Cerita Seorang Pastor Bangun Musala di Banyuwangi

Seorang romo di Banyuwangi membangun musala, wujud toleransi di ujung timur Pulau Jawa.
Romo Catur membangun musala di Gria Ekologi Kelir, Banyuwangi, Jawa Timur. (Foto: Tagar/Hermawan)

Banguwangi - Cuaca di atas bumi Banyuwangi, Jawa Timur, sangat cerah, Jumat 20 Maret 2020 pagi. Matahari bersinar cukup terang menyinari perjalanan Tagar menuju Gria Ekologi Kelir milik SMA Katolik Hikmah Mandala. Lokasinya kurang lebih 10 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi.

Setiba di lokasi yang mempunyai luas 2 hekatare, di Desa Kelir, Kecamatan Kalipuro itu, Tagar langsung disambut oleh seorang pastor dari Greja Maria Ratu Damai, Banyuwangi. Dia bernama Romo Tribyrtius Catur Wibawa. Di tempat ini Tagar sempat tertegun beberapa menit, seolah pikiran ini hanyut melihat keindahan tempat tersebut.

Selama mata memadang, pepohonan yang hijau, tempat yang bersih, serta udara yang segar menghiasi Gria Ekologi Kelir ini. Ditambah lagi dengan suguhan bangunan di sekeliling yang semuanya berarsitektur rumah adat osing, rumah asli suku Banyuwangi.

Setelah mengamati bangunan yang indah itu, akhirnya Tagar diajak Romo Catur, panggilan akrab Tiburtius Catur Wibawa untuk berkeliling melihat sejumlah bangunan di Gria Ekologi Kelir. Dengan penuh semangat Romo Catur, menjelaskan satu persatu fungsi dari tempat dan bangunan yang ada.

Di tengah-tengah perbincangan, akhirnya Tagar menghentikan langkah kaki persis di depan bangunan berukuran 3x4 meter persegi yang menyerupai bangunan musala, namun tetap berarsitektur rumah adat osing. Dengan spontan saya langsung bertanya dengan Romo Catur apakah bangunan itu musala?

Lalu Romo Catur langsung membenarkan pertanyaan Tagar. Sempat berpikir kenapa di tempat ini ada bangunan musala, mengingat Gria Ekologi Kelir ini pengelolanya di bawah naungan Yayasan Karamel Keuskupan Malang, yang merupakan yayasan Katolik.

Membangun Musalah Sebagai Wujud Toleransi

Romo Catur menjelaskan alasannya memutuskan untuk membangunan sebuah musala di tempatnya itu. Kata dia, karena banyak orang yang berkunjung ke Gria Ekologi Kelir menanyakan tempat untuk salat.

“Karena melihat hal itu dan kebutuhan untuk salat maka saya punya ide untuk menyediakan tempat bagi mereka yang ingin salat supaya salat lebih nyaman dan tenang. Kemudian untuk di situ juga tersedia Gria Maria. Karena tamu yang datang di tempat ini selain orang Katolik banyak juga orang muslim,” ujur Romo Catur.

musala BanyuwangiSebuah musala yang dibangun Romo Catur di Gria Ekologi Kelir, Banyuwangi, Jawa Timur. (Foto: Tagar/Hermawan)

Bangunan Musala itu juga sebagai wujud rasa toleransi beragama yang harus diciptakan di manapun berada. Meski Gria Ekologi Kelir dibangun untuk kegiatan umat Katolik di Banyuwangi, namun banyak juga masyarakat yang beragama Islam menggunakan tempat itu untuk berbagai kegiatan.

“Tempat ini memang kita bangun untuk bertoleransi antar umat beragama. Karena toleransi itu sangat indah. Sehingga wujud toleransi di tempat ini salah satunya membangun musala ini,” katanya.

