Jakarta - Anggota DPR-RI dari fraksi Golongan Karya Mukhamad Misbakhun mengkritisi keputusan pemerintah yang berencana menempatkan dana pada bank mitra guna mengatasi pemburukan kredit akibat dampak pandemi Covid-19.
Menurutnya, penempatan dana tersebut tidak diiringi oleh kebijakan yang memberi ruang bagi bank penerima untuk menempatkan dana tersebut.
“Aturannya tidak boleh dipakai beli SBN [surat berharga negara] maupun transaksi valas. Padahal, dana tersebut bisa menjadi likuiditas bank untuk dimanfaatkan agar tidak mengendap,” ujarnya dalam rapat Komisi XI DPR-RI dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Indonesia (BI) Senin, 29 Juni 2020.
Dalam paparannya, Misbakhun bahkan menyebut skema penempatan dana tersebut berpotensi memberikan risiko bagi bank swasta lain. Untuk diketahui, pemerintah berencana melakukan penempatan dana Rp 30 triliun pada bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Negara atau Himbara.
Himbara sendiri terdiri dari PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Negara Indonesia (BNI), PT Bank Mandiri, dan PT Bank Tabungan Negara (BTN).
Lebih lanjut, legislator yang juga tercatat pernah menjadi PNS Kementerian Keuangan itu menganggap pemerintah cenderung ‘menganakemaskan’ bank plat merah dalam menjaga risiko pemburukan kredit akibat pandemi.
"Jadi kesannya pemerintah hanya ingin menyelamatkan bank sendiri, ini bisa memicu sentimen perpindahan dana secara masif ke bank Himbara,” tutur dia.
Situs berita online ini mencatat, pada pertengahan Mei 2020 Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pernah berujar bahwa pihaknya bakal menggelontorkan Rp 34,15 triliun kepada bank Himbara guna menangkal pemburukan kredit, khususnya di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Bank penerima dana, atau biasa juga disebut bank jangkar, diharapkan dapat mendistribusikan bantuan subsidi bunga agar mekanisme insentif dapat berjalan secara optimal.
Kebijakan subsidi bunga ini merupakan bantuan keringanan kepada ultra mikro dan UMKM dengan kriteria, yaitu memiliki plafon pinjaman paling tinggi Rp10 miliar, tidak masuk Daftar Hitam Nasional pinjaman.
Lalu, kualitas kredit sebelum Covid-19 (29 Februari 2020) kolektibilitas 1 dan kolektibilitas 2, memiliki NPWP atau mendaftar NPWP, serta melakukan restrukturisasi, khususnya untuk debitur dengan pinjaman di atas Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar.
Subsidi diberikan selama 6 bulan, dengan tarif 6 persen untuk 3 bulan pertama dan 3 persen untuk bulan kedua. Sementara untuk debitur dengan pinjaman kredit Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar diberikan subsidi bunga 3 persen untuk 3 bulan pertama dan 2 persen untuk 3 bulan kedua.
Sedangkan bagi debitur yang termasuk dalam program kredit pemerintah diberikan subsidi bunga 6 persen untuk 6 bulan.
Baca juga:
- Facebook Kehilangan US$ 7,2 M Gegara Nazi, Kok Bisa?
- Kasus Jiwasraya, Kejaksaan Agung Bidik Bakrie Group
- Siasat Pemerintah Dongkrak Produksi Garam Nasional