Dalang Kerusuhan Demo 21-22 Mei Tak Bisa Diproses?

Neta S Pane menyebut, proses hukum dalang kerusuhan demo 21-22 Mei bisa dikesampingkan demi rekonsiliasi politik nasional.
Sejumlah massa aksi terlibat kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/209). Aksi unjuk rasa itu dilakukan menyikapi putusan hasil rekapitulasi nasional Pemilu serentak 2019. (Foto: Antara/Nova Wahyudi)

Jakarta - Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane menyebut, proses hukum dalang kerusuhan demo 21-22 Mei bisa dikesampingkan demi rekonsiliasi politik nasional setelah Pilpres 2019.

Mengomentari hal itu, Peneliti Bidang Perkembangan Politik Nasional Aisah Putri Budiarti mengatakan, persoalan hukum tetap harus dijalankan, kendati proses rekonsiliasi demi tujuan kepentingan bangsa yang lebih besar. Sebab, konstitusi negara mengharuskan untuk itu.

"Tentunya untuk kepentingan bangsa dan demokrasi ke depan, maka masalah hukum tidak bisa diselesaikan dengan hanya rekonsiliasi politik," kata Aisah saat dihubungi Tagar, Senin siang 17 Juni 2019.

Indonesia kan negara berbasis hukum, artinya segala hal yang diduga bermasalah secara hukum atau melanggar Undang-Undang dan konstitusi harus diselesaikan secara hukum, bukan oleh lobi-lobi politik.

Dalam wawancara eksklusif dengan Tagar, Neta S Pane menyebut ada sejumlah elit politik menahan pihak kepolisian untuk tidak melanjutkan penyelidikan terhadap Titiek Soeharto, yang dituding Pane sebagai dalang besar dari kerusuhan di depan gedung Bawaslu beberapa waktu lalu.

Pane menyebut, kepolisian sudah akan memanggil Titiek untuk dilakukan pemeriksaan, namun ada upaya dari elit politik yang meminta polisi agar tidak bertindak, lantaran tengah berlangsung proses rekonsiliasi antara dua kubu capres-cawapres yang berlaga di Pilpres 2019 lalu.

Menanggapi hal tersebut, Aisah meminta kepada elit terkait untuk memisahkan persoalan hukum dengan kegiatan politik. Kepolisian juga diminta agar tetap melanjutkan pengusutan kasus kerusuhan meski melibatkan tokoh besar politik nasional.

"Sebagai negara konstitusional dan sekaligus negara demokrasi, ruang politik dan ruang hukum dijalankan secara terpisah. Dalam konteks kasus tersebut, seharusnya siapapun yg berada dibalik kerusuhan 21-22 Mei harus diusut secara tuntas, tidak hanya aktor di lapangan tetapi hingga siapa dalang utamanya. Masyarakat pun menunggu hasil ini," kata Aisah.

"Hal ini jangan kemudian dijadikan sebagai daya tawar oleh satu kubu politik ke kubu politik lainnya," ujar Aisah menegaskan.

Aisah Putri BudiartiPeneliti LIPI Aisah Putri Budiarti, usai diskusi \'No People No Power\', di D\'Hotel, Guntur, Jakarta Selatan, Senin 29 April 2019. (Foto: Tagar/Eno Suratno Wongsodimedjo)

Aisah tidak sepakat dengan pernyataan Neta S Pane yang mengatakan bahwa Indonesia perlu meniru proses rekonsiliasi politik antara Nelson Mandela dan Rezim Apartheid, yang pernah terjadi di Afrika Selatan. Apalagi Neta menganggap rekonsiliasi tersebut sebagai contoh baik yang patut ditiru dalam hal berdemokrasi dan bernegara.

"Saya rasa (rekonsiliasi Afrika Selatan) tidak tepat disamakan dengan Indonesia dalam konteks Pemilu 2019 ini. Apa yang terjadi di Afrika Selatan merupakan konflik berdarah jangka panjang yang tersegregasi secara mendalam berbasis ras, sementara Indonesia jauh dari konteks konflik yang demikian. Jadi, enggak bisa kita samakan," kata Aisah.

Diberitakan sebelumnya, Neta S Pane menganggap proses hukum terhadap dalang kerusuhan 21-22 Mei 2019 bisa saja dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar semisal proses rekonsiliasi politik. 

Penegakan hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban sosial di sebuah negara. Jika tujuan tersebut bisa dibangun dengan rekonsiliasi, maka sah-sah saja apabila proses hukum dikesampingkan.

Neta juga mengaku, pihaknya mendukung penuh proses rekonsiliasi, demi menghindari saling dendam antar elit politik yang akan membuat kondisi Indonesia semakin terpuruk, meski harus dianggap menciderai penegakan hukum sekalipun.

"Untuk Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang maju dan terciptanya tertib sosial, bukan hanya sah, tapi hal itu memang harus dilakukan. Selama ini kan, sejak presiden Soeharto jatuh itu kan kita terjebak dalam dendam-dendam yang tidak berkesudahan dan membuat Indonesia semakin terpuruk, kata Neta kepada Tagar, Minggu 16 Juni 2019.

"IPW mendukung rekonsiliasi tersebut, serta mendukung pak Jokowi untuk membentuk kabinet rekonsiliasi, artinya semua komponen yang bisa membangun Indonesia ke depan, membawa Indonesia lebih baik, ya diakomodir saja," ujar dia.

Baca juga:

Berita terkait
Yunarto dan Ahok Disebut Layak Masuk Kabinet Jokowi
Pengamat politik Faizal Assegaf melalui akun Twitternya, menyebut sejumlah tokoh muda layak menjadi menteri Jokowi
Hari Ini Mobil Nasional Vietnam Diluncurkan
Perusahaan otomotif Vietnam, VinFast, meluncurkan mobil pertamanya kepada konsumen hari ini, Senin 17 Juni 2019.
Kronologi Kondisi Mahkamah Konstitusi Hari Ini
Ribuan massa berkumpul di sekitar MK jelang putusan sidang PHPU yang akan berlangsung di MK siang ini, Kamis, 27 Juni 2019.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.