Burger Monalisa Yogyakarta dari Krismon ke Pandemi

Hamburger Monalisa Yogyakarta, kokoh dihantam krismon. Kini ikut terdampak saat pandemi Covid-19.
Menaruh bumbu mayonaise di atas roti. (Foto: Tagar/Rahmat Jiwandono)

Yogyakarta – Menjelang sore, 30 April 2020, tiga jam menjelang waktu berbuka puasa, seorang karyawan menata kursi dan meja di sebuah garasi yang menjadi satu dengan sebuah rumah yang terletak di Jalan Sisingamangaraja No.86, Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta. Garasi yang berukuran kurang lebih 4x8 meter dan warna cat temboknya perpaduan kuning dan merah.

Langit-langitnya pun tak luput dicat warna merah dan kuning seperti pola pada papan catur. Di dekat garasi terdapat sebuah ruang tamu yang disulap menjadi dapur untuk mengolah makanan bernama hamburger. Makanan yang berasal dari benua Eropa yakni Hamburg, Jerman.

Karyawan itu mulai menata daging sapi, roti, dan sayuran di dalam sebuah etalase. Dipindahkannya roti menggunakan tangan kanannya dari dalam sebuah kardus ke dalam etalase, lalu menata potongan daging sapi di samping sayuran seperti selada, tomat serta timun.

Warung yang menjual hamburger itu bernama Monalisa. Tagar bertanya kepada karyawan perempuan itu, apakah salah seorang pendiri Monalisa sudah ada di tempat untuk diwawancara.

Perempuan berambut pendek, agak berombak menarik sebuah kursi mempersilakan Tagar untuk duduk sambil menunggu sang pendiri datang. Sekitar 15 menit kemudian datang seorang pria berusia 57 tahun, mengenakan baju berkerah warna hitam dan celana kain berwarna abu-abu. Dia adalah Wibowo Agung Sanyoto, salah seorang pendiri warung Monalisa.

Agung mengatakan warung Monalisa sudah bertahan selama 32 tahun. Monalisa pertama kali dibuka sekitar pada Juni 1988 silam. Ia terpikir untuk memulai berjualan hamburger karena ketika ia kuliah di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta membeli hamburger yang dijual oleh seorang mahasiswa yang dijual di mobil Volkswagen (VW) Combi di sekitaran UGM.

“Dulu pas malam minggu saya penasaran untuk mengicipinya, lalu saya beli dua hamburger. Saya bawa pulang ke rumah untuk diberikan pada ibu saya juga,” kata mahasiswa alumni UPNVY jurusan perminyakan itu pada Kamis, 30 April 2020.

Setibanya di rumah, ia langsung memberikan hamburger itu kepada ibunya untuk dicicipi. Setelah mereka menyantap hamburger itu, ia merasa rasa daging dan mayonasienya agak hambar. Sejak itu, ia mencoba jualan hamburger dengan resep yang dibuat sendiri.

Awalnya Bernama Garfield

Menurut dia, nama usahanya pertama kali bukan Monalisa namun Garfield. Garfield merupakan tokoh kartun kucing pemalas dari negeri Paman Sam atau Amerika Serikat. Garfield sangat terkenal di era itu. “Supaya namanya gampang diingat orang,” katanya.

Tempat ia berjualan hamburger pertama kali di Jalan Kaliurang, dekat dengan Grha Sabha Pramana (GSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dipilihnya lokasi tersebut karena banyak mahasiswa dan pada saat itu belum banyak pedagang kaki lima.

burger2Agung memegang hamburger hasil buatannya. (Foto: Tagar/Rahmat Jiwandono)

“Dulu saya masih ingat sekali yang jualan hanya ada satu orang jualan bakmi. Itu pun jaraknya berapa ratus meter dari tempat jualan kami,” ungkapnya mengingat masa awal usahanya.

Dia berjualan hamburger dibantu beberapa teman kuliahnya lantaran mengisi jeda kuliah selama enam bulan. “Saya malu sama orang tua, sudah lulusnya lama kok menganggur, makanya saya coba jualan burger,” katanya.

Diakuinya, teman-temannya yang membantu ia berjualan mengetahui bumbu rahasia yang dibuat oleh kakak perempuan dengan ibunya. Lalu, temannya memutuskan untuk berjualan hamburger sendiri tidak jauh dari tempat ia berjualan.

“Sejak itulah saya mengganti nama dari Garfield menjadi Monalisa. Kenapa saya namai seperti lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci harapannya bisa menjadi legenda. Ternyata menjadi kenyataan sampai saat ini,” jelasnya.

Sambil memegang kacamatanya, ia menceritakan untuk upaya mendatangkan pelanggan hingga kondisi tempat jualannya. Pada saat itu tempat jualannya belum dialiri listrik, hanya menggunakan spanduk yang dibentangkan.

Monalisa karya Leonardo da Vinci harapannya bisa menjadi legenda. Ternyata menjadi kenyataan sampai saat ini.

Satu porsi Hamburger yang ia jual seharga Rp 400 perak pada 1988. Tidak mudah mendatangkan pelanggan, terlebih orang tidak terlalu mengenal apa itu hamburger.

