berebut periuk nasi saja.

Tambah menarik ketika website Tempo di-hacked. Seperti sinetron Indosiar yang penuh dengan air mata dan drama yang serinya tidak akan selesai sebelum Din Syamsuddin jadi presiden. Tempo pun teriak-teriak bahwa dia dizalimi. Padahal saya lihat itu cuma tampilan muka diubah saja. Si hacker itu sebenarnya baik, menunjukkan website Tempo itu keamanannya lemah, diperbaiki dong, bukannya jadi anak kecil yang nangis gerung-gerung karena enggak dikasih permen.

Tempo tanpa sadar sudah membentuk dirinya menjadi musuh bersama para netizen karena ketidakmampuannya untuk netral dalam membuat berita. Dan lucunya lagi, Tempo ya enggak sadar-sadar. Mungkin karena dulu pernah berjaya sehingga merasa netizen itu bukan apa-apa dibandingkan dirinya yang pernah jadi perusahaan raksasa.

Tempo bahkan tidak pernah belajar dari kasus Nokia yang dimakan Blackberry, dan Blackberry yang dilalap habis oleh Android. Siapa pun yang merasa besar, kelak akan dimakan oleh yang lebih besar kalau tidak mampu beradaptasi dengan alam.

Saya jadi ingat kasus di mana muncul aplikasi kendaraan online yang memakan sebagian besar pendapatan kendaraan umum seperti taksi. Ingat kan waktu driver-driver taksi seperti Bluebird demonstrasi dan menghalangi driver online di jalan-jalan? Apakah taksi bisa menghalangi perkembangan driver online? Tidak akan pernah bisa, karena perubahan besar sedang terjadi.

Dan pada akhirnya Bluebird harus mengakui dan lebih baik bekerja sama dengan perusahaan online itu daripada kalah digerus zaman. Zaman terus bergerak ke depan, menggilas para dinosaurus yang masih sibuk bertahan dengan kesombongan-kesombongannya.

Saran saya untuk media besar seperti Tempo, lebih baik mengganti pemimpin media Anda dengan mereka yang pemikirannya lebih maju, bukan karena senioritas doang. Pemimpin muda yang mampu bekerja sama dengan banyak elemen daripada bertarung dengan sia-sia melawan perubahan-perubahan.

Saya suka ketawa melihat Tempo diejek di mana-mana oleh netizen, dan mungkin juga para influencer yang selama ini mereka remehkan. Para influencer itu seperti bilang, "Tempo, iri bilang boss."

Jangan sampai kejadian, Tempo yang dulu bahkan majalahnya dikliping sama bokap, ke depan cuma jadi sejarah bahwa mereka pernah ada.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
Eks Pemred Tempo Menjawab Isu Terima Duit KKP
Tempo membantah pernah menerima suap dari KKP. Tempo menduga isu dihembuskan sebagai reaksi atas liputan soal ekspor benur.
Media Tempo.co Diretas, @xdigeeembok: Peringatan Mesra
Media sosial Twitter dihebohkan dengan beredarnya screen capture yang memperlihatkan situs media online Tempo.co diretas.
Komnas HAM: Peretasan Website Tempo Ancaman Serius
Komnas HAM menyoroti bahwa peretasan situs media Tempo Group adalah sebuah ancaman yang sangat serius.
0
LaNyalla Minta Pemerintah Serius Berantas Pungli
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah serius memberantas pungutan liar (pungli). Simak ulasannya berikut ini.