Cerita Pengayuh Becak di Tangerang Ingin Jadi Ojek Online

Sejumlah pengayuh becak di Tangerang menceritakan suka duka mereka dalam bertahan hidup, termasuk di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Sejumlah becak terparkir rapi tanpa penumpang, di tepi Jalan Mutiara Pluit, Tangerang, Selasa, 24 November 2020. (Foto: Tagar/Danti Aulia Ardianti)

Tangerang – Sejumlah becak berjejer rapi di tepi Jalan Mutiara Pluit, Tangerang, siang itu, Selasa, 24 November 2020. Embusan angin yang semilir membuat suasana siang yang cukup gerah menjadi sedikit lebih sejuk.

Seorang pria paruh baya pengemudi becak tampak terkantuk di atas kursi becak hitamnya. Matanya sesekali terpejam menikmati semilir angin. Rasa lelah bercampur sedikit jenuh menunggu penumpang sejak pagi, membuat wajahnya terlihat lebih lemas.

Tak jarang rambut Manurdin, nama pengemudi becak paruh baya itu, melambai tertiup angin. Tiba-tiba wajah Manurdin terlihat sumringah. Bibirnya menyunggingkan senyum sambil menyapa dan menawarkan jasanya pada orang yang melintas. Namun orang itu melanjutkan langkah kakinya.

Ingin Jadi Pengemudi Ojol

Senyum sumringah yang tadi sempat menghiasi wajah Manurdin kembali lenyap seperti tersapu angin, berganti dengan wajah lesu yang memancar di antara keriput kulitnya.

Pria berusia 56 tahun itu mengaku dirinya sempat ingin beralih profesi dari pengemudi becak menjadi pengemudi ojek daring atau online (ojol). Salah satu penyebabnya adalah pelanggan becak yang semakin hari semakin berkurang.

Namun untuk sementara minatnya menjadi pengemudi ojol harus dikuburnya dalam-dalam, sebab dia tidak memiliki sepeda motor sebagai salah satu syarat menjadi pengemudi ojek.

Cerita Pengayuh Becak Tangerang (3)Manurdin, 56 tahun, pengayuh becak di Tangerang yang ingin beralih profesi menjadi pengemudi ojol tetapi tidak memiliki sepeda motor. (Foto: Tagar/Danti Aulia Ardianti)

“Becak udah kalah saing, jadi sepi banget. Sehari paling yang naik dua orang dan itu cuma dapet Rp 20 ribu. Beda sebelum ada ojek online, bisa dapet Rp 60 ribu sehari.”

Selain persaingan dengan ojol, berkurangnya penumpang juga disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19. Menurutnya, sebagian warga lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi demi menjaga keamanan.

Minimnya penghasilan sebagai pengemudi becak membuat Manurdin terkadang harus rela tidak makan seharian, agar penghasilannya hari itu bisa digunakan untuk membeli makanan bagi anak dan istrinya. Manurdin mulai bekerja pukul 06.00 dan balik ke rumah pukul 18.00 WIB.

Pria yang mulai menjadi pengemudi becak pada tahun 2003 ini sebelumnya merupakan karyawan di salah satu pabrik konveksi di kawasan Kecamatan Pariuk, Tangerang. Dia menjadi karyawan di situ selama 25 tahun.

Saat itu, sekitar tahun 1980-an, lanjut Manurdin mengenang, dalam sehari dirinya bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp 60 ribu. Jumlah itu sudah sangat mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari dan membayar biaya sekolah anak-anaknya.

Bahkan, penghasilannya selama bekerja sebagai karyawan pabrik konveksi mampu menjadikan seorang anaknya menyelesaikan kuliah hingga jenjang sarjana S1. Sementara tujuh anaknya yang lain hanya mampu disekolahkan hingga tamat SMA.

“Dulu mah saya masih kerja di pabrik konveksi, Neng. Jadi masih sanggup nyekolahin anak yang pertama sampai sarjana. Sekarang kan cuma narik becak, buat makan aja kurang,” ucapnya setengah mengeluh.

Salah satu penyemangat hidup Manurdin, yakni sang istri, meninggal delapan tahun lalu. Sejak itu Manurdin harus sendirian menghidupi delapan anaknya. Namun dia tidak menyerah. Semangat dan tanggung jawabnya tetap dilaksanakan meski kadang hasilnya tak sesuai harapan.

Beruntung, saat ini Manurdin tidak lagi memiliki hutang, dan rumah yang ditinggalinya bukanlah rumah kontrakan, sehingga uang yang diperolehnya dari mengayuh becak tinggal digunakan untuk membayar biaya bulanan rutin, seperti listrik dan biaya sekolah anaknya yang terakhir.

Meski hasil mengayuh becak dari penumpang menurun drastis, Manurdin masih kerap menerima orderan dari tetangga-tetangganya, seperti mengantarkan makanan pesanan orang, dll. Sehingga pendapatannya untuk membayar biaya bulanan masih bisa tertutupi tanpa harus berhutang.

“Biasanya untuk memenuhi hidup sehari-hari, ada aja tetangga yang minta tolong jasa saya untuk mengantarkan makanan untuk pesenan orang lain,” ujarnya.

