TAGAR.id, Jakarta - Kemerdekaan ke-75 India dirayakan di tengah kekhawatiran terhadap bangkitnya supremasi Hindu dan redupnya sekularisme Mahatma Gandhi. Bagi kelompok minoritas, gagasan Hindutva adalah ancaman terbesar bagi tenun sosial.
Pendeta Hindu di tepi Sungai Ganga itu bertutur halus, meski dengan maksud mengancam. Menurut Hindutva, 75 tahun setelah kemerdekaan, keyakinan mayoritas sudah selayaknya dideklarasikan sebagai jantung indentitas India.
"Kita harus berubah seiring waktu,” kata Jairam Mishra. "Sekarang, kita harus memotong setiap tangan yang mengepal melawan Hinduisme.”
Geliat Nasionalisme Hindu di India perlahan meredupkan gagasan sekular dan multikultural Mahatma Gandhi yang mendasari politik India sejak kemerdekaan dari Inggris. Kini, 75 tahun kemudian, desakan publik kian menguat untuk akhirnya membumikan supremasi Hindu di dalam konstitusi.
Tuntutan tersebut merupakan akar kebijakan Partai Bharatiya Jannata dan Perdana Menteri Narendra Modi. Pemerintahannya secara aktif mempromosikan kebijakan pro-Hindu, atau membantu pembangunan rumah ibadah bernilai simbolik tinggi.
Gandhi adalah penganut Hindu, tapi meyakini India harus menjadi tempat "di mana setiap orang bisa menikmati kesetaraan status, apapun agamanya.” Untuk mewujudkannya, "negara mau tidak mau harus bersifat sekuler,” kata dia.
Gagasan tersebut kini sudah usang, kata Mishra, pendeta Hindu di tepi Sungai Ganga. "Hindus biasanya cinta damai. Tapi komunitas lain menyalahgunakan pola pikir ini dan tetap akan mendominasi kita kecuali kita berubah.”
Ongkos keberhasilan memodernisasi India
Bagi banyak orang, perubahan itu sudah berlangsung di India. Ia diperkuat oleh retorika BJP dan terlembagakan melalui legislasi di parlemen. Saat ini, pemerintah sedang membangun kuil raksasa di kota suci Ayodhya, di atas bekas lahan masjid dari era Mughal yang dirusak dan dihancurkan ekstremis Hindu tiga dekade lalu.
BJP juga mendukung pembangunan patung Chhatrapati Shivaji setinggi 210 meter dengan ongkos USD 300 juta di lepas pantai Mumbai. Dia adalah pejuang Hindu yang dianggap berjasa merubuhkan Kesultanan Mughal dan mengakhiri kejayaan Islam di India.
Derasnya dukungan bagi BJP antara lain bersumber dari keberhasilan pemerintahan Narendra Modi memodernisasi berbagai aspek kehidupan di India. "Pembangunan infrastruktur yang ramai, jalanan, bantaran sungai dan proyek kebersihan, semuanya lebih baik saat ini,” kata Syed Feroz Hussein, 44, warga muslim India.
Tapi buruh rumah sakit itu "merasakan kekhawatiran besar” terhadap masa depan anak-anaknya.
"Berbeda dengan masa lalu, sekarang ada terlalu banyak kekerasan dan pembunuhan atas nama agama dan perasaan tegang dan kebencian yang konsisten,” di antara pemeluk agama, katanya.
Tekanan bagi minoritas muslim kian berlipat ganda sejak belakangan. Di Karnataka, yang tahun lalu menyaksikan serangan terhadap minoritas Kristen, BJP turut mengompori seruan larangan jilbab di sekolah.
Adapun di Varansi, nama kota Allahabad yang ditetapkan pada era Mughal, kini diganti kembali menjadi Prayagraj.
Sentimen Hindu
Guru Besar Studi Asia Selatan di King's College London, Harsh V Pant, menillai BJP berhasil memanfaatkan sentimen Hindu yang menguat pasca perusakan Masjid Ayodhya pada 1992. "Semua orang mempercayai narasi Hindutva,” kata dia. "Warga merespons positif pesan-pesan tersebut dan meyakini partai lain tidak punya gagasan yang lebih baik,” imbuhnya.
"BJP akan ada di sini setidaknya untuk dua sampai tiga dekade ke depan.”
Termasuk yang paling gencar mendukung konsep negara Hindu adalah organisasi sayap kanan, Vishwa Hindu Parishad. "Kami adalah bangsa Hindu karena identitas India adalah Hinduisme,” kata pemimpinnya, Surendra Jain, kepada Kantor Berita AFP.
Menurutnya "wajah ganda sekularisme malah menjadi kutukan,” dan ancaman bagi eksistensi India. "Tapi bukan berarti umat agama lain harus hengkang,” imbuhnya.
PM Modi secara umum mendiamkan retorika Hindutva yang menyudutkan minoritas. Tapi analis meyakini dia ikut membantu pembentukan negara Hindu tanpa secara terang-terangan mendukung.
Kebijakannya itu membesarkan kekhawatiran warga muslim India. Nasir Jamal Khan, 52, marbot sebuah masjid di Varanasi, mengatakan "ikut merasakan keterasingan yang semakin membesar” terhadap India, walaupun "nenek moyang kami dilahirkan di sini.” [rzn/hp (afp,rtr)]/dw.com/id. []