Lantas ia meminta saran dari salah seorang temannya yang keturunan Tionghoa bagaimana cara untuk mendatangkan pembeli. “Saya diberi saran untuk menggratiskan tiga porsi burger untuk tiga orang waktu merintis usaha,” katanya.

Pemberian burger secara cuma-cuma itu ia lakukan selama satu bulan penuh. Ia mengajak teman-teman kuliahnya untuk meramaikan dagangnnya. Saran yang diberikan terbukti efektif. “Orang-orang yang melihat jadi penasaran kok ramai terus. Mulai dari itu lah banyak mahasiswa yang penasaran akan rasanya,” kata dia.

Upaya lain yang ia lakukan untuk menarik pelanggan ialah memberikan tiga batang rokok untuk setiap pembelian tiga porsi burger. Sebab, pada saat itu banyak mahasiswa yang merokok.

Berbeda dengan Hamburger Lainnya

Rahasia yang membuat Monalisa bertahan sampai saat ini terletak pada roti, daging, dan bumbu mayonnaise yang dibuat sendiri. Resep itu ia pertahankan selama 32 tahun.

Untuk mendapatkan komposisi rasa hamburger yang pas perlu melewati tiga sampai kali percobaan. Pembuatan resep pun harus menyesuaikan waktu luang sang ibu karena banyak kesibukan.

burger3Memanaskan roti hamburger yang diolesi mentega. (Foto: Tagar/Rahmat Jiwandono)

“Kadang untuk membuat mayonnaise setelah percobaan pertama dirasa kurang pas harus menunggu berapa minggu kemudian karena manut (menyesuaikan waktu) sama ibu saya,” ujarnya.

Roti, potongan daging sapi, hingga mayonnaise dibuat sendiri. “Saya, kakak perempuan saya, dan ibu saya yang membuat bumbu itu,” katanya.

Masa keemasan atau golden era usaha kami ada di 10 tahun awal penjualan.

Ia mengetahui sudah mengetahui bahwa komposisi bumbunya pas saat ada mahasiswa yang berkali-kali membeli hamburgernya. “Saat itu saya yakin, oh ini bumbunya pas karena pembeli yang sama datang terus,” imbuhnya.

Ia mengklaim roti hamburger buatannya jika lebih dari tiga hari maka rasa gurihnya akan hilang. Meski rotinya belum berjamur.

Menurutnya, setelah sukses dengan usaha burgernya di Jalan Kaliurang. Satu tahun kemudian ia memberanikan untuk membuka satu cabang lagi dengan memanfaatkan garasi rumahnya yang ada di Jalan Sisingamangaraja No.86.

Ekspansi hamburgernya juga ada di sekitar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Meski begitu, usahanya yang ada di dekat UNY hanya mampu bertahan sekitar lima tahun. “Dari tahun 2010 sampai 2015. Faktor lokasi sangat menentukan laris atau tidaknya sebuah usaha,” tegasnya.

Improvisasi dan Imbas Covid-19

Supaya relevan dengan perkembangan zaman, ia menggunakan sosial media melalui facebook serta instagram untuk mempromosikan usahanya. “Kalau akun instagram yang pegang keponakan perempuan saya,” katanya.

Warung Monalisa yang ada di dekat Prawirotaman pun tampilannya ia ubah agar lebih menarik pembeli dari generasi milenial. “Makanya kami ubah catnya perpaduan merah dan kuning,” katanya.

Agung tidak menampik bahwa pandemi Covid-19 mempengaruhi omzet penjualan hamburgernya. Usahanya telah melewati tiga kali krisis ekonomi. Pertama pada krisis moneter (krismon) 1998, usahanya justru tetap berjaya.

“Masa keemasan atau golden era usaha kami ada di 10 tahun awal penjualan. Walau krismon usaha kami tergolong stabil,” ujarnya.

Lalu pada reses ekonomi global tahun 2008 pun tidak terlalu berpengaruh meski omzet penjualannya tidak sebanyak saat krisis 1998. Pandemi Covid-19, membuat ia harus mengurangi jumlah karyawannya.

“Untuk yang di Jalan Kaliurang biasanya saya pekerjakan delapan orang yang di sini tiga orang. Tapi sekarang hanya lima dan dua orang saja,” katanya. []

Baca Juga:

Berita terkait
Es Degan Pak Ambon, dari Krismon ke Pandemi Covid-19
Es degan Pak Ambon menjadi bukti usaha kecil di Semarang yang mampu melewati tantangan krismon 1998 hingga pandemi Covid-19.
Keluarga Gerobak, Mengais Rezeki di Tengah Pandemi Corona
Keluarga gerobak tidak bisa berbuat banyak untuk menghadapi pandemic Corona yang saat ini sedang terjadi di penjuru dunia.
Sulimah 14 Tahun Menunggu Penabrak Ibu di Yogyakarta
Selama 14 tahun Sulimah berjualan makanan di pinggir jalan di Yogayakarta berharap ditemui orang yang menabrak ibunya hingga meninggal.
0
Lirik Lagu Until I Found You Stephen Sanchez yang Viral di TikTok
Stephen Sanchez melalui kanal YouTube-nya pada pada 1 September 2021, merilis lagu terbarunya yang berjudul Until I Found You.