Denny Siregar: Abu Janda Masuk Jebakan Separatis dan Radikalis

Nasionalis ada dua, moderat dan militan, Abu Janda nasionalis militan, kepleset masuk jebakan kelompok separatis dan radikalis. Denny Siregar.
Permadi Arya yang lebih dikenal dengan nama Abu Janda, melawan radikalisme dengan cara humor parodi. (Foto: Tagar/Instagram @permadiaktivis2)

Indonesia meskipun terlihat aman di permukaan, sebenarnya negara ini sedang ditarik ke dua arah berlawanan, di kiri oleh kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, dan di kanan oleh kelompok radikalis yang ingin mendirikan negara agama di Indonesia.

Kedua kelompok itu sedang berusaha merobek-robek Indonesia jadi berkeping-keping. Dan dari puing-puing kehancuran Indonesia itulah akan muncul jargon-jargon "wilayah merdeka" dan ada lagi yang "khilafah". Pola mereka sebetulnya sama, cara mainnya juga sama. Hanya namanya saja yang sedikit berbeda.

Kelompok separatis suka memainkan isu rasis untuk memisahkan diri dari negara kesatuan, kelompok radikalis sangat senang memainkan isu agama untuk menguasai negara secara keseluruhan.

Nah, di tengah-tengah mereka ada yang namanya kelompok nasionalis. Inilah kelompok terbesar yang berusaha tetap menjaga negara seperti apa adanya, yang diwariskan oleh para pejuang. Kelompok nasionalis ini terbagi dalam beberapa macam karakter, kita sempitkan saja dalam dua karakter, yaitu karakter moderat dan karakter militan.

Abu Janda adalah nasionalis militan. Dengan kemampuan entertainnya dia melakukan parodi, melawak menghibur kita semua, sekaligus membuat panas orang yang diserangnya.

Lihat saja video ketika dia memparodikan Bahar bin Smith yang pakai baju merah di penjara. Pendukung Bahar pasti marah besar lah dan mencaci maki dia. Tapi yang tidak suka Bahar Smith itu mendukung Abu Janda, karena lewat parodi dia, Bahar bin Smith dan kelompoknya tidak lagi tampak menakutkan di mata orang awam.

Bahar Smith "dikerdilkan" melalui video Abu Janda, sehingga akhirnya malah menjadi tokoh komik. Efektif kan tugas Abu Janda untuk menghancurkan karakter Bahar yang biasanya selalu tampil dengan mengancam-ancam, terus diparodikan oleh Abu Janda? Sangat efektif.

Inilah yang dinamakan perang asimetris atau asymmetric warfare atau sering disebut juga perang non-militer. Perang sekarang sudah tidak diidentikkan lagi dengan kekuatan persenjataan, tapi juga perang narasi, perang propaganda dengan menggunakan kendaraan media sosial.

Kelompok nasionalis ikatannya terlalu longgar, sedangkan kelompok separatis dan radikalis, solid dan militan.

Permadi AryaAbu Janda alias Permadi Arya dengan kostum memparodikan Bahar Smith. (Foto: Tagar/Instagram/@permadiaktivis2)

Abu Janda bukan sekadar parodi atau menghibur. Dia sedang perang menghancurkan karakter Bahar Smith yang dikenal sebagian orang mengerikan karena ancaman-ancamannya yang disebar lewat media, yang kemudian dikerdilkan oleh Abu Janda lewat parodi-parodinya yang juga lewat media.

Tapi yang namanya berada dalam situasi perang narasi, ada saatnya kepleset juga. Dan sekarang Abu Janda sedang berjuang bagaimana bisa bebas dari situasi yang sedang menyerangnya saat ini.

Mau saya kasih tahu bagaimana model tekanan opini yang dibangun oleh kelompok separatis dan radikalis itu? Oke, begini. Meskipun beda tujuan, beda kendaraan, kelompok separatis dan radikalis ini terkadang suka bekerja sama, tergantung isu apa yang akan mereka mainkan.

Yang separatis seolah-olah membela "Islam" padahal yang dia bela sebenarnya adalah kelompok radikalis yang kebetulan beragama Islam. Sedangkan yang radikalis, ketika separatis bersuara ingin memisahkan diri dari Indonesia, mereka bilang bahwa itu adalah hak asasi manusia dan mendorong pemerintah untuk referendum, menentukan suara terbanyak.

Tujuan mereka di sini sebenarnya sama, sama-sama ingin membuat kerusuhan. Ketika dua kelompok ini merasa ada ancaman dari kelompok nasionalis, mereka akan menjebak melalui perangkat hukum negara. Di media sosial, mereka pakai UU ITE sebagai senjata untuk menghancurkan orang-orang yang menghambat cita-cita mereka.

Permadi atau Abu Janda termasuk yang masuk dalam jebakan mereka. Ketika dia kepleset sedikit, pernyataannya di Twitter dipotong dan disebarkan dalam bentuk framing yang menyesatkan untuk mempengaruhi opini publik. Kemudian diperkuat para buzzer mereka dengan bentuk tagar untuk menangkap Permadi.

Itu bisa disebut tekanan massa melalui udara. Kalau di darat mereka pakai massa betulan untuk menekan hukum seperti kasus Ahok di Pilgub DKI 2017.

Sesudah membangun propaganda di media sosial, wartawan-wartawan media online pun disiapkan. Tugas wartawan itu menjebak pejabat atau petinggi organisasi atau partai untuk memberikan pernyataan. Konsepnya disebut door stop, atau wawancara mendadak ketika si pejabat sedang buru-buru masuk atau keluar ruangan.

Abu Janda adalah nasionalis militan. Dengan kemampuan entertainnya dia melakukan parodi, melawak menghibur kita semua, sekaligus membuat panas orang yang diserangnya.

Infografis: Profil Permadi AryaProfil Permadi Arya. (Infografis: Tagar/Bagus Cahyo Kusumo)

Pertanyaannya biasanya, "Apakah Bapak setuju dengan tweet si X yang menghina agama?" Pejabat yang diwawancarai pasati gelagapan karena tidak siap dan pasti dia tidak mau menjawab setuju karena itu masalah penghinaan agama. Dia pasti bilang, "Wah saya tidak setuju, itu penghinaan." Meski sebenarnya si pejabat itu juga belum membaca tweet yang dimaksud oleh si wartawan.

Dapat jawaban berdasarkan hasil pertanyaan jebakan, si wartawan kemudian menulis judul yang menyudutkan, "Pejabat dari partai anu, setuju si X dijebloskan ke penjara karena penghinaan agama." Isi beritanya pasti beda, tapi di media online, judul adalah raja untuk meningkatkan traffic pembaca.

Begitulah model dari dua kelompok yang ingin merusak negeri ini dalam melakukan propaganda. Framing, opini publik, dan propaganda, juga tekanan massa, adalah pola standar mereka dalam membungkam lawannya. Mereka pintar, licik, dan dananya ada, karena ada bohir yang punya agenda.

Permadi adalah bola panas yang akan digulirkan untuk agenda yang lebih besar, untuk menekan Kapolri baru dan pada ujungnya membusukkan citra pemerintahan sekarang.

Bagi dua kelompok itu, semua laporan mereka harus ada hasil, yaitu penjara. Kalau tidak, berarti "hukum tidak berpihak kepada mereka", kemudian mereka akan menyalahkan rezim yang berkuasa. Mereka memaksakan hukum sesuai nafsu pribadi mereka.

Permasalahan terbesar dari kelompok nasionalis adalah banyak dari mereka yang ingin cari aman. Sehingga selalu yang militan dikorbankan dengan alasan "demi kepentingan yang lebih besar". Itulah kenapa dalam kasus Permadi ini banyak yang ramai-ramai cuci tangan, atau bahkan menunggangi kasus ini untuk menaikkan nama mereka sesuai kepentingan politik.

Kelompok nasionalis ikatannya terlalu longgar, sedangkan kelompok separatis dan radikalis, solid dan militan.

Inilah gambaran perang asimetris nonmiliter yang sedang terjadi. Propaganda adalah senjata utama dan framing adalah peluru-pelurunya.

Bisakah situasi ini diselesaikan dengan kalimat "yang waras diam saja?" Tidak bisa. Kita butuh orang-orang seperti Permadi yang melawan narasi dan propaganda mereka.

Kalau media sosial hanya dipenuhi narasi kelompok separatis dan radikalis, percayalah, akan banyak orang yang percaya pada omongan mereka dan kelak kita akan menuai hasilnya. Seperti yang terjadi di Suriah.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
Pernyataan GAMKI Soal Twit War Abu Janda dan Tengku Zulkarnain
GAMKI merespons twit war antara pegiat media sosial Permadi Arya alias Abu Janda dengan mantan Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain.
Pakar Sebut Abu Janda Terancam Hukuman Penjara 6 Tahun
Abu Janda dapat dikenakan penjara selama enam tahun terkait ujaran kebencian terhadap Natalius Pigai.
Hari Ini Abu Janda diperiksa Polisi Terkait Cuitan di Twitter
Permadi arya atau yang akrab di sapa Abu Janda akan diperiksa Kabareskrim Mabes Polri hari ini terkait cuitannya di Twitter
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.