Bank Skala Kecil Butuh Obat Kuat

Kinerja berat perbankan sepanjang 2019 dinilai relevan dengan perlambatan ekonomi yang berimbas pada penurunan kinerja, khususnya bank kecil.
Bank Indonesia. (Fot: indonesia.go.id)

Jakarta - Kinerja berat perbankan nasional sepanjang 2019 dinilai relevan dengan perlambatan ekonomi yang berimbas pada penurunan kinerja korporasi. Begitu pula dengan kemampuan bank kecil yang masuk dalam kategori bank umum kegiatan usaha (BUKU) I dan II.

Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dilansir oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), fungsi intermediasi bank BUKU I per Oktober 2019 tercatat sebesar Rp 38,61 triliun. Angka tersebut anjlok dibandingkan dengan realisasi kredit pada Januari 2019 yang sebesar Rp 46,55 triliun.

Kontras dengan bank berpredikat entry level, lembaga perbankan kategori BUKU II pada Oktober 2019 tercatat berhasil menyalurkan kredit Rp 567,14 triliun. Capaian ini terus tumbuh dari posisi sebelumnya pada Januari 2019 dengan Rp 518,56 triliun.

Seperti diketahui, keberadaan jenis-jenis bank diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. Aturan tersebut kemudian diperbarui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan keluarnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.

Dalam aturan itu, bank BUKU dibagi dalam empat empat kategori. Bank BUKU 1 yakni jenis bank dengan modal inti < Rp 1 triliun. Bank BUKU 2 yakni bank dengan modal inti Rp 1 triliun – Rp 5 triliun. Bank BUKU 3 yakni bank dengan modal inti Rp 5 triliun – Rp 30 triliun, dan bank BUKU 4 yakni bank dengan modal inti Rp 30 triliun.

Dari sisi rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bank BUKU I memiliki skala yang lebih baik dengan berada pada level 3,4 persen, atau lebih rendah dibandingkan dengan NPL bank BUKU II sebesar 3,7 persen. Kedua rasio tersebut berada dibawah ketentuan threshold NPL perbankan yang dipatok 6 persen.

Sentimen sektoral yang kurang menguntungkan industri perbankan nasional

Menanggapi hal tersebut, pengamat ekonomi Siswa Rizali menilai terdapat sejumlah indikator yang bisa menjelasakan mengapa kinerja industri perbankan nasional cukup tertekan pada sepanjang tahun lalu. "Wajar karena ekonomi stagnan dalam beberapa tahun ini dengan kisaran pertumbuhan 5 persen. Sentimen sektoral juga kurang menguntungkan," ujarnya kepada Tagar di Jakarta pekan lalu 10 Januari 2020.

Lebih lanjut, Rizal juga melihat lesunya sektor properti dan ritel di Tanah Air turut pula memberikan tensi terhadap kemampuan ekspansi sejumlah bank. Belum lagi dengan momentum tahun politik yang membuat sejumlah pelaku usaha memilih untuk bersikap wait and see. "Saya melihat kondisi lesu ini telah terjadi sejak 2013, berbarengan dengan usainya bom komoditas yang membuat kebutuhan dana sektor korporasi agak tertahan," katanya.

Tekanan terhadap kinerja keuangan bank kecil tercermin dari kemampuan tentitas dalam menghasilkan laba bersih. Pada Oktober 2019, bank BUKU I membukukan total laba bersih senilai Rp 428 miliar, atau anjlok sekitar 43,6 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya dengan Rp 759 miliar. Sementara itu perolehan cuan atau keuntungan pelaku industri BUKU II tumbuh 3,06 persen menjadi Rp 8 triliun dari posisi sebelumnya pada Oktober 2018 yang sebesar Rp 7,76 triliun.

OJKOtotritas Jasa Keuangan (OJK). (Foto: Antara/Aditya Pradana Putra)

Kasus Asuransi Jiwasraya membuat bank-bank kecil cukup berat dalam berbisnis

Pada kesempatan yang sama, pria yang juga pernah tercatat sebagai Direktur Investasi PT AAA Asset Management itu mengingatkan kepada para pemain industri perbankan untuk menyiapkan langkah strategis guna menangkal isu sektor keuangan sebagai imbas dari kinerja buruk industri asuransi.

"Banyak hal yang membuat bank-bank kecil ini cukup berat dalam berbisnis, apalagi dengan kasus (asuransi) baru-baru ini yg meningkatkan kekhawatiran investor. Saya melihatnya dampak langsung yang akan muncul adalah perilaku deposan untuk mencari instrumen yang lebih aman, sehingga nasabah akan cenderung milih bank besar atau menengah dan menghindari bank-bank kecil," jelasnya.

Hal tersebut tercermin dengan jelas melalui kemampuan bank BUKU I dalam menghimpun dana pihak ketiga (DPK) dari masyarakat. Per Oktober 2019, DPK BUKU I sebesar Rp 49,9 triliun, turun 9 persen dibandingkan dengan posisi pada Januari tahun yang sama sebesar Rp 54,9 triliun.

Untuk itu, Rizal kemudian memberikan beberapa rekomendasi yang bisa diterapkan oleh pelaku jasa industri perbankan. Pertama, bank kecil harus fokus menyalurkan kredit pada segmen tradisional mereka. Artinya, pemain sektor ini wajib memusatkan perhatian pada pasar unik yang paling dikuasa, seperti nasabah eksisting pada regional maupun industri yang telah digarap sebelumnya.

Kemudian guna memaksimalkan fungsi intermediasi dalam skala besar, bank BUKU I dan II disarankan untuk memilih pendekatan joint sindikasi dengan bank-bank yang lebih besar dan establish pada sektor kredit korporasi. "Untuk nasabah, ya memang strateginya selalu bagaimana mempertahankan nasabah yang ada, kemudian menambahnya dari teman-teman nasabah eksisting. Hal berbeda akan ditemuai dari bank besar atau menengah yang mencari nasabah cukup melalui promo di media," sambung Rizal.

Kedua, adalah ajuran Rizal terkait kapabilitas bank dalam menjaga rasio kredit. Hal paling utama yang dianggap krusial adalah memperkuat sisi mitigasi risiko. Identifikasi ini sangat penting sebab bank kecil dan menengah biasanya paling rentan terhadap gejolak ekonomi yang timbul. Pasalnya, mayoritas nasabah BUKU I dan II biasanya merupakan kalangan pengusaha dengan skala ekonomi yang tidak terlalu besar.

Ilustrasi UangIlustrasi Uang. (Foto: Ilustrasi)

"Dengan skala kecil, lagi-lagi sulit bagi bank tersebut melakukan diversifikasi secara sektoral atau regional. Akhirnya, untuk mencegah NPL memang harus dengan cara memperketat seleksi calon debitur, harus benar-benar dikenal dengan baik," tegas dia.

Akan tetapi Rizal optimistis perjalan bisnis industri perbankan pada sepanjang tahun ini akan jauh lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya. Nada positif tersebut dapat dilihat dari berbagai pelonggaran kebijakan dari Bank Indonesia yang telah banyak digulirkan pada sepanjang 2019, seperti penurunan suku bunga, dan sentimen global yg membaik terhadap Indonesia. Ini bisa dirujuk dari posisi rupiah yang terus menguat dan besaran yield Surat Utang Negara atau SUN yang terpantau turun.

Bank BUKU I IPO

Sementara itu, salah satu pemain BUKU I yang cukup yakin dalam menyongsong rencana bisnis bank (RBB) 2020 adalah PT Bank Amar Indonesia Tbk. Lembaga jasa keuangan yang mulai beroperasi sejak 1991 tersebut berencana naik kelas ke BUKU II setelah sukses melakukan initial public offering atau penawaran umum perdana (IPO) pada awal tahun ini. Total dana segar yang berhasil dihimpun oleh entitas dengan kode saham AMAR itu mencapai Rp 209 miliar.

Direktur Bank Amar Vishal Tulsian mengatakan target naik kelas tersebut semakin dekat berkat penawaran saham perdana perseroan yang over subscribe mencapai 200 persen. "Perseroan melepas sebanyak 1,2 miliar lembar saham dengan harga penawaran perdana sebesar Rp 174," ujarnya di Jakarta.

Adapun, anggaran yang terkumpul tersebut rencananya digunakan untuk menyokong permodalan perusahaan. Selain itu, Bank Amar juga bermaksud mengoptimalkan dana IPO untuk pengembangan sektor teknologi informasi agar bisa menjalankan fungsi intermediasi secara digital."Kami optimistis dalam menyongsong bisnis tahun ini dengan struktur permodalan yang semakin kuat," sambung Vishal.

Untuk diketahui, hingga kuartal III/2019 Bank Amar sukses menyalurkan kredit sebesar Rp 1,71 triliun. Capaian tersebut diketahui tumbuh sekitar 28% dari posisi kredit pada penutupan 2018 lalu. Dari sisi rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), kualitas penyaluran pembiayaan Bank Amar terjaga pada level 3,2 persen. Capaian tersebut lebih baik dibandingkan dengan ketetapan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan standar sekitar 4 persen.[]

Baca Juga:

Berita terkait
OJK Mudahkan Bisnis Perbankan, Sayangnya Angkat Tangan Saat Ditagih Konsumen
Kehadiran Fintech semakin menjamur seiring dengan perkembangan teknologi dan gaya modern masyarakat Indonesia.
OJK Keluarkan Kebijakan Khusus Perbankan di Kabupaten Karangasem Bali
Kebijakan khusus bidang perbankan terkait dampak letusan Gunung Agung Bali dengan menetapkan Kabupaten Karangasem Bali sebagai daerah perlakukan khusus terhadap kredit bank.
Hello BI,... Perbankan Masih ‘Lemot’ Turunkan Suku Bunga Kredit
Menyusul kebijakan BI yang sudah menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,25 persen, perbankan mengaku masih butuh waktu untuk turunkan tingkat suku bunga kredit.
0
Parlemen Eropa Kabulkan Status Kandidat Anggota UE kepada Ukraina
Dalam pemungutan suara Parlemen Eropa memberikan suara yang melimpah untuk mengabulkan status kandidat anggota Uni Eropa kepada Ukraina