Asal Usul Kota Banyuwangi

Terdapat dua versi sejarah kelahiran Kota Banyuwangi, yaitu versi asli atau kenyataan dan versi legenda.
Banyuwangi, The Sunrise of Java. (Foto: Instagram/explore_indonesia)

 Jakarta - Membicarakan Sejarah kelahiran Kota Banyuwangi, terdapat dua versi, yaitu versi asli atau kenyataan dan versi legenda.

Berikut Tagar mengumpulkan dari berbagai sumber dua versi tersebut.

Versi Asli

Jika pembaca pernah mendengar kata Blambangan dan bertanya, dimana wilayahnya sekarang sekarang? Jawabnya, Blambangan sekarang menjadi Banyuwangi.  

Proses berubahnya Blambangan menjadi Banyuwangi ternyata melalui sebuah peperangan dahsyat. Perang itu jarang disebut dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.

Sebelum Banyuwangi menjadi sebuah kota, Pada pertengahan abad ke-17, di wilayah tersebut masih terdapat Kerajaan Blambangan. Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Pada masa ini, secara administratif VOC menganggap Blambangan sebagai wilayah kekuasannya.

Penguasan tersebut atas dasar penyerahan kekuasaan jawa bagian timur (termasuk blambangan) oleh Pakubuwono II kepada VOC. Padahal Mataram tidak pernah mampu menguasai daerah Blambangan.

Saat itu, Kerajaan Blambangan adalah Kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa. Namun VOC juga tidak pernah mampu menguasai kerajaan itu sampai akhir abad ke-17. 

Kemudian Inggris datang untuk membuka perniagaan di wilayah tersebut. Ketika pemerintah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan, daerah yang sekarang dikenal sebagai kompleks Inggrisan adalah bekas tempat kantor dagang Inggris.

Karena muncul pesaing yang sama-sama dari Eropa, VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaanya atas Blambangan. Pada akhir abad ke-18, persaingan itu semakin meruncing sedikit demi sedikit.

Pada akhirnya terjadi gesekan dan menyulut perang besar selama lima tahun (1767–1772).

Perang Munculkan Banyuwangi

Peperangan selama lima tahun tersebut berlangsung secara dahsyat, dinamakan Puputan Bayu. 

Pihak VOC dengan gigih berusaha merebut Banyuwangi dari Inggris, karena wilayah tersebut sangat strategis dan menguntungkan bagi mereka. Di sisi lain, Inggris juga tidak mau kehilangan kesempatan. 

Namun akhirnya, VOC-lah yang memperoleh kemenangan. Mereka memindahkan pusat pemerintahan dari Blambangan ke daerah Banyuwangi pada 18 desember 1771. R. Wiroguno I (Mas Alit) diangkat VOC sebagai bupati Banyuwangi pertama. 

Tetapi perlawanan sporadis rakyat Blambangan masih terjadi beberapa waktu kemudian, meskipun VOC sudah menguasainya. 

Dengan demikian, Perang Puputan Bayu itu menjadi proses lahirnya Banyuwangi. Tanggal 18 Desember 1771 ditetapkan sebagai hari kelahiran kota di ujung timur Pulau Jawa tersebut.

Versi Legenda

Alkisah, pada zaman dahulu terdapat sebuah wilayah dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang Patih, Sidopekso.

Sidopekso memiliki istri cantik bernama Sri Tanjung. Sayangnya, diam-diam raja jatuh hati dan tergila-gila padanya. Dan berniat memiliki Sri Tanjung dengan segala cara.

Pemimpin yang sedang kasmaran itu membuat sebuah rencana licik, yaitu menugaskan patihnya berangkat ke sebuah wilayah yang cukup jauh. Tugas itu membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.

Patih yang arif dan bijak tersebut langsung mengamini titah pimpinannya. Sulahkromo tidak menyia-nyiakan waktu. Dia langsung mendatangi Sri Tanjung dan merayunya.

Sri Tanjung memilih mempertahankan kehormatan dan teguh dalam pendirian. Dia memilih setia kepada suaminya yang sedang pergi bertugas.

Demi mendapat penolakan dari istri bawahannya, Sulahkromo marah bukan kepalang. Dari pada dia menanggung malu, raja itu melancarkan fitnah lebih dahulu terhadap Sri Tanjung.

Saat Patih Sidopekso pulang dari tugas, sang raja bercerita kalau istri Patih datang pada raja dan mengajaknya melakukan serong. Tentu saja Sidopekso terbakar amarah dan langsung pulang menemui Sri Tanjung.

Begitu marahnya Sidopekso, sehingga penjelasan sang istri yang tidak bersalah pun tidak berguna. Saat amarahnya memuncak, patih itu menyeret istrinya ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Dia berniat membunuh Sri Tanjung.

Namun sebelum niatnya terlaksana, Sri Tanjung menjelaskan satu permintaan terakhir pada suaminya. Sri meminta suaminya apabila setelah dia dibunuh, agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai yang keruh itu. 

Sri Tanjung melanjutkan, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dia memang bersalah, tapi jika air sungai berbau harum (wangi) itu berarti dia tidak bersalah.

Tanpa pikir panjang Patih Sidopekso segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh wanita cantik itu dan mati seketika. Sesuai permintaannya, patih langsung melempar mayat Sri Tanjung ke sungai. 

Sungai yang tadinya keruh dan kumuh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca. Selain itu, sungai itu menyebarkan bau harum, atau bau wangi. Kondisi itu membuat Patih Sidopekso kaget bukan kepalang.

Dia tidak bisa menguasai diri, jalannya terhuyung-huyung, jatuh dan jadi linglung. Tanpa sadar, ia menjerit "Banyu..., wangi..., Banyu wangi..., Banyuwangi."

Banyuwangi terlahir dari bukti cinta suci sang istri pada suaminya. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.