Di tengah pandemi yang dampaknya dirasakan oleh hampir semua kalangan, tidak ada pilihan lain selain tetap berjuang demi mencari sesuap nasi dan terus menghidupi keluarga, termasuk Manurdin.

Untuk mencegah penyebaran Covid-19, Manurdin harus menerapkan protokol kesehatan saat melayani penumpang, termasuk mengenakan masker,menjaga jarak dan mencuci tangan.

Tetapi ada saja penumpang yang membuatnya ia tidak mematuhi protokol kesehatan, misalnya ada dua penumpang tetapi mereka tidak ingin menggunakan jasa dua becak. Meski demikian, Manurdin terus mengingatkan penumpang untuk selalu mematuhi protokol kesehatan.

“Sebelum ada corona biasanya dapat Rp 50 ribu sampai Rp 70 ribu per hari, kini untuk Rp 30 ribu saja terasa sulit” ucapnya mengeluh.

Dia hanya berharap Pemerintah dapat segera menyelesaikan penyebaran virus ini agar seluruh aktivitas dapat kembali normal seperti biasanya. "Yah, saya harap bisa segera berakhir, agar penghasilan juga bisa dapat kembali normal, Neng," dia berharap.

Sehari Makan Sekali

Masih di pangkalan becak yang sama. Seorang pengayuh becak lainnya yang juga tak lagi muda, Sangka, 50 tahun, terlihat bercengkrama dengan seorang rekannya. Masker berwarna hitam tak lagi menutup wajahnya siang itu. Maskernya melorot hingga ke bawah dagu. Matanya sedikit terpicing akibat terik sinar matahari siang itu.

Cerita Pengayuh Becak Tangerang (3)Dua pengayuh becak di Tangerang yang mengaku pendapatannya menurun drastis sejak pandemi Covid-19. (Foto: Tagar/Danti Aulia Ardianti)

Sama seperti Manurdin, Sangka menunggu orang yang berniat menggunakan jasanya sebagai pengayuh becak. Meski usianya lebih muda daripada Manurdin, namun pengalaman Sangka mengayuh becak jauh lebih lama. Dia mulai mengayuh becak sejak tahun 1960-an.

Dampak ekonomi akibat pandemi juga dirasakan langsung oleh Sangka. Bahkan tak jarang dia dan istrinya terpaksa harus makan sekali dalam sehari. Meski demikian dia mengaku bersyukur karena dirinya dan istri masih dikaruniai kesehatan.

Sebelum pandemi, Sangka kehidupan ekonomi Sangka masih terbantu dengan uang kiriman dari anaknya yang merantau. Sang anak mengirimkan uang sekali dalam sebulan. Tapi, sejak pandemi, kiriman uang dari sang anak tidak lagi rutin setiap bulan.

“Yah, kita mah harus banyak bersyukur aja, istri masih sehat alhamdulillah dan becak juga sudah punya sendiri bukan nyewa kayak tahun 80-an, Neng. Itu juga becak punya polisi nyewa sehari 100 rupiah,” ujar sangka mengenang.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Icang, 74 tahun, yang merupakan rekan Sangka dan Manurdin di tempat itu. Icang yang mengaaku sudah menarik becak sejak tahun 1971 ini mengaku sebelum pandemi dirinya bisa mendapatkan penghasilan Rp 50 ribu per hari. Tetapi saat ini penghasilannya menjadi tak pasti.

Beruntung dirinya mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan lain, termasuk bantuan sembako sebelum lebaran lalu. Hal itu menurutnya cukup membantu menghadapi situasi yang serba sulit ini. Sayangnya saat ini bantuan itu tidak lagi didapatkannya.

Icang mengaku pernah mencoba mencari pekerjaan lain secara serabutan, tetapi itu pun tidak bertahan lama, dan dia memilih kembali mengayuh becak.

Dengan pendapatan saat ini, yang berkurang drastis dari sebelum-sebelumnya, dia harus bertahan dan terus bekerja keras dari pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Pendapatan sehari kadang ada dan kadang juga kosong. Apalagi kalau ada kebutuhan mendadak seperti beras tiba-tiba habis dan belum sempat beli karena tidak ada pemasukan sama sekali,” ucapnya setengah mengadu.

“Saya sebenarnya mau cari tempat yang lebih ramai lagi, cuma gak enak sama kawan saya, karena dari awal saya sudah mangkal di sini,“ ujar Icang. []

(Danti Aulia Ardianti)

Berita terkait
Nyali Berbalut Asa Pemanjat Pohon Kelapa di Cilacap
Seorang pemetik kelapa di Cilacap, Jawa Tengah, Sudarno mengisahkan pengalaman memanjat pohon setinggi puluhan meter. Ada asa dan nyali di sana.
Melihat Desa Para Perajin Sangkar Burung di Yogyakarta
Dusun Jaten, Desa Rejosari, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, merupakan sentra pembuatan sangkar burung. Ini bahan pembuatannya.
Filosofi Tanaman Bonsai dan Edukasi dari Seniman Pembuatnya
Bonsai bukan sekadar tanaman yang dikerdilkan. Ada filosofi yang terkandung dalam setiap tanaman mini ini, yang perlu diedukasikan pada pehobi.