Untuk Indonesia

Bahaya Krisis Kepercayaan Rakyat Terhadap Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Akibatnya

Konteks negara hukum, seyogianya Mahkamah Agung Republik Indonesia menjadi serana tervital untuk menyebarkan the sense of justice of the peoples.
Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan. (Foto: Dok Pribadi)

Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Dalam konteks Negara hukum, seyogianya Mahkamah Agung Republik Indonesia menjadi serana tervital untuk menyebarkan “the sense of justice of the peoples” sesuai dengan perintah yang terkandung dalam Pasal 27 (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. 

Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. 

Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga Negara

Dengan fungsi dan kewenangan yang begitu mulia dan strategis wajar jika banyak pihak yang mengharapkan MK-RI menjadi lembaga terdepan untuk menjunjung tinggi akuntabilitas, transparansi dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang benar. 

Sejauh ini, sebenarnya hal tersebut sudah dapat dilihat dalam kinerja MK-RI hingga saat ini meskipun tercoreng dengan salah satu persoalan “menyangkut masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berkaca pada kasus tersebut, maka kita jadi berpikir bahwa tidak ada lembaga yang (seharusnya) dapat dipercayai begitu saja tanpa ada aspek dan prosedur untuk mengawasi lembaga tersebut, bahkan MK-RI sekalipun. 

Hal ini menjadi bukti bahwa betapa tingkat sikap akuntabilitas dan tranparansi pejabat publik di Indonesia memang masih rendah. 

Kewenangan MK-RI yang besar dan amat signifikan menjadi sasaran empuk bagi penyalahgunaan kewenangan itu sendiri “Lord Acton:” pernah berpendapat bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan itu cenderung korup).

Hal ini pula yang terjadi pada MK-RI, tanpa pengawasan yang relevan dan sebanding dengan kewenangan yang dimilikinya, MK-RI dapat berubah secara sekejap menjadi lembaga yang tidak akuntabel dan transparan. 

Tidak ada lembaga yang akuntabel dan kredibel tanpa pengawasan terhadapnya. Tidak dapat hanya mengandalkan citra dari pejabat publiknya saja sebab citra itu pun belum tentu dapat dipercaya tanpa pengawasan terhadapnya. 

Problematika yang terjadi terhadap MK-RI tidak terlepas dari ketidak-sempurnaan kelembagaan yang ada di MK-RI sendiri. Salah satunya adalah aspek pengawasan terhadap MK-RI. 

Pengawasan tersebut setidaknya terhadap 3 (tiga) hal, yaitu:

1) pejabat publiknya yaitu Hakim MK-RI, perangkat peradilan, dan birokrasinya ;

2) Akuntabilitas dan kualitas dari putusan-putusan yang dikeluarkan, sebab putusan MK-RI bersifat final dan mengikat ;

3) Problematika penafsiran yang dilakukan MK-RI terhadap makna dari pasal-pasal dalam UUD 1945

Ketiga hal di atas, jika tidak diawasi dengan serius maka dapat menjadi “senjata makan tuan” yang pada akhirnya hanya semakin memperburuk sistem penegakan hukum di Indonesia. Apalagi MK-RI sampai saat ini bukanlah lembaga Negara yang punya pengawas di sampingnya.


Dalam konteks Negara hukum, seyogianya Mahkamah Agung Republik Indonesia menjadi serana tervital untuk menyebarkan 'the sense of justice of the peoples'.


Untuk menjaga kepercayaan rakyat terhadap lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi (MK-RI), maka perlu :

1) Untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi harus menjalankan tugasnya dengan berpegang pada standar etika melakukan pengawasan internal secara efektif dan tata kelola peradilan yang baik. 

Berdasarkan kekuasaan dan kewenangannya, MK-RI pada hakikatnya berfungsi sebagai pengawal konstitusi, demokrasi, dan hak konstitusional. 

Setiap kali ada undang-undang yang menindas dan mencabut hak konstitusional, atas permintaan rakyat, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat memainkan perannya untuk melindungi, memajukan, dan merehabilitasi hak konstitusional warga Negara dari penindasan tersebut ;

2) MK-RI harus membangun dan memelihara kepercayaan publik melalui tanggung jawab intinya dalam menyelesaikan sengketa konstitusi. 

Dengan berpedoman pada prinsip keadilan prosedural, mahkamah konstitusi harus meningkatkan kepercayaan publik dengan memperlakukan setiap pihak, termasuk pemohon, lembaga negara, ahli, saksi, dan pihak lain secara bermartabat dan terhormat.”

3) Sebagai hakim konstitusi, syarat sebagai negarawan juga merupakan yang utama untuk memperoleh kepercayaan publik. Kemudian, bagaimana hakim konstitusi mengambil keputusan.

Akibat rakyat krisis kepercayaan terhadap MK-RI, berdampak :

1) Penurunan kepercayaan publik terhadap institusi MK-RI dapat membahayakan Negara itu sendiri ;

2) Taruhannya bukan hanya citra negara di panggung pergaulan antar-bangsa, melainkan juga kadar kepercayaan rakyat terhadap MK-RI sebagai penyelenggara Negara. 

