"Ikatan Dokter Indonesia Ancam Mogok Tangani Pasien Corona". Begitu headline di media online tempo.co. Saya telusuri di media-media online besar lain seperti Tirto, Kumparan, Republika dan banyak lagi. Bahasa judul mereka sama, yaitu "MOGOK".
Benarkah IDI mau mogok tangani pasien corona? Judulnya seksi memang, karena ada kata "mogok" maka orang jadi pengen baca.
Dan langsung terbersit persepsi negatif, "Dokter kok mogok tangani pasien? Bagaimana dengan sumpah dokternya?" Atau mulai ada nuansa ketakutan, "Kalau Dokter mogok, terus bagaimana dengan pasiennya?" Yang bisa berarti, "Gua gimana?"
Padahal, kalau membaca penjelasan dari Ketua Umum IDI, Daeng M Faqih, dia mengatakan, "Paramedis yang pakai APD boleh merawat pasien, yang tidak pakai tidak boleh."
Apa memang ada konspirasi untuk membenturkan dokter dan pemerintah? Supaya situasi makin kacau?
IDI benar, bahwa sangat berbahaya jika dokter tidak pakai alat pelindung memelihara pasien corona. Apalagi dengan banyaknya dokter yang akhirnya tertular dan meninggal.
Tapi bukan berarti paramedis itu MOGOK.
Mereka hanya butuh jaminan keselamatan kerja dengan ketersediaan pakaian pelindung. Sedangkan yang sudah dapat pakaian, tetap bekerja.
Judul di media-media online itu membangun persepsi liar, seolah-oleh semua paramedis meninggalkan tanggung jawab mereka di medan perang. Ini jelas-jelas melecehkan profesi dokter dan perawat.
Dan menariknya, kata "MOGOK" serempak digunakan oleh media-media online itu.
Ada apa mereka kompak begitu ya? Apa memang ada konspirasi untuk membenturkan dokter dan pemerintah? Supaya situasi makin kacau? Supaya pasokan berita makin lancar?
Dan pertanyaan saya dari kemarin-kemarin masih sama, "Di mana Dewan Pers?"
Membenturkan profesi dokter dan pemerintah dalam situasi genting seperti ini, sungguh kejahatan moral yang sulit dipahami.
Seperti dokter, pers seharusnya punya kode etik profesi yang mirip untuk menjaga situasi tidak semakin panas. Jangan karena butuh uang akhirnya jadi melacurkan diri ke mana-mana.
Jangan sampai kelak ada berita "Matinya Dunia Pers Kita, dan Bangkitnya Media Sosial Sebagai Penyeimbang Berita" hanya karena orang sudah tidak percaya lagi apa yang diberitakan oleh media kita.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga:
- Jurnalisme Positivisme dalam Berita Virus Corona
- Negara Dinilai Belum Serius Lindungi Tim Medis Corona