Untuk Indonesia

Bisakah Pilpres Kita Tanpa Isu SARA?

'Siapkan sabuk pengaman dengan ketat. Kita akan memasuki wilayah isu SARA yang semakin hebat ke depan.' - Denny Siregar
Anggota Panwaslu mengikuti deklarasi tolak politik uang dan SARA di lapangan Ahmad Kirang, Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (18/9/2018). Deklarasi tersebut bertujuan untuk menciptakan Pemilu 2019 yang bebas dari pengaruh politik uang dan penggunaan isu SARA dalam kampanye. (Foto: Antara/Akbar Tado)

Oleh: Denny Siregar*

Ini mungkin pertanyaan yang ada di benak kita semua.

Pengalaman Pilpres tahun 2014, kita melihat begitu banyaknya hoaks bernada SARA bertebaran. Isu-isu agama dimainkan. Tudingan bahwa Jokowi ateis dan Prabowo yang Kristen memenuhi ruang media sosial kita. Itu masih ditambah lagi propaganda yang menyeramkan yang sulit diketahui kebenarannya.

Pilgub DKI tahun 2017, isu SARA mencapai puncaknya. Ayat dan mayat berhamburan. Ras Ahok yang Tionghoa menjadi hujatan. Bahkan salat Jumat diisi dakwah-dakwah kebencian.

Lalu, apakah Pilpres 2019 nanti kita akan bebas dari isu SARA? Sulit. Kita masih akan berkutat di isu yang masih itu-itu saja.

Isu SARA adalah senjata yang paling mudah dalam menggembosi kubu lawan. Itu karena masyarakat kita yang masih belum terbiasa untuk melihat adu program. Banyak masyarakat kita yang hanya mendengar "kata orang" tanpa perlu memverifikasi lagi kebenarannya.

Apalagi jika yang ngomong itu guru agamanya. Ia akan langsung percaya begitu saja, meskipun itu tidak benar. Ditambah lagi dengan penggunaan smartphone yang masif dengan pengguna yang tidak terdidik.

Isu SARA masih akan mendominasi Pilpres 2019 ini melalui masjid, pengajian, majelis yang sekarang bukan dijadikan tempat ibadah, tetapi sudah beralih fungsi dijadikan posko pemenangan.

Politikus kita juga masih banyak yang menghalalkan segala cara supaya menang. Mereka tidak penting dampak dari apa yang mereka lakukan, yang penting bagaimana caranya mereka berkuasa.

Inilah yang dicemaskan Jokowi sehingga ia harus meminta dengan tegas, "Jangan memainkan isu SARA dalam politik kita." Ia patut khawatir, karena belum penetapan Capres saja, negeri ini sudah diributkan dengan model ijtimak ulama. Dan ini baru awalnya saja, tengahnya sudah pasti banyak keributan.

Bangsa kita memang masih mengalami euforia berdemokrasi yang luar biasa. Demokrasi yang seharusnya menjadi ajang pesta, malah menjadi ajang hujatan, fitnah dan saling menjatuhkan.

Saling mengejek itu biasa dalam demokrasi, itulah yang menjadikan politik itu warna-warni. Tetapi di negeri ini, mengejek bisa berdampak persekusi sampai pengaduan ke polisi karena dianggap menghina. Inilah yang merepotkan.

Jadi siapkan sabuk pengaman dengan ketat. Kita akan memasuki wilayah isu SARA yang semakin hebat ke depan. Tetapi saya rasa, isu SARA hanya berlaku untuk tahun 2019 saja karena di sana ada oposisi dan ada petahana. Sedangkan 2024 nanti kita berharap pemilu akan lebih tenang karena para calon sudah mampu bermain dengan imbang.

Dan mungkin saja 2024 nanti, PKS bubar sehingga isu SARA pun memudar. Seruput kopi dulu dengan penuh harapan....

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait