Bebek Emas dan Harta Karun Gunung Brintik Semarang

Alkisah pada zaman Semarang lampau hiduplah seorang perempuan sakti mandraguna. Tubuhnya kecil, berparas cantik dengan rambut brintik.
Makam Mbah Nyai Brintik di Gunung Brintik, dekat kawasan Bergota, di Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Jumat, 4 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Agus Joko Mulyono)

Semarang - Alkisah pada zaman Semarang lampau hiduplah seorang perempuan sakti mandraguna. Tubuhnya kecil, berparas cantik dengan rambut brintik atau keriting terurai sepunggung.

Karena kesaktiannya, ia menguasai hampir seluruh hutan dan perairan di wilayah Semenanjung Pulau Tirang. Wilayah ini sekarang dikenal dengan nama Mugas dan Bergota.

Kelompok begal, perampok dan bajak laut tidak ada yang tidak kenal dengannya. Semua tunduk dan takut. Jangankan bertemu, untuk menyebut namanya saja mereka sudah bergidik.

Nyai Brintik, demikian nama yang disematkan masyarakat karena rambutnya yang keriting, hidup pada masa awal penyebaran Islam. Saat itu Hindu masih jadi agama dominan yang dipeluk masyarakat Jawa.

Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa dan terbesar di sepanjang pesisir utara Jawa, juga belum terlalu mengakar pengaruhnya hingga gugusan kepulauan yang ada di Semenanjung Pulau Tirang.

Nyai Brintik, selain tersohor dengan kemampuan kanuragannya, juga punya keahlian khusus lain. Ia mampu dan kerap mengambil barang tanpa diketahui si pemilik. Kebiasaan ini membuat Nyai Brintik punya citra buruk di mata masyarakat Semarang kala itu.

Pada suatu hari Kerajaan Demak punya hajatan jamasan pusaka. Kabar itu didengar Nyai Brintik. Maka ia pergi ke Demak. Bukan hal yang sulit baginya untuk bisa masuk ke kompleks istana yang dijaga ketat prajurit kerajaan.

Hingga perempuan dengan ciri busana bawahan jarik ini berhasil membawa satu buah pusaka keramat kerajaan. Ia pun kembali ke daerah kekuasaannya di Semenanjung Tirang.

Tak lama pihak Kerajaan Demak menyadari ada satu buah pusaka yang raib dari tempat penyimpanan. Kecurigaan dan hasil penyelidikan telik sandi kerajaan mengarah pada tuduhan Nyai Brintik sebagai pelaku.

Sejumlah prajurit kerajaan dikirim ke kediaman Nyai Brintik. Bukannya mengembalikan pusaka, Nyai Brintik malah menguji kanuragan para prajurit. Dan harus diakui, meski perempuan dan kalah jumlah namun kemampuannya jauh di atas para prajurit.

Prajurit-prajurit kembali ke kerajaan dengan tangan kosong. Sampai kemudian Kerajaan Demak kembali mengirim prajurit dan punggawa pilihannya. Tapi semua kalah dengan mudah. Hingga beberapa kali kekalahan, akhirnya penguasa Demak mengutus Sunan Kalijaga untuk menemui Nyai Brintik.

Kali ini Nyai Brintik kena batunya. Ia kewalahan menghadapi penyebar Islam yang dikenal sakti mandraguna di kalangan Walisongo ini. Nyai Brintik bertekuk-lutut, kalah dan mengembalikan pusaka Kerajaan Demak ke Sunan Kalijaga.

Malah perempuan itu menyatakan diri masuk Islam dan menjadi murid Sunan Kalijaga. Lantas ia hidup mengasingkan diri dan meninggal dunia di kawasan hutan di sebuah bukit yang sekarang dinamai Gunung Brintik, Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Makam Nyai Brintik

Demikian sepenggal kisah Nyai Brintik yang diceritakan Krisyanto, Ketua RT 7 RW 3, Randusari, kepada Tagar, Jumat, 4 Oktober 2019. Jejak meninggalnya Nyai Brintik di Randusari ada di depan rumah Krisyanto, berwujud makam. Brintik kemudian diabadikan warga setempat jadi nama sebuah bukit sebelah pemakaman Bergota, Gunung Brintik.

Menuju makam Mbah Nyai Brintik tidak terlalu sulit. Ada dua akses jalan yang bisa dilalui untuk menuju makam pepunden warga Gunung Brintik tersebut. Bisa lewat jalur makam Bergota atau melalui Kampung Pelangi. Agar tidak bingung dengan banyaknya persimpangan jalan makam maupun jalan kampung, lebih baik tanya arah ke warga setempat.

“Makam itu ditemukan Mbah Sarimin, juru kunci pertama makam atau petilasan Mbah Nyai Brintik,” kata dia.

Mbah Sarimin merupakan warga yang tinggal di Kampung Bergota Krajan, tak jauh dari Gunung Brintik. Kala itu Gunung Brintik dan Bergota belum ada makam seperti sekarang.

Pada suatu siang usai bersih-bersih di hutan puncak Gunung Brintik, Mbah Sarimin kecapekan. Ia tertidur di bawah pohon besar. Dalam tidur, ia bermimpi ditemui sesosok perempuan berperawakan kecil. Perempuan tersebut memintanya merawat sebuah gundukan tanah yang ada di depannya.

Terbangun Mbah Sarimin demi mendapat amanah mimpi yang tidak biasa. Dan benar, begitu tersadar dari mimpinya, Mbah Sarimin mendapati sebuah gundukan tanah lazimnya sebuah makam.

Sebagai orang yang punya kemampuan linuwih, mimpi Mbah Sarimin bukan sekadar bunga tidur. Maka dilaksanakanlah perintah gaib tersebut. Gundukan tanah yang diyakini sebagai peristirahatan terakhir Mbah Nyai Brintik dibersihkan dari rumput liar dan diperlakukan layaknya makam.

“Saya dapat cerita itu dari anaknya Mbak Sarimin bernama Ibu Rabisah. Ibu Rabisah sekarang sudah meninggal. Ia cerita ke saya semasa masih hidup,” ujar Krisyanto.

Tak dinyana, beberapa waktu kemudian datang seorang warga yang bermaksud berziarah ke makam tersebut. Orang tersebut ingin mendapat restu Mbah Nyai Brintik agar usaha dagangannya laris. Dan ternyata benar pengunjung pertama makam mengalami kesuksesan di usahanya.

Cerita berkembang ke tengah masyarakat dan lama-lama makin banyak orang yang datang ke makam dengan tujuan sama. Ada yang minta pelarisan usaha dagangnya, ada pula yang minta nomor buntut atau toto gelap (togel). Jika sukses, keuntungan dagang disumbangkan untuk memperbaiki kondisi makam.

Bentuk makam sekarang sudah bagus, tidak lagi berwujud gundukan tanah. Dipercantik dengan lantai porselen, lengkap dengan sebuah bangunan rumah yang menaunginya. Perbaikan total makam dilakukan oleh Soetrisno Suharto kala masih aktif memimpin Semarang sebagai Wali Kota.

“Dulu setiap malam Jumat Kliwon beliau ke sini, ziarah. Dan saya selalu nemuin. Berhenti di Krajan sana, mobilnya parkir di situ kemudian jalan bareng-bareng ke makam,” ujarnya.

Orang terjun semua ke lubang itu untuk berebut emas.

Nyai BrintikWarga menunjukkan makam yang pada tahun 2000 menjadi lokasi temuan harta karun dan pusaka, Jumat, 4 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Agus Joko Mulyono)

Bebek Emas

Dikisahkan juga, semasa hidup menyepi di puncak Bukit Brintik, Mbah Nyai Brintik hidup dengan segala keterbatasan yang ada. Ia memelihara bebek untuk menopang kebutuhan hidup.

Sebagai orang yang punya kesaktian tinggi, bebek ingon (peliharaan)-nya bukan sembarang bebek. Bebek Mbah Nyai Brintik berbulu emas dan dipercaya sebagai ingon yang akan menyejahterakan warga Gunung Brintik.

Kala hujan deras, bebek tersebut diyakini memberi rezeki ke warga. Emas dari bulu bebek rontok kena hujan dan terbawa aliran air di saluran kampung.

Sebelumnya, jalanan kampung di sekitar makam Nyai Brintik belum berwujud paving, masih berupa jalan tanah. Bisa dipastikan warga akan keluar rumah ketika hujan turun. Mereka berburu serpihan emas di jalanan tanah maupun selokan. Banyak warga yang mendapat serpihan, butiran emas atau lempeng kecil emas.

“Emas itu diyakini dari bebeknya Mbak Nyai Brintik yang bulu emasnya berguguran kena hujan. Bebeknya mengibaskan bulu sehingga ada butiran atau serpihan dari bulu emasnya yang gogrok (rontok),” kata Krisyanto.

Dan keyakinan cerita bebek emas makin mengakar ketika seorang warga setempat yang mendapat hadiah usai bertirakat di makam Mbah Nyai Brintik. Warga tersebut diberi sebuah joran, alat pancing dari bambu. Bentuknya biasa saja layaknya joran pancing pada umumnya. Namun joran itu punya keistemewaan, bisa digunakan untuk memancing emas dari bulu bebek emas yang rontok.

Harta Karun

Terlepas dari kebenaran cerita bebek emas, Krisyanto lebih percaya emas-emas temuan warga bukan berasal dari ingon Mbah Nyai Brintik. Ia meyakini benda mulia itu berasal dari harta karun yang terpendam di kawasan puncak Gunung Brintik sekitar makam.

Pada tahun 2000, warga RT 7 Gunung Brintik dihebohkan temuan ragam bentuk perhiasan emas. Berawal dari dua buruh kubur menggali tanah untuk order pemakaman. Lokasi tanah yang digali berada di dekat gapura masuk RT 7. Berjarak sekitar 60 meter dari makam Nyai Brintik arah selatan.

Belum dalam menggali tanah, dua buruh menemukan sejumlah pusaka seperti cemeti, mata tombak dan keris. Karena takut, barang-barang tersebut kembali dikubur dan keduanya beralih membuat lubang makam di sebelah lokasi pertama.

Tak disangka, temuan lebih mengejutkan dijumpai di lubang kedua. Teronggok di antara pendaman tanah, sebuah wadah mirip guci berisi perhiasan-perhiasan emas zaman dulu. Temuan itu membuat heboh dan berbondong-bondong warga berebut mengambil emas itu.

“Orang terjun semua ke lubang itu untuk berebut emas. Emasnya berbentuk perhiasan seperti kalung, cincin, giwang tapi model zaman dulu,” tutur dia.

Nanik, seorang warga RT 7 RW 3 Gunung Brintik mengaku mendapat sebagian kecil dari harta karun tersebut. “Saya dapat kecil-kecil kayak butiran, untaian kalung. Saat itu saya jual dapat Rp 950 ribu, itu asli emas tua,” yakinnya.

Ragam versi menyeruak di tengah masyarakat tentang asal-muasal perhiasan dan pusaka. Ada yang menyebut benda-benda berharga itu milik warga kaya zaman penjajahan Jepang. Karena takut jadi barang rampasan, ia menyembunyikan di Gunung Brintik.

Ada pula yang merangkai asal perhiasan sebagai barang rampasan milik tentara Jepang. Disembunyikan di Gunung Brintik dan belum diambil lagi setelah mereka kalah dengan tentara sekutu.

Versi lain, perhiasan dan pusaka itu milik atau setidaknya berasal dari kapal Dampo Awang. Menurut legenda, kapal Dampo Awang pecah setelah berseteru dengan Sunan Bonang. Barang perhiasan yang dibawa saudagar kaya tersebut tercerai-berai dan terombang-ambing arus laut. Sampai ke pesisir Semarang, yang salah satu pinggir lautnya di zaman itu adalah Gunung Brintik.

“Dulu kan Gunung Brintik sini pinggir laut, jadi semacam kayak dermaga. Tugu muda itu dulu masih laut,” tutur Krisyanto.

Terlepas versi mana yang benar tentang cerita asal harta karun, hingga saat ini belum ada penelitian yang bisa membuktikan secara ilmiah. Perhiasan yang dibawa warga terlanjur dijual, sebagian lain diamankan pihak keamanan setempat dan tidak jelas keberadaannya.

“Saya kira emas-emas yang terbawa arus air saat hujan itu berasal dari harta karun itu. Tanahnya terkikis dan emas yang terpendam terbawa turun air,” kata pria yang sudah 19 tahun jadi Ketua RT 7 itu.

Tradisi Hajatan

Juru kunci makam Nyai Brintik, Ari Kumalasari 41 tahun, membenarkan ada legenda bebek emas peliharaan Mbah Nyai Brintik. “Banyak warga yang dapat emas saat hujan, congkel-congkel tanah ada yang dapat seperti alat pembersih telinga tapi terbuat dari emas. Kalau ada suara halilintar pasti ada yang dapat emas,” kata dia.

Juru kunci generasi ketiga ini juga mengungkapkan ada kebiasaan turun-temurun yang sampai sekarang masih dilakukan warga. Yakni berziarah, berdoa di samping makam Mbah Nyai Brintik untuk minta restu ketika hendak menggelar hajatan. Apa pun itu bentuk hajatan, semisal pernikahan, sunatan atau slametan kegiatan kesenian, bisa dipastikan warga melakukan ritual tersebut.

“Yang punya hajat datang ke sini berdoa, minta restu sambil membawa ketan salak, pisang raja setangkep. Ketan salak itu ketan yang warnanya dibuat seperti buah salak,” jelas dia.

Apakah ada konsekuensi tertentu jika warga tidak melakukan ritual tersebut sebelum menggelar hajatan? Ibu dua anak ini menggelengkan kepala. “Kalau itu sih tinggal keyakinan masing-masing. Tapi memang belum pernah ada warga yang tidak melakukan tradisi itu, jadi ya tidak tahu dampaknya jika tidak melakukan,” tuturnya.

Perempuan yang sehari-hari bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di Semarang ini menambahkan makam Mbah Nyai Brintik juga menjadi rujukan gaib bagi kelompok seni jatilan Gunung Brintik. Bahkan paguyuban seni budaya dari Bali saban tahun dipastikan berziarah ke makam.

“Kalau grup kesenian jatilan di sini istilahnya minta restu dulu ke Mbah Nyai sebelum menggelar kegiatan. Biar penunggu di sini tidak ada yang mengganggu. Karena Mbah Nyai dikenal sebagai sosok yang melindungi dan mengayomi warga,” kata dia.

Sementara bagi mereka yang punya keinginan pelarisan maka ubo rampe yang dibawa juga beda. Sesuai petunjuk warisan dari sang kakek, Mbah Sarimin, peziarah diminta bawa kembang telon dan kinang mbako ampek (kinang dan tembakau berbau apek).

“Saya tidak tahu apakah sesaji itu kesukaan Mbah Nyai atau tidak. Karena saya tinggal melaksanakan amanah dari kakek lewat ibu saya,” tutur perempuan yang sudah tiga tahun jadi juru kunci makam Mbah Nyai Brintik ini. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Legenda Hutan Terlarang Cilacap yang Dihindari Pejabat
Hutan terlarang di Bukit Awi Ngambang Cilacap menjadi daerah terlarang bagi pejabat pemerintahan karena pernah ada kisah kelam dari Kerajaan Galuh.
Batu Balian dan Legenda Dayak di Kalimantan Selatan
Batu Balian di Desa Paau, Kalimantan Selatan, menjadi legenda penduduk sekitar menyoal pertempuran adu kuat ilmu antar suku Dayak.
Rumah Angker Bekas Tempat Bunuh Diri di Sleman
Rumah kosong yang angker di Sleman Yogyakarta itu dulu tempat indekos, ada orang kos bunuh diri. Sering terdengar suara wanita menangis di situ.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.