Selain membangun musala, pihaknya juka akan membangun tempat ibadah untuk agama lainya. Seperti pura tempat ibadah untuk agama Hindu, wihara untuk agama Budha, dan tempat ibadah agama lainnya yang ada di Indonesia.

“Dari kami sendiri misalkan ada orang Hindu yang membangun pura kami silakan pura kecil. Tempat kami siapkan biarlah mereka yang membangun. Kemudian tetap dalam konsep rumah budaya rumah osing. Karena kami juga menginkan di sini sebagai tempat rumah edukasi tapi juga edukasi kita bertoleransi,” ujarnya.

Karena toleransi itu sangat indah. Sehingga wujud toleransi di tempat ini salah satunya membangun musala ini.

Setelah menjelaskan keberadaan musala itu, Romo Catur juga menunjukan sejumlah tempat lainya di Gria Ekologi Kelir. Di antaranya deretan rumah yang bernuansa rumah adat osing. Rumah tersebut difungsikan untuk tempat bermalam bagi masyarakat yang mengadakan kegiatan di Gria Ekologi Kelir.

Di tempat ini pihak pengelola, menerapkan konsep ramah lingkungan. Sehingga setiap masyarakat yang mengadakan kegiatan, tidak boleh menggunakan tempat makanan dan minuman dari plastik sekali pakai. Hal ini untuk mengurangi sampah plastik di Banyuwangi.

“Kalau berkaitan dengan ekologi kami minimalkan menggunakan sampah palstik, menggunkan palstik sekali pakai untuk mengurangi sampah plastik, sehingga tidak ada botol atau gelas plastik yang kami sediakan. Kadang-kadang tamu mereka dari luar membawa silakan, tapi kami tidak menyediakan gelas plastik, atau botol plastik tapi kami sediakan gelas yang bisa dicuci kembali,”tambah Romo Catur

Menurut Romo Catur, beribadah untuk mencari pahala dari Tuhan, tidak hanya di dalam gereja atau salat di dalam musala saja. Akan tetapi ikut menjaga dan melestarikan lingkungan dengan cara mengurangi pemakaian bahan sekali pakai yang terbuat dari plastik juga bagian dari ibadah. Sehingga lingkungan bisa menjadi lebih sehat.

“Beribadah itu tidak harus kita datang ke gereja atau datang ke masjid bagi umat muslim. Tapi dengan cara lain juga bisa. Salah satunya melestarikan lingkungan seperti ini,” katanya.

Romo Catur menekankan siapa saja bisa menggunakan Gria Ekologi Kelir untuk kegiatan yang positif. Baik dari umat muslim, Hindu, Budha, Kristen, Konghucu, dan Katolik. karena pihaknya ingin terus menjaga toleransi beragama yang telah tercipta.

“Gria Ekologi Kelir ini bebas digunakan untuk siapa saja asalkan itu kegaiatan yang positif, entah itu dari saudara kita yang muslim, Kristen, Hindu maupun Budha silakan. Tapi tetap menjaga kebersihan lingkungan,” ungkapnya.

Langkah Romo Catur membangun musala itu disambut baik dan diapresiasi dari berbagai kalangan. Baik dari kalangan masyarakat umum, organisasi keagamaan, maupun dari forum kerukunan umat beragama (FKUB) Banyuwangi.

Kekaguman Masyarakat Banyuwangi 

Seorang warga Kelurahan Mojopangung Banyuwangi, Nur Safa mengaku takjub dengan adanya musala di Gria Ekologi Kelir milik umat Katolik. “Saya kagum sekali karena ternyata di tempat ini sudah berdiri sebuah musala. Ternyata musala itu yang membangun seorang pastur,” kata dia.

Hal yang sama juga diutarakan oleh warga Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi, Nina Nurdiyana. Kata dia, musala yang berada di Gria Ekologi Kelir tersebut sebagai wujud toleransi beragama di Banyuwangi

“Ini salah satu wujud dari rasa toleransi beragama yang harus dipertahankan di Kabupaten Banyuwangi. Dengan toleransi daerah saya akan lebih aman,” kata Nina

Nina mengatakan, toleransi beragama di Gria Ekologi Kelir ini, bisa terus dipertahankan. Sehingga menjadi contoh kerukunan umat beragama di tengah banyaknya perlakukan intoleran yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Apresiasi FKUB dan Organisasi Keagamaan 

Sementara itu, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Kabupaten Banyuwangi, memandang keberadaaan musala yang dibangun oleh seseoarang pastur ini menunjukan Banyuwangi sangat toleran antar umat beragama.

Ketua Tanfizia PC NU Banyuwangi KH. Ali Makki Zaini mengatakan, siappun yang membangun musala atau masjid asal memenuhi persyaratan yang ditentukan tidak ada permasalahan. Karena dalam rukun syarat membangun musala tidak pernah disebutkan yang membangun harus orang muslim.

rumah osing BanyuwangiDeretan rumah adat osing di Gria Ekologi Kelir Banyuwangi, Jawa Timur, dengan suasana sejuk dan asri. (Foto: Tagar/Hermawan)

Menurut dia, jika dibangun dengan transaksi yang halal itu tidak ada masalah. Bukan berarti itu dibangun oleh non muslim dibongkar dulu lalu dibangun lagi tidak karena memang yang dihitung itu transaksinya. 

"Kalau misalnya ada orang non muslim bangun musala, membangun tempat ibadah untuk kita. Sama saja dengan non muslim yang rata-rata masjid menerima sumbangan seperti itu, saya rasa tidak ada persoalan,”kata KH Ali Maki Zaini.

Kata Gus Maki, panggilan akrab KH Ali Maki Zaini, dari ilmu fiqih tidak ada permasalahan jika pembangunan musala dan masjid dilakukan oleh orang non muslim. Sebab di daerah lain banyak contohnya masjid dibangun oleh orang non muslim. 

"Seperti di Palestina hampir seluruh masjid yang ada di negara tersebut awalnya dibanguna oleh orang Yahudi,” ungkapnya.

Sementara itu Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banyuwangi, KH Muhammad Yamin memandang pembangunan musala di Gria Ekologi Kelir itu hanya sebatas fasilitas tempat usaha. Karena di tempat itu tidak hanya umat Katolik saja yang menggunakan tapi agama lain juga bisa menggunakanya.

“Salat di mana saja bisa asalkan suci, jika di tempat itu ada musala wajar karena itu bagian dari fasilitas usaha. Di hotel dan restoran juga ada musala,” kata Muhammad Yamin.

Dia tidak mempermasalahkan jika nantinya musala yang ada di Gria Ekologi kelir tersebut juga berdampingan dengan tempat ibadah pemeluk agama lainya.

“Tidak masala musala berdampingan dengan tempat ibadah lainya. Di tempat lain juga banyak masjid yang berdampingan dengan gereja dan tempat ibadah lainya,” ujarnya.

FKUB berharap wujud toleransi beragama yang ada di Banyuwangi ini tetap terjaga. Sehingga kerukunan beragama tetap ada. Dan diharapkan hal itu akan selalu terjaga untuk selamanya.[]

Berita terkait
Belajar Toleransi di Ponpes Roudhatus Sholihin Demak
Ponpes Roudhatus Sholihin di Demak mengajarkan arti toleransi sesungguhnya ke para santri dan santriwatinya. Bhinneka Tunggal Ika dipraktikkan.
Ajak Masyarakat Banten Jaga Toleransi Antar Sesama
Gubernur Banten, Wahidin Halim, mengajak masyarakat Banten agar menjaga toleransi untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa
Tolak Gereja di Semarang, Warga: Bukan Intoleransi
Warga Tlogosari Kulon tidak sepakat penolakan pembangunan gereja sebagai bentuk intoleransi. Lantas apa yang disoal?
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.