Jika rakyat sampai pada kesimpulan bila MK-RI lemah akan kemampuan dengan tabrakan dengan doktrin-doktrin hukum, keadaan bisa saja menjadi semakin tak terkendali. 

Demikian mengindikasikan ada yang pasif dengan sistem hukum Kenegaraan kita, khususnya perihal penegakan hukum. 

Akibat supremasi hukum yang lemah, Penyelenggara MK-RI cenderung bermain melahirkan multitafsir.

Dalam hal ini juga tampak sekali pergeseran nilai ilmu hukum tengah terjadi di MK-RI, sehingga tindakan main multitafsir dengan menabrak doktrin hukum menjadi hal yang “terasa” legal dan halal untuk dilakukan.

Simpulan dan saran untuk masa depan MK-RI :

1. Dari pembahasan yang sudah di bahas diatas, dapat kita simpulkan bahwa saat ini krisis kepercayaan masyarakat meningkat terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia yang dikarenakan penegak hukum MK-RI yang menyalahgunakan jabatannya dengan melakukan tindak kecerobohan dalam manabrak doktrin-doktrin hukum yang merugikan masyarakat. 

Dalam rangka untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap MK-RI, terdapat saran yaitu pengawasan terhadap penyelenggara MK-RI itulah upaya yang harus dilakukan MK-RI yang mana tertera dalam bahasan sebelumnya, tak hanya itu untuk mencegah terjadinya penabrakan doktrin hukum yang dilakukan MK-RI pun dapat dicegah dalam hal kecil terlebih dahulu yaitu dengan menerapkan 9 (sembilan) hakim konsitusi. 

Yang mana dari adanya penerapan dan kesadaran nilai-nilai pengawasan terhadap MK-RI tersebut diharapkan generasi bangsa khususnya untuk para MK-RI nantinya dapat mengurangi dan mencegah tindakan-tindakan dari kasus-kasus menabrak doktrin-doktrin hukum dikemudian hari.

2. Untuk mencapai hasil yang ideal, maka dalam melakukan pengawasan tidak dapat hanya mengandalkan pada orang, tetapi harus dibentuk suatu system pengawasan yang jelas dan tegas dan sistem pengawasannya tetap harus dalam koridor konsep yang menjaga independency of judiciary (kekuasaan kehakiman yang merdeka / mandiri). 

Ada sejumlah reasoning / alasan yang mendasari pentingnya penegasan gagasan untuk menerapkan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman (c.q baik hakim MA maupun hakim MK), yaitu:

1) Ada realitas sosial berupa situasi hukum dan penegakan hukum yang telah melahirkan ketidak percayaan masyarakat secara luas (social distrust) terhadap kinerja penegakan hukum terutama oleh hakim melalui putusan-putusannya yang “janggal” atau bernuansa ketidak adilan ;

2) Khusus pentingnya pengawasan terhadap hakim MK, adalah dilatar belakangi oleh dimilikinya kekuasaan kehakiman oleh mereka secara absolute konstitusional (dalam arti putusannya bersifat pertama dan terakhir). Padahal setiap manusia (termasuk hakim MK) mempunyai peluang salah, tidak adil, tidak fair, tidak obyektif dan tidak professional :

3) Untuk meletakkan kehormatan dan martabat hakim MK sebagai penjaga konstitusi.

Penulis, berharap dalam dewasa ini MK-RI dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia dan menjalankan tugasnya lebih banyaklah bertanya pada hati nurani, dan menjadi “filter” untuk menepis berbagai kinerja buruk yang masih berlangsung di instansi penegak hukum, harapan-harapan yang demikian telah membersitkan cahaya pengharapan. 

Semoga saja semakin hari tidak semakin redup, tetapi semakin hari semakin cemerlang. Seorang filosof Taverno menyatakan : “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan Undang-Undang yang paling buruk pun, saya akan menghasilkan putusan yang adil”. []

Berita terkait
Opini: Konsep Dasar Moralitas Kekuasaan Perspektif Penegak Hukum
Sudah waktunya para pemegang kekuasaan penegak hukum juga memperhatikan dan berpikir lurus, tegak, logika, dan jiwa rohani yang kuat.
Opini: Hukum Sebagai Perwujudan dari Nilai-Nilai Tertentu, Perspektif Politik Hukum
Pemerintah dalam praktik ketatanegaraan belum dapat meletakkan hukum pada posisi yang semestinya. Lebih sering diintervensi kekuasaan politik.
Opini: Hukum Tidak Berarti Banyak Kalau Tidak Dijiwai Moralitas
Pembuat Undang-Undang dan Penegak Hukum di Indonesia Kunci Mendasar Pada Postulat Etika dalam Kodrat Hakikat dalam Moralitas Diri - Tulisan Opini
0
Bahaya Krisis Kepercayaan Rakyat Terhadap Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Akibatnya
Konteks negara hukum, seyogianya Mahkamah Agung Republik Indonesia menjadi serana tervital untuk menyebarkan the sense of justice of the